Menuju konten utama

Profil Gubernur Soerjo Tokoh Peristiwa 10 November 1945 Surabaya

Profil Gubernur Soerjo, tokoh penting pada pertempuran di Surabaya tanggal 10 November 1945, yang jadi sejarah Hari Pahlawan.

Profil Gubernur Soerjo Tokoh Peristiwa 10 November 1945 Surabaya
Gubernur Soerjo Tokoh Peristiwa 10 November 1945 Surabaya. (FOTO/Wikipedia)

tirto.id - Profil Gubernur Soerjo penting untuk dibahas ketika kita berbicara mengenai perjuangan pahlawan pada pertempuran 10 November 1945. Beliau merupakan mantan Gubernur Jawa Timur yang sekaligus memiliki peran penting dalam pertempuran 10 November 1945.

Gubernur Soerjo terkenal dengan pidatonya yang menggema pada malam tanggal 9 November 1945, tepat menjelang hari pertempuran hebat pada tanggal 10 November. Pidatonya dinilai telah memberikan ketetapan hati serta tekad kepada para pejuang untuk melawan pihak sekutu di tanah Surabaya.

Sejarah serta peran Gubernur Soerjo selama masa pertempuran 10 November 1945 adalah sebagai berikut ini.

Peran Gubernur Soerjo di Peristiwa 10 November

Menjelang peristiwa 10 November 1945, Gubernur Soerjo tiba di Kota Surabaya dalam keadaan memanas. Masyarakat Surabaya sedang bertempur melawan tentara Jepang dan juga gerakan subversif yang dilakukan oleh tentara sekutu.

Ketika terjadi pertempuran di Gedung Internatio yang telah menewaskan Brigadir Mallaby, Gubernur Soerjo berperan menerima laporan dari Dul Arnowo yang diterimanya melalui saluran telepon.

Sehingga peristiwa yang terjadi di Gedung Internatio telah diketahui oleh Gubernur Soerjo. Laporan yang diberikan oleh Dul Arnowo disimpan dan dijadikan pegangan oleh Gubernur Soerjo, nantinya akan digunakan sebagai nota pembelaan Indonesia terhadap tuduhan Sekutu.

Selain itu ia juga mengumpulkan kesaksian dari Kundan dan Kapten Muhammad yang mengetahui secara jelas sebelum tewasnya Brigadir Mallaby.

Setelah kejadian tersebut Gubernur Soerjo menerima ultimatum dari pihak sekutu. Inti dari ultimatum itu yaitu bahwa semua pemimpin-pemimpin Indonesia termasuk pemimpin- pemimpin gerakan pemuda, Kepala Polisi, dan petugas Radio Surabaya harus melaporkan diri di Batavia-weg (Kini Jalan Jakarta) menjelang pukul 18.00 tanggal 9 November.

Mereka harus mendekat dengan berbaris satu-satu dengan membawa senjata yang dimilikinya. Senjata-senjata ini harus diletakkan dalam jarak 100 yard pada tempat pertemuan dan kemudian semua orang Indonesia harus mendekat dengan kedua tangan diangkat diletakkan di atas kepala, dan semua akan ditangkap dan ditawan. Mereka harus bersedia menandatangani dokumen berisi penyerahan tanpa syarat”.

Bagi rakyat biasa yang bersenjata, maka tempat melucuti senjata ditentukan di Westerbuitenweg (Jalan Indrapura) dan di Darmo, jamnya sama yaitu pukul 18.00 sore itu juga.

Gubernur Soerjo beserta masyarakat Surabaya menolak isi surat tersebut, alhasi Gubernur Soerjo membentuk suatu delegasi yang ia pimpin sendiri.

Maksud pembentukan delegasi itu untuk mengadakan pertemuan dengan pimpinan tentara Sekutu yakni Jenderal Mansergh dan menjelaskan bahwa rakyat hanya tunduk dan taat kepada Pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Jakarta.

Ultimatum tersebut dibalas oleh pidato pemimpin tertinggi Jawa Timur Gubernur Soerjo berisi seruan kepada arek-arek Surabaya untuk melawan pasukan Sekutu dan memperjuangan kemerdekaan Indonesia. Pidato tersebut berlangsung pada malam hari menjelang pertempuran, tepatnya tanggal 9 November 1945.

Profil Gubernur Soerjo dan Riwayat Hidupnya

Laman Kemdikbud menulis, Gubernur Soerjo memiliki nama asli yakni Raden Mas Tumenggung Aryo Suryo, atau kerap disebut sebagai Suryo. Beliau lahir pada Selasa Kliwon tepatnya tanggal 9 Juli 1896 di Magetan, Jawa Timur.

Ayahnya bernama Raden Mas Wiryosumarto, sempat menjabat sebagai Wedana Punung di Pacitan, Jawa Timur. Sedangkan ibunya sendiri bernama Raden Ayu Kustilah. Suryo sendiri adalah anak nomor dua dari sepuluh bersaudara. Ia termasuk dalam golongan keluarga elite, atau bangsawan lokal.

Suryo sewaktu dini sempat disekolahkan oleh orang tuanya di “Sekolah Ongko Loro” atau Tweede Inlandsche School di Magetan.

Kemudian Suryo pindah ke Hollandsch Inlandsche School (H.l.S.), yakni Sekolah Dasar berbahasa pengantar bahasa Belanda pada jaman Hindia Belanda, juga di Magetan.

Setelah lulus dari Hollandsch Inlandsche School (H.I.S.) Suryo dikirim oleh orang tua beliau ke Madiun untuk masuk ke Opleidings School Voor Inlandsche (Bestuurs) Ambtenaar yang sering pula disingkat menjadi O.S. V.I. B.A. atau O.S.V.I.A. , yakni sekolah pendidikan kepamongprajaan untuk anak-anak Indonesia.

Setelah menyelesaikan sekolahnya, Suryo pernah menjadi mantri polisi di Madiun. Setelah bekerja beberapa tahun lamanya, pada 1930 Suryo kembali meneruskan pendidikanya di Bestuursacademie, Batavia. Di sana ia mengambil jurusan ilmu pemerintahan dan kemongprajaan.

Pada tahun 1926 Raden Mas Suryo menikah dengan Raden Ayu Mustapeni, anak perempuan Raden Adipati Aryo Hadiwinoto, Bupati Magetan pada waktu itu. Raden Ayu Mustapeni sebenarnya sudah mempunyai seorang putri yang masih kecil. Ayah putri kecil tersebut sudah meninggal dunia. Jadi Suryo·menikah dengan seorang janda yang sudah mempunyai.

Pada tahun 1927, Suryo diangkat menjadi Asisten Wedana Kelas I dan terus menanjak hingga diangkat menjadi Wedana Distrik Kota Pacitan pada tanggal 25 September 1928 dan pada tanggal 1 Desember 1930 dipindah ke Distrik Mojokasri (Mojokerto).

Jabatannya semakin naik setelah lulus dari sekolah pangreh praja tinggi di Jakarta, ia diangkat menjadi Wedana Distrik Porong, Kabupaten Sidoarjo pada tanggal 11 September 1935 hingga akhirnya diangkat menjadi Bupati Magetan pada tanggal 9 Agustus 1938.

Pada tahun 1943, Suryo terpilih memegang jabatan Syucokan di Bojonegoro oleh Pemerintah Jepang. Selama menjabat, ia sempat mengalami dilema batin antara mempertahankan hubungannya dengan pihak Jepang yang keras dan brutal atau membela rakyat dengan konsekuensi yang besar.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Suryo ditunjuk oleh pemerintah pusat untuk menduduki jabatan Gubernur Jawa Timur.

Penunjukkan ini didasarkan atas berbagai karir yang telah dijabat oleh Suryo dalam lingkungan pegawai pamong praja yang telah berpindah-pindah tempat dan ditempatkan di berbagai wilayah di Jawa Timur. Pengalaman Suryo memegang jabatan penting di Jawa Timur memberikan suatu jaminan bahwa Suryo mengenal baik daerah ini beserta watak rakyatnya.

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN atau tulisan lainnya dari Mohamad Ichsanudin Adnan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Mohamad Ichsanudin Adnan
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Yulaika Ramadhani