tirto.id - Sejarah Kongres Pemuda II 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda terkait erat dengan organisasi PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia). Setelah berdiri pada September 1926, PPPI menjadi salah satu kelompok yang getol mendorong fusi organisasi-organisasi pemuda di Indonesia.
Upaya itu berujung pada langkah para aktivis PPPI mengonsolidasikan sejumlah organisasi pemuda untuk mengadakan kongres pada 1928. Tanpa menafikan peran dari organisasi lainnya, PPPI layak disebut pelopor kelanjutan Kongres Pemuda 1926 tersebut.
Kala itu, kredibilitas golongan terpelajar dari PPPI cukup diakui. Di antara mereka adalah Soegondo Djojopuspito, Sigit Abdul Syukur, Goelarso, Soemitro, Usman Sastroamidjojo, Muhammad Yamin, Amir Sjarifoeddin, Soewirjo, Soemitro Reksodipuro, Soenarko, Wilopo, Soerjadi, Abu Hanifah, DAN A.K. Gani.
Sebagian nama di atas tercatat masuk dalam struktur kepanitiaan Kongres Pemuda II. Soegondo Djojopuspito bahkan dipilih menjadi ketua panitia kongres.
Awal Kemunculan PPPI
PPPI kala itu merupakan organisasi pemuda dengan sebagian besar anggota dari kalangan pelajar—yang sekarang disebut mahasiswa. Mayoritas anggota PPPI berstatus sebagai pelajar Technische Hoogeschool (Sekolah Tinggi Teknik/THS]) Bandung, Stovia (Sekolah Tinggi Kedokteran), RHS atau Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), dan GHS atau Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Batavia.
Perhimpunan tersebut bermarkas di gedung Indonesische Clubgebow (IC) Jalan Kramat Raya 106, Weltevreden, Batavia. Gedung itu kini menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Di tempat yang kerap mereka sebut Bangsal Kramat 106 ini, para pelajar dari pelbagai daerah aktif menggelar diskusi, juga pentas seni. Tak hanya aktivis PPPI yang memanfaatkan gedung tersebut.
Organisasi Sekar Roekoen dan Pemuda Indonesia, misalnya, pernah memakainya sebagai tempat kongres. Beberapa tokoh Algemeene Studie Club Bandung kerap pula hadir di sana.
Bangunan milik warga Tionghoa bernama Sie Kong Lian itu sudah dihuni para pelajar sejak siswa-siswa Stovia dan Rechtsschool menyewanya pada 1908. Sejumlah tokoh, seperti Muhammad Yamin dan Amir Sjarifoedin, tercatat pernah menghuni bangunan tersebut.
Setelah makin ramai dengan aktivitas para pemuda dari berbagai organisasi, gedung yang semula bernama Langen Siswo itu beralih nama. Sejak 1927, para pemuda menyebut gedung ini sebagai Indonesische Clubhuis atau Indonesische Clubgebouw (gedung pertemuan Indonesia).
Momon Abdul Rahman, dkk dalam buku Pergerakan Mahasiswa pada Masa Hindia Belanda (2006), mencatat gedung Kramat 106 sudah sering menjadi lokasi diskusi pemuda sejak 1925. Nyaris tiap malam ada laga debat para intelek di gedung itu.
Beranjak dari diskusi-diskusi itulah, beberapa pelajar kemudian merintis PPPI yang resmi dibentuk pada September 1926. Fokus mereka adalah mengikis watak golongan dan kedaerahan di banyak organisasi pemuda.
Kelahiran PPPI juga tidak terlepas dari kegagalan Kongres Pemuda I (30 April—2 Mei 1926) dalam menghimpun peleburan beragam organisasi pemuda dalam satu wadah. Itulah kenapa para aktivis PPPI berperan aktif dalam menginisiasi Kongres Pemuda II pada 1928.
Peran PPPI di Kongres Pemuda II 1928
Ide tentang fusi sebenanya telah dicanangkan dalam Kongres Pemuda I 1926. Kala itu, muncul ide fusi dengan pembentukan Perhimpoenan Massa Moeda Indonesia. Namun usulan tersebut kandas lantaran sentimen golongan dan kedaerahan yang masih kuat di kalangan organisasi pemuda.
Upaya sejumlah aktivis pelajar mendorong fusi organisasi-organisasi pemuda makin menguat pada 1927. Tahun itu, kongres Pemoeda Indonesia digelar di Bandung pada 28 Desember 1927.
Kongres ini dihadiri oleh wakil sejumlah organisasi pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, Jong Ambon, dan lain sebagainya.
Mengutip artikel dalam jurnal Historika(Vol. 2, 2019), beberapa anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang baru pulang ke tanah air pascastudi lanjut di Belanda turut bergabung ke dalam kongres. Mereka sepakat membentuk Pemoeda Indonesia sebagai identitas baru yang lebih plural meskipun belum dapat disebut fusi.
Kongres itu menghasilkan kesepakatan tentang pentingnya mendorong fusi organisasi pemuda di Hindia Belanda. Wacana ini selaras dengan gagasan para aktivis PPPI.
Melihat muncul titik terang menuju fusi organisasi pemuda, PPPI dengan sigap memotori rangkaian pertemuan guna mematangkan rencana Kongres Pemuda II. PPPI menginisiasi rentetan pertemuan sejak awal 1928 untuk membangun kesepahaman dengan sejumlah organisasi pemuda.
Diskusi berantai itu berujung pada rapat di gedung Indonesische Clubgebow pada 12 Agustus 1928 yang membahas susunan kepanitiaan dan acara Kongres Pemuda II. Rapat tersebut dihadiri wakil PPPI, Pemoeda Indonesia, Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, dan Pemoeda Kaoem Betawi.
Rapat diawali dengan pembahasan acara, waktu, tempat, dan pembiayaan kongres. Peserta rapat sepakat Kongres Pemuda II digelar selama sehari 2 malam pada bulan Oktober 1928. Mereka juga memutuskan, ada 3 tempat berbeda yang akan menjadi lokasi kongres sebagaimana usulan PPPI.
Keputusan ini didasari pertimbangan terkait dengan keamanan para peserta kongres. Sebab, polisi militer Hindia Belanda diperkirakan akan memantau secara ketat jalannya kongres.
Forum yang sama menyepakati bahwa pembiayaan kongres membutuhkan dana sebesar ƒ 250,00. Dana tersebut diperlukan untuk biaya sewa gedung, sosialisasi, dan akomodasi.
Tujuh organisasi peserta kongres bersedia membayar iuran sejumlah ƒ 35,00 sebagai dana pokok untuk pembiayaan. Panitia juga tidak menutup diri dari sumbangan pihak ketiga, dengan catatan penyumbang tidak mengintervensi jalannya kongres.
Akhirnya, rapat memutuskan susunan panitia Kongres Pemuda II dengan Soegondo Djojopoespito selaku ketua. Selain Soegondo, ada 3 aktivis PPPI lainnya yang masuk dalam susunan panitia.
Daftar nama panitia Kongres Pemuda II pada 1928 adalah sebagai berikut:
- Ketua: Soegondo Djojopoespito (PPPI)
- Wakil Ketua: R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
- Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond & PPPI)
- Bendahara: Amir Sjarifoeddin (Jong Bataks Bond & PPPI)
- Pembantu I: Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
- Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia)
- Pembantu III: R.C.L. Senduk (Jong Celebes)
- Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon)
- Pembantu V: Mohamad Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi & PPPI).
Setelah melakukan sejumlah persiapan, dan jadwal acara semakin dekat, panitia mengumumkan bahwa Kongres Pemuda II berlangsung pada 27-28 Oktober 1928. Kongres ini digelar di 3 tempat berbeda, yakni Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) di Lapangan Banteng, Gedung Oost-Java Bioscoop, dan Gedung Indonesische Clubhuis di jalan Kramat Raya 106.
Nasib Ide Fusi dan Sikap PPPI usai Kongres Pemuda II
Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 terbilang sukses. Pembahasan mengenai persatuan, pendidikan, bahasa, serta nasionalisme menguatkan kesepahaman para pemuda. Kesepahaman ini terlihat jelas dari pengucapan ikrar Sumpah Pemuda saat penutupan kongres.
Sesuatu yang tak kalah penting ialah kesediaan para pentolan dari tiap organisasi pemuda legawa menerima keputusan fusi. Keputusan tersebut tak lain rimbanya berdasar amanat dari perhelatan Kongres Pemuda I.
Dalam Sumpah Pemuda Latar Sejarah dan Pengaruhnya Bagi Pergerakan Nasional (2008), Momon Abdul Rahman, dkk. mencatat Jong Java dan Pemoeda Indonesia menjadi dua organisasi pertama yang serius merespons perwujudan fusi.
Respons itu diputuskan usai Jong Java mengadakan kongres pada 23—29 Desember 1928. Selain 2 kelompok tersebut, organisasi lain yang terlibat dalam fusi ialah Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, dan Sekar Roekoen.
Organisasi-organisasi itu kemudian melebur ke dalam satu wadah bernama Indonesia Moeda. Akan tetapi, PPPI justru tidak turut bergabung dalam Indonesia Moeda.
PPPI enggan melebur dalam fusi tersebut karena Indonesia Moeda tidak menjadi organisasi yang berhaluan politik. Padahal, PPPI sedari awal menginginkan fusi yang dapat dibawa ke ranah politik demi mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Selepas Kongres Pemuda II, PPPI membentuk majalah Indonesia Raja guna menggaungkan ide-ide kemerdekaan dan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Sekretariat redaksi majalah tersebut sempat bertempat di Gedung Indonesische Clubgebow.
Sekalipun PPPI terus mendapatkan tekanan dari pemerintah kolonial Belanda, organisasi ini dapat bertahan lumayan lama. Majalah Indonesia Raja bahkan berumur cukup panjang, yakni dari 1929 hingga 1941.
Pada 1936, misalnya, majalah Indonesia Raja pernah dilarang terbit usai penerbitan kontroversial berjudul Eereschuld der Indonesische Intellectuelen. Terbitan itu memuat tajuk “Utang Kehormatan dari Intelektual Indonesia.” Pemerintah Hindia Belanda menuding terbitan tersebut upaya kudeta yang menyerang pemerintahan. Namun, Indonesia Raja masih bisa bertahan hingga Perang Dunia II melanda Asia Pasifik.
Sama halnya dengan organisasi lain yang hidup semasa dengan PPPI, mereka terpaksa bubar usai bala tentara Jepang menguasai tanah air pada 1942. Meskipun begitu, para aktivis PPPI tetap aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, termasuk melalui gerakan bawah tanah.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom