tirto.id - Resolusi Jihad merupakan keputusan bersejarah yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 22 Oktober 1945. Ketetapan itu dikeluarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan ulama PBNU lainnya sebagai respons terhadap situasi yang dihadapi Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Sejarah Resolusi Jihad tercatat sebagai awal dari perlawanan masif rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Kala itu, Netherlands Indies Civil Administration (NICA) datang dengan membonceng Sekutu untuk memulihkan kembali kekuasaannya di wilayah Indonesia.
K.H. Agus Sunyoto, dalam artikel “Resolusi Jihad NU dan Perang Empat Hari di Surabaya” yang diterbitkan di NU Online, mencatat bahwa Resolusi Jihad didengungkan setelah Perang Dunia II berakhir pada 15 Agustus 1945, tepatnya ketika Jepang menyerah kepada Sekutu. Kehadiran pasukan Inggris di Jakarta, Semarang, dan Surabaya, merupakan bagian dari penyelesaian masalah interniran dan tawanan perang Jepang.
Meskipun telah memproklamasikan diri sebagai negara independen, hingga bulan Oktober 1945 belum ada satupun negara di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Salah satu langkah Presiden Soekarno menyikapi kondisi saat itu adalah mengutus seseorang untuk pergi ke Pesantren Tebuireng menemui K.H. Hasyim Asy’ari.
Lewat utusannya, Soekarno mempertanyakan tentang hukum mempertahankan kemerdekaan. Secara eksplisit, Kiai Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa umat Islam harus bersatu untuk membela tanah air.
Tokoh senior Nahdlatul Ulama tersebut lantas menginisiasi rapat konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945 di Bubutan, Surabaya. Rapat itulah yang menjadi cikal bakal fatwa Resolusi Jihad.
Isi Resolusi Jihad
Resolusi Jihad yang dihasilkan dari rapat di Bubutan, Surabaya, tersebut kemudian disebarkan kepada seluruh umat NU di seluruh pelosok Jawa dan Madura. Teks Resolusi Jihad pun pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 Tahun Ke-1, Jumat Legi, 26 Oktober 1945. Berikut ini isi Resolusi Jihad:
Resolusi N.U. Tentang Djihad fi Sabilillah
BISMILLAHIRRACMANIR ROCHIM
Resolusi:
Rapat besar Wakil-Wakil Daerah (Konsul 2) Perhimpunan NAHDLATOEL OELAMA seluruh Djawa- Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di SURABAJA.
Mendengar:
Bahwa di tiap-tiap Daerah di seluruh Djawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam dan Alim Oelama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.
Menimbang:
- Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewadjiban bagi tiap 2 orang Islam.
- Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah sebagian besar terdiri dari Ummat Islam.
Mengingat:
- Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang yang datang dan berada disini telah banyak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang mengganggu ketenteraman umum.
- Bahwa semua jang dilakukan oleh mereka itu dengan maksud melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah disini maka di beberapa tempat telah terdjadi pertempuran jang mengorbankan beberapa banyak djiwa manusia.
- Bahwa pertempuran 2 itu sebagian besar telah dilakukan oleh Ummat Islam jang merasa wadjib menurut hukum Agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.
- Bahwa di dalam menghadapi sekalian kedjadian 2 itu perlu mendapat perintah dan tuntunan jang njata dari Pemerintah Republik Indonesia jang sesuai dengan kedjadian-kedjadian tersebut.
Memutuskan:
- Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan jang njata serta sebadan terhadap usaha-usaha jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki-tangannya.
- Supaja memerintahkan melandjutkan perdjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Surabaja, 22 - 10 -1945
HB. NAHDLATOEL OELAMA
Hubungan Resolusi Jihad dengan Hari Santri
Resolusi Jihad dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy'ari bersama para ulama PBNU lainnya. Sejarah Resolusi Jihad tersebut menjadi cikal bakal peringatan Hari Santri setiap 22 Oktober.
Nilai yang terkandung dalam Resolusi Jihad salah satunya adalah seruan untuk membulatkan tekad dalam menjalankan jihad demi membela tanah air. Isi Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama juga menyimpulkan bahwa perjuangan melawan penjajah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua umat Islam.
Pada dasarnya, keputusan bersejarah tersebut mendorong partisipasi aktif seluruh umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, termasuk anak-anak, untuk berjuang melawan penjajah. Keterlibatan aktif para santri dan masyarakat umum dalam menjalankan Resolusi Jihad pun memiliki dampak yang besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Teks Resolusi Jihad tidak hanya diucapkan dan diserukan, melainkan juga diwujudkan menjadi tindakan. Dampak besar dari resolusi ini terlihat dalam aksi nyata santri dan umat Islam di berbagai tempat di Indonesia untuk melawan penjajah.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, fatwa Resolusi Jihad dikeluarkan untuk merespons situasi pada masa itu, ketika berbagai tekanan dari penjajah masih terasa meskipun Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya. Bagi NU, baik Belanda maupun Jepang telah berbuat kezaliman di Indonesia.
Resolusi Jihad telah memicu semangat para santri untuk berperang mempertahankan kemerdekaan, termasuk dalam pertempuran melawan tentara Jepang di sejumlah tempat sebelum peristiwa 10 November 1945.
Pada masa itu terdapat milisi bernama Hizbullah yang dilatih oleh tentara Jepang. Pembentukan Hizbullah merupakan wujud upaya Jepang dalam mempertahankan kekuatannya di Indonesia. Mereka melatih para pemuda, khususnya santri, untuk melawan sekutu.
Gagasan dari pihak Jepang itu pun disetujui oleh Hasyim Asy'ari dengan catatan pasukan Hizbullah berdiri sendiri, bukan tergolong serdadu Jepang. Awalnya, banyak pihak yang menganggap keputusan itu merupakan wujud ketundukan rakyat kepada Jepang. Namun, pada akhirnya hal itu diakui sebagai strategi perang yang baik.
Di wilayah Jawa Timur, Resolusi Jihad berperan penting mendorong rakyat, terutama para santri, untuk berpartisipasi dalam Pertempuran 10 November, yang sekarang diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Laskar Hizbullah, para santri, dan umat Islam lainnya, turut serta dalam pertempuran paling destruktif yang terjadi di Surabaya tersebut.
Setelah Pertempuran 10 November, Resolusi Jihad masih terus diserukan. Pada Muktamar NU tahun 1946, Kiai Hasyim Asy'ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar.
Resolusi Jihad akhirnya dikenang sebagai Hari Santri Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Peringatan Hari Santri merupakan wujud penghormatan dan apresiasi atas peran santri dan ulama dalam membentuk jati diri bangsa dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Editor: Fadli Nasrudin