tirto.id - Hari Santri Nasional yang setiap tahun diperingati pada 22 Oktober, terinspirasi dari peran para ulama dahulu dalam mengobarkan semangat para santri melawan penjajah.
Di masa perjuangan mewujudkan Indonesia merdeka, para santri turun langsung berjihad. KH Hasyim Asy'ari adalah salah satu ulama yang turun langsung dalam menyuarakan resolusi jihad sebelum terjadinya Pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Resolusi jihad ini yang menjadi semangat dalam penetapan Hari Santri Nasional pada . Peran santri bagi Indonesia tidak bisa diremehkan. Mereka juga menjadi garda depan dalam perjuangan bangsa ini di masa lampau, masa sekarang, dan masa depan.
Profil K.H. Hasyim Asy'ari
K.H. Hasyim Asy'ari merupakan tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Nama lengkapnya Muhammad Hasyim bin Asy'ari bin Abdul Halim yang lahir 14 Februari 1871 di Desa Tambakrejo, Jombang. Kyai Hasyim merupakan anak ketiga dari 10 bersaudara, putra dari Asy'ari dan Halimah yang berasal dari keluarga agamis.
Silsilah keluarga Kyai Hasyim dari sang ibu, bersambung ke Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng). Lembu Peteng memiliki putra bernama Jaka Tingkir (Karebet) yang juga merupakan kakek dari Hasyim. Menurut Chairul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (2005), berikut silsilahnya:
Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Joko Tingkir (Karebet) bin Prabu Brawijaya V1 (Lembu Peteng)
Ayah Kyai Hasyim merupakan pendiri Pesantren Keras. Kakek dari ibunya pun juga pendiri dan pengaruh Pesantren Gedang yang menjadi pusat belajar santri-santri Jawa akhir abad 19. Kyai Hasyim turut menjadi anak yang tinggal dan tumbuh di lingkungan pesantren Islam tradisional.
Kyai Hasyim pindah kediaman dari Gedang ke Desa Keras di usia 5 tahun untuk mengikuti ayah dan ibunya yang merintis pesantren baru. Di usia 15 tahun, dirinya mulai meninggalkan kediamannya untuk belajar di berbagai pesatren hingga ahir sampai ke Mekkah.
Mengutip laman Pesantren Tebu Ireng Online, Kyai Hasyim menikah dengan Nafisah di usia 21 tahun. Pasangan muda ini lantas memutuskan menuntut ilmu di Tanah Haram, Mekkah. Hanya saja, Kyai Hasyim mendapatkan cobaan berat di sana setelah beberapa bulan berjalan.
Istrinya meninggal usai melahirkan anak pertama yang diberi nama Abdullah. Sekira 40 hari setelahnya, giliran Abdullah menghembuskan napas terakhir. Tinggallah Kyai Hasyim sendiri di Mekkah ditinggal dua orang kesayangannya.
Setahun kemudian Kyai Hasyim pulang ke Indonesia. Tahun 1899 dirinya menikahi Khadijah yang merupakan anak Kyai Romli dari Kediri. Sama seperti Nafisah, Khadijah juga meninggal lebih dulu sekira 2 tahun setelah pernikahan.
Selanjutnya, Kyai Hasyim menikahi Nafiqah yang dikaruniai 10 anak. Nafiqah juga lebih awal meninggalkan meninggal dunia, lalu Kyai Hasyim menikah untuk dengan Masrurah. Pernikahan terakhir ini, pasangan tersebut yang diberkati dengan kehadiran 4 orang anak.
Riwayat pendidikan Hasyim Asy'ari
Kyai Hasyim mengenyam pendidikan waktu kecil bersama ayah dan kakeknya Kyai Usman. Kecerdasannya makin terasah dan di usia 13 tahun sudah belajar mengenai dasar-dasar tauhid, fikih, tafsir, dan hadits. Kyai Hasyim juga dipercaya ayahnya untuk mengajar para santri pesantren.
Kyai Hasyim lalu berkelana untuk belajar di beberapa pesantren pada usia 15 tahun. Pesantren tersebut antara lain Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), Pesantren Kademangan Bangkalan (Madura), dan Pesantren Siwalan (Surabaya). Mengutip UIN Antasari, Kyai Hasyim pun diperkirakan juga pernah belajar bersama Ahmad Dahlan, pendiri ormas Muhammadiyah.
Kyai Hasyim lantas mengenyam pendidikan ke Hijaz dan mendapat bimbingan dari Syekh Mahfudz dari Tremas, Pacitan. Syekh Mahfudz merupakan ahli hadis dan pengajar hadis Shahih Bukhari di Mekkah dari Indonesia yang pertama kali. Darinya, Kyai Hasyim mendapatkan ijazah untuk menjadi pengajar Shahih Bukhari.
Pemikiran Kyai Hasyim terpengaruh pula oleh Syekh Nawawi dari Banten dan Syekh Sambas setelah dihubungkan dengan Syekh Mahfudz. Selain itu, guru lain adalah Syekh Ahmad Khatib yang tidak hanya ahli dalam agama, melainkan juga mumpuni di bidang astronomi, matematika, dan aljabar. Kyai Hasyim turut mendalami fikih mazhab Syafi'i.
Dalam perjalanan selanjutnya, pengaruh Kyai Hasyim di Tanah Air mulai diakui. Dirinya menjadi pemimpin dan kyai besar di Jawa. Termasuk, Kyai Hasyim bersama-sama ulama-ulama tradisional lainnya mendirikan NU yang kini menjadi salah satu ormas besar di Indonesia.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Yulaika Ramadhani