Menuju konten utama

Sejarah Resolusi Jihad yang Dipelopori Hasyim Asyari, Kakek Gus Dur

Resolusi Jihad NU dipelopori oleh K.H. Hasyim Asyari, kakek dari Presiden Gus Dur, yang merupakan cikal bakal Hari Santri Nasional. 

Sejarah Resolusi Jihad yang Dipelopori Hasyim Asyari, Kakek Gus Dur
Santri dan seniman melukis Resolusi Jihad dalam acara KolaborAksi di Pendapa Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (21/10/2020). ANTARA FOTO/Syaiful Arif/wsj.

tirto.id - Penetapan Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober tak lepas dari sejarah Resolusi Jihad NU bertahun-tahun lampau. Berkat perjuangan kaum santri inilah, Presiden Joko Widodo, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 menetapkan Hari Santri jatuh pada 22 Oktober.

Resolusi Jihad NU dipelopori oleh K.H. Hasyim Asyari, kakek dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena melihat kemungkinan bahwa perjuangan kemerdekaan masih belum berakhir kendati proklamasi sudah dilantangkan pada 17 Agustus 1945. Hal ini disebabkan kedatangan Brigade 49 Divisi India Tentara Inggris pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, yang merupakan buah dari rencana Agresi Militer II Belanda.

Sebelumnya, Nahdhatul Ulama (NU) sudah memiliki milisi yang sempat dilatih secara militer oleh Jepang berkat siasat KH Hasyim Asyari. Nama organisasi itu adalah Laskar Hizbullah, yang turut dikobarkan semangatnya melalui Resolusi Jihad NU.

Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) mencatat, pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci) melawan penjajah.

Beberapa pentolan yang dikumpulkan K.H. Hasyim Asyari di dua hari itu adalah Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syamsuri, dan para kiai lainnya. Mereka berkumpul di kantor PBNU, Bubutan, Surabaya. Pertemuan itu turut dihadiri panglima Hizbullah, Zainul Arifin, dan forum pun menyepakati untuk mengeluarkan Resolusi Jihad yang secara umum berisikan dua kategori dalam berjihad.

"Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardu ain [harus dikerjakan tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak] bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardu kifayah [yang cukup dikerjakan sebagian orang Islam saja]," bunyi dua kategori jihad dari fatwa tersebut.

Dilansir dari NU Online, fatwa itu dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad NU 22 Oktober yang menjadi dasar penetapan Hari Santri. Resolusi Jihad NU punya dampak besar di Jawa Timur. Pada hari-hari berikutnya, ia menjadi pendorong keterlibatan Laskar Hizbullah, kaum santri, dan jamaah NU untuk ikut serta dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Orang-orang Pesantren yang mulanya bertujuan untuk belajar ilmu agama, dalam perkembangannya diajarkan nilai-nilai nasionalisme untuk berkhidmat kepada bangsa dan negara. Karena itulah, persantren kemudian menjadi wadah untuk melatih kesadaran kolektif untuk membangun cita-cita persatuan umat dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Resolusi Jihad NU lantas melahirkan spirit perlawanan yang menggerakkan semangat "kaum bersarung" untuk terjun berpartisipasi angkat senjata melawan penjajah.

Dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001), KH Saifuddin Zuhri menuliskan ketika terjadi perlawanan dari kaum santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945, rakyat Semarang juga melakukan perlawanan kepada tentara Sekutu yang mendarat di Semarang.

Perlawanan kemudian meluas hingga di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan Sekutu. Kabar perjuangan itu lantas sampai di Parakan yang juga menggerakkan Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan untuk turun melawan penjajah di seluruh daerah Kedu.

Pondok pesantren berubah menjadi markas perjuangan Hizbullah dan Sabilillah. Sebagian besar kelompok santri dan rakyat di daerah itu, baik kalangan tua dan muda mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan bangsa.

Berkat perlawanan yang dikobarkan melalui Resolusi Jihad NU itulah, pada awal Oktober 2015, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengusulkan bahwa penetapan Hari Santri mestinya diperingati pada 22 Oktober, alih-alih 1 Muharam seperti rencana Presiden Joko Widodo sebelumnya. Akhirnya, pada 15 Oktober 2015, keluarkan Keppres No. 22 Th. 2015 yang menetapkan bahwa Hari Santri jatuh pada 22 Oktober.

M. Zaeni Rahman dalam Keputusan Presiden Joko Widodo No. 22 Tahun 2015 Tentang Hari Santri (2016) menuliskan bahwa penetapan Hari Santri pada 22 Oktober berdasarkan nilai sejarah Resolusi Jihad NU merupakan pengakuan dan penguatan identitas santri. Selama ini perjuangan kemerdekaan dari kaum bersarung amat sedikit disinggung buku teks sejarah di kurikulum pendidikan.

Baca juga artikel terkait RESOLUSI JIHAD atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Alexander Haryanto