tirto.id - Pada masa perang revolusi di Surabaya terjadi, Doel Arnowo menjadi sosok penting bagi masyarakat Surabaya.
Kiprahnya sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan dibuktikan dengan perannya menjabat sebagai ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Karesidenan Surabaya.
Peran Doel Arnowo dan profil hidupnya selama masa perang revolusi di Surabaya akan dirangkum secara singkat melalui tulisan berikut ini.
Peran Doel Arnowo di Pertempuran Surabaya
Dalam e-journal Pendidikan Sejarah Mahasiswa Unesa yang ditulis Mita Indrawati disebutkan, setelah Jepang ditaklukan oleh sekutu, Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan.
Pada masa itu, Jepang sendiri masih diwajibkan untuk tetap mempertahankan kekuasaan mereka di Indonesia, hingga kedatangan pasukan Inggris dan Nica yang mewakili pihak sekutu.
Mengetahui perlunya membentuk pemerintahan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan selesai dikumandangkan, serta melucuti kekuatan Jepang di Indonesia, maka dibentuklah Komite Nasional di tiap daerah di seluruh Indonesia, guna membantu gubernur dalam menjalankan pemerintahan di daerah.
Masyarakat Surabaya melalui rapat pembentukan KNI, menetapkan Doel Arnowo sebagai ketua KNI Karesidenan Surabaya.
Tugas pertama KNI pada waktu itu yakni, mengumumkan supaya masyarakat Surabaya mengibarkan bendera Merah Putih selama tiga hari berturut-turut untuk menyambut sidang KNI Pusat di Jakarta.
Pengibaran ini berlangsung mulai tanggal 29 sampai 31 Agustus 1945.
Pengumuman tersebut disambut serentak oleh masyarakat Surabaya, bendera Merah Putih pun mulai berkibar di setiap lokasi di Kota Surabaya.
Sebagai ketua KNI, Doel Arnowo berusaha keras menyingkirkan pengaruh Jepang di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan cara membubarkan badan-badan bentukan Jepang seperti Seinendan, Keibodan, Jawa Hokokai, dan lainnya.
Kemudian pada tanggal 2 September 1945, Doel Arnowo bersama KNI membentuk Badan Penolong Korban Perang (BPKP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Badan ini dibentuk guna menampung bekas anggota PETA, HEIHO, dan sebagainya.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara Inggris bersama sekutu telah mendarat di Surabaya. Tentara tersebut terdiri dari Brigade ke-29 dari divisi ke-23, dengan 6.000 prajurit yang dipimpin langsung oleh A.W.S Mallaby.
Sehari setelahnya, yakni 26 Oktober 1945 dilangsungkan perundingan antara Pemerintah RI dengan sekutu.
Doel Arnowo kembali berperan sebagai wakil Pemerintah RI. Dalam perundingan tersebut, disepakati bahwa pasukan sekutu hanya boleh menggunakan beberapa bangunan kota di Surabaya.
Akan tetapi Brigjen Mallaby melanggar perjanjian tersebut, dengan menyebar selebaran melalui pesawat udara kepada seluruh masyarakat Surabaya.
Selain menjabat sebagai Ketua KNI, Doel Arnowo juga menjabat sebagai anggota pengurus kontak biro.
Ketika Presiden Soekarno datang ke Surabaya bersama wakilnya Moh. Hatta, diadakanlah perundingan antara pihak Indonesia dan tentara Inggris. Perundingan tersebut berlangsung di kediaman Doel Arnowo.
Suasana yang terjadi selama perundingan berlangsung sangat tegang, sedangkan di luar sedang bergemuruh. Meriam-meriam kapal Inggris di pelabuhan terus mengeluarkan dentuman dengan tujuan mengintimidasi pihak Indonesia.
Hasil dari perundingan tersebut memutuskan untuk diberlakukan gencatan senjata dan membentuk Badan Penghubung beserta Kontak Biro.
Gencatan senjata secara resmi diumumkan oleh Menteri Penerangan dan memerintahkan Kontak Biro untuk segera melaksanakan sidang pada tanggal 30 Oktober 1945 di kantor gubernur.
Sesuai kesepakatan dari perjanjian sidang tersebut, bahwa pasukan Inggris yang berada di gedung Internatio harus segera dipindahkan ke Tanjung Perak.
Tetapi, pasukan Inggris tidak mau mematuhi kesepakatan tersebut, mereka justru menembaki orang-orang yang berlalu lalang di sekitar gedung Internatio.
Masyarakat Surabaya pun segera melaporkan kejadian tersebut kepada Doel Arnowo. Segera setelah itu, Doel Arnowo mengumpulkan seluruh anggota Kontak Biro untuk menghentikan peristiwa tersebut. Akan tetapi, setelah sampai di gedung Internatio, peristiwa tembak-menembak telah berhenti.
Kemudian setelahnya, mobil-mobil Kontak Biro dikerumuni oleh puluhan pemuda dan masyarakat.
Hal tersebut membuat Doel Arnowo berdiri di atas mobil, sembari memberi penerangan tentang hasil perundingan kepada masyarakat Surabaya bahwa telah disepakati adanya gencatan senjata.
Setelah peristiwa tersebut, masyarakat kembali mengajukan tuntutannya kepada pasukan Inggris yang masih menduduki gedung Internatio.
Kemudian terjadilah perundingan kembali, antara Brigjen Mallaby dengan pihak Indonesia yang diwakili oleh Muhammad Mangundiprojo.
Selang beberapa menit selama perundingan berlangsung, terjadilah ledakan granat di muka gedung Internatio yang dilemparkan oleh pasukan Inggris.
Maka terjadilah keributan dan kekacauan yang membuat anggota Kontak Biro mencari perlindungan.
Dalam kejadian tersebut, Brigjen Mallaby ditemukan tewas di dalam mobil yang meledak.
Profil Doel Arnowo
Doel Arnowo lahir pada tahun 30 Oktober 1904 di Kampung Genteng, Surabaya. Ayahnya bernama Arnowo bekerja sebagai pegawai perusahaan ekspor gula milik Belanda.
Keluarga mereka memiliki kekayaan yang cukup dalam standar kelas ekonomi menengah ke atas.
Ayah Doel Arnowo sendiri tidak lulus sekolah dasar, tetapi ia berambisi memasukkan anaknya ke sekolah Belanda. Karena Doel Arnowo menentang keputusan tersebut, maka Doel Arnowo dipaksa menyelesaikan sekolahnya di HIS.
Setelah lulus dan menambah dua tahun belajar di sekolah menengah teknik Belanda, Doel Arnowo memutuskan untuk berhenti dari sekolah karena ayahnya telah meninggal.
Sebagai pemuda, Doel Arnowo adalah pengkritik paling keras pada masanya, ia memiliki simpati dan keprihatinan kepada masyarakat sekitar.
Doel Arnowo juga sempat bekerja di Kantor Pos Surabaya selama tiga belas tahun. Selama bekerja, ia menyempatkan diri untuk membaca dan mempelajari berbagai ilmu yang dapat membentuk dirinya.
Kemudian setelah itu, ia bergabung dengan PNI dengan tujuan agar dapat berkumpul dengan kaum terpelajar yang bercita-cita tinggi.
Pada tahun 1933, pemerintah memanggilnya dan menawarinya pilihan antara bekerja pada pemerintah atau memilih jalan pergerakan. Doel Arnowo pun memilih jaan pergerakan, karena sudah menjadi bagian dari dirinya.
Sebagai aktivis pergerakan, Doel Arnowo memutuskan untuk meniti karier di bidang kewartawanan. Bahkan ia sempat membeli mesin cetak dan menyusun penerbitannya dengan nama Berjoeang.
Melalui penerbitannya, Doel Arnowo mencetak kamus Marhen untuk bahan ajar para anggota dan pengikut PNI. Buku tersebut memuat banyak hal-hal radikal yang bersifat politis.
Hal tersebut membuat kamus Marhaen disita oleh pemerintah kolonial, kemudian memenjarakan Doel Arnowo selama delapan belas bulan.
Pada tahun 1950-1952, Doel Arnowo menjabat sebagai Wali Kota Surabaya, di mana pada masa itu, ia juga yang menjadi penggagas pembangunan monumen Tugu Pahlawan di Surabaya yang kemudian diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1952.
Doel Arnowo juga merupakan Rektor Universitas Brawijaya yang pertama, yakni pada tahun 1963-1966. Doel Arnowo meninggal dunia di RSUD dr Soetomo, Surabaya pada 18 Januari 1985.
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Dhita Koesno