tirto.id - Nama Tabrani sebagai pencetus nama bahasa Indonesia mungkin tidak begitu populer bagi masyarakat Indonesia. Seiring dengan pengusulannya sebagai pahlawan nasional, selayaknya masyarakat mengenal riwayat hidupnya—kisah Tabrani menggagas nama bahasa Indonesia dapat dibaca dalam artikel “Bahasa Indonesia dan dari Mana Nama Itu Berasal” (Tirto.id, 14 September 2022).
Dikutip dari buku autobiografinya, Anak Nakal Banyak Akal (1979), sumber utama artikel ini, Mohamad Tabrani lahir di Pamekasan, Madura, pada 10 Oktober 1904. Orang tuanya bernama M. Soerowitjitro (pegawai negeri) dan Siti Aminah. Dalam formulir Pendaftaran Orang Indonesia jang Terkemoeka di Djawa pada zaman Jepang, Tabrani menulis bahwa ia mempunyai delapan saudara, lima orang di antaranya lelaki.
Tabrani masuk HIS pada 1910 di Pamekasan pada usia enam tahun kurang. Setelah lulus dari HIS, ia belajar di MULO Praban, Surabaya, pada 1917. Sewaktu masih kelas I MULO, ia menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya pada 1918. Pada tahun itu juga ia mengikuti Kongres Jong Java I di Solo.
Tabrani kemudian melanjutkan sekolah di AMS bagian Barat di Bandung. Di kota itu ia masuk Orde der Dienaren van Indie atau Dienaar Indie, organisasi pergerakan rahasia tempat anggotanya ditempa menjadi abdi tanah air menuju Indonesia merdeka (Tabrani ingin dididik menjadi wartawan merangkap abdi tanah air).
Anggotanya yang kurang lebih 50 orang tidak diketahui oleh masyarakat dan penguasa. Baru pada 1974 dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda Tabrani mengungkapkan kepada publik beberapa anggota itu, misalnya Supomo (Menteri Kehakiman), M. Yamin (Menteri PP & K), Tirtawinata (Jaksa Agung), S. Mangunsarkoro (Menteri P & K), dan Djamaloedin Adinegoro.
Karena sibuk dengan kegiatan di luar sekolah, misalnya aktivitas dalam organisasi Jong Java dan menulis di koran sebagai reporter, Tabrani tidak naik kelas. Akibatnya, ia nyaris dikeluarkan dari Dienaar Indie karena itu melanggar salah satu asas organisasi: setiap anggota harus menjadi teladan dalam lingkungannya. Setelah disidang, ia tak jadi dikeluarkan dengan perjanjian mengurangi beberapa kegiatan di luar sekolah.
Tabrani akhirnya pindah ke OSVIA Serang pada 1923 (mau masuk OSVIA Bandung, tetapi terlambat mendaftar). Sesudah setahun belajar di sana, ia pindah ke OSVIA Bandung sebab di kota itu pusat pimpinan Dienaar Indie. Selama di OSVIA itu pula, ia menjadi pembantu tetap De Locomotief, harian berbahasa Belanda di Semarang.
Setelah lulus dari OSVIA, Tabrani tidak menjadi pegawai negeri, tetapi bekerja di Hindia Baroe di Jakarta mulai Juli 1925. Ia menjadi redaktur pertama atau pengganti pemimpin redaksi (pemred) jika berhalangan. Sambil bekerja, ia kuliah di Rechts Hooge School dalam ilmu sejarah, ekonomi, dan hukum.
Perihal aktivitasnya sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan, Tabrani sejak masuk Jong Java, melalui tulisannya di majalah organisasi itu, mencetuskan pemikiran menuju persatuan nasional, yang disebut gerakan Groot-Indonesie. Groot-Indonesie berisi organisasi pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Islamieten Bond. Perkumpulan itu memprakarsai pembentukan panitia untuk mengadakan Kongres Pemuda Pertama. Dalam konferensi pertama perkumpulan itu disahkan terbentuknya panitia kongres, yaitu Tabrani (ketua), Sumarto (wakil ketua), Djamaloedin Adinegoro (sekretaris), dan Suwarso (bendahara).
Setelah Kongres Pemuda Pertama, Tabrani diminta menjadi Pemred Hindia Baroe. Akibatnya, ia mengalami dilema karena akan berangkat ke Eropa pada akhir 1926 untuk memperdalam pengetahuan dan pengalaman jurnalistik dan ilmu persuratkabaran. Akhirnya, ia memilih untuk menjadi pemred dulu. Ia menanggalkan jabatan itu sebelum pergi ke Belanda.
Tabrani berangkat dari Jakarta ke Belanda, pada 13 Juli 1927. Di sana ia kecewa sebab tidak ada sekolah jurnalistik setaraf perguruan tinggi yang ia cari. Menurut wartawan di sana, jurnalis di Belanda tidak dididik di sekolah jurnalistik, tetapi dilahirkan di media massa.
Meskipun begitu, Tabrani tetap ingin mencari ilmu dan pengetahuan di Eropa meski di luar Belanda. Sambil menunggu kesempatan itu, ia bekerja di Belanda, antara lain, menjadi pembantu harian De Telegraaf, Rotterdamsc Niewsblad, dan Het Volk. Ia juga menulis untuk pers di Indonesia.
Tabrani kemudian pergi ke Berlin, Jerman, untuk menemui Prof. Dr. Emil Dovifat, pemimpin Deutsches Institut für Zeitungskunde, institut studi surat kabar. Ia mengatakan kepada Dovifat bahwa ia ingin kuliah jurnalistik dengan tujuan menjadi wartawan politik, ekonomi, dan olahraga. Berdasarkan hal itu, Dovifat menyarani Tabrani untuk tidak mengikuti kuliah jurnalistik di perguruan tinggi di Jerman sebab tidak sesuai dengan tugasnya sebagai wartawan sekaligus pejuang kemerdekaan di Indonesia kelak.
Dovifat menyarani Tabrani untuk belajar sendiri di museum dan perpustakaan di Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Ia juga menyarani Tabrani untuk bekerja di Pressa, pameran pers dunia di Keulen, Jerman, yang berlangsung sejak Mei hingga Oktober 1928. Selain itu, ia memberi Tabrani surat pengantar untuk perguruan-perguruan tinggi di Jerman, Inggris, dan Prancis agar Tabrani dibolehkan mengikuti kuliah sebagai pendengar.
Dengan kemampuannya berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis, Tabrani diterima bekerja di Pressa. Ia bekerja sambil belajar di Pressa selama enam bulan, awalnya sebagai tukang tempel tulisan, lalu pindah ke bagian Press Officer.
Selama berada di Eropa, Tabrani belajar sendiri soal-soal politik dan ekonomi di Belanda, Inggris, Prancis, Italia, Austria, dan Denmark. Di negara-negara itu ia mengunjungi museum, perpustakaan, dan mengikuti kuliah berbagai bidang ilmu.
Dengan ilmu jurnalistik, politik, dan lainnya yang ia peroleh selama berada di Eropa, Tabrani menulis buku jurnalistik. Buku itu berjudul Ons Wapen, terbit di Belanda pada September 1929. Ons Wapen artinya ‘senjata kita’. Yang ia maksud sebagai senjata itu ialah pers nasional Indonesia beserta organisasinya. Ia sudah lama berencana memakai surat kabar sebagai senjata untuk mencapai Indonesia merdeka tanpa kekerasan.
Tabrani menulis Ons Wapen dalam bahasa Belanda agar dapat dibaca oleh kaum terpelajar Indonesia, yang pada umumnya menguasai bahasa Belanda. Buku itu juga terbit di Belanda dengan oplah 1.000 eksemplar. Sebanyak 300 eksemplar dikirimkan kepada pers, perpustakaan, dan museum di Belanda dan Indonesia, sedangkan 700 eksemplar lagi dikirimkan ke Jakarta.
Di Jakarta, Ons Wapen disita oleh Pemerintah Hindia Belanda. Keberatan paling besar dari pemerintah terhadap buku itu ialah rencana Tabrani untuk menerbitkan harian nasional dalam bahasa Belanda. Dengan senjata itu, gerakan nasional akan meluas dan bertambah kuat sebab bisa mempengaruhi masyarakat yang dapat berbahasa bahasa Belanda, yang terdiri dari barisan terpelajar Indonesia, Cina, Arab, dan keturunan Belanda.
Dalam Bab Kata Penutup Ons Wapen, Tabrani menulis seruan. Cuplikannya dalam bahasa Indonesia seperti ini:
Perjuangan kemerdekaan pers di Tanah Air sejalan dengan perjuangan nasional kita. Gerakan kemerdekaan dan pers merupakan dua kekuasaan dan kekuatan yang saling membutuhkan tanpa yang satu mendikte yang lain.
Jika kekuatan dan usaha para pemimpin politik tidak mencukupi untuk mengatasi setiap macam angkara murka penjajah terhadap Tanah Air kita, maka pers dapat mengatasinya. Berdasarkan kedudukannya dalam masyarakat ramai, dalam sekejap mata dapat memanggil rakyat untuk mengadakan gerakan nasional, mobilisasi nasional untuk membela segala-galanya yang kita cintai dan yang kita anggap luhur.
Lakukanlah perjuangan yang memang tidak dapat dielakkan, perjuangan yang akan menentukan nasib kita. Salah satu usaha untuk memperkuat perjuangan nasional kita telah kita sajikan, yaitu pembentukan badan persatuan pers nasional dan penerbitan harian nasional dalam bahasa Belanda, yang memang diperlukan dan amat dibutuhkan.
Pulang ke Indonesia
Tabrani kembali ke Jakarta pada Januari 1931 dari Jerman. Ia kemudian menikah dengan Seti Rahayu di Magelang. Anak Tabrani, Amie Primarni, saat saya wawancarai lewat WhatsApp pada 7 Oktober 2022, mengatakan bahwa dari pernikahan itu lahir Prihani, Primadi, Pribadi, Priesni, dan Priyani. Setelah Seti Rahayu wafat dan Tabrani menduda cukup lama, Tabrani menikah dengan Siti Sumini pada 1964. Dari pasangan itu lahir Primarni.
Sekembalinya dari Eropa, dikutip dari Soebagijo I.N. dalam Jagat Wartawan Indonesia (1981), Tabrani mengemudikan majalah mingguan Revue Politik di Jakarta. Setelah itu, antara 1932—1936, ia kembali ke Madura dan memimpin “Sekolah Kita” di Pamekasan. Dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda disebutkan bahwa Tabrani memimpin perguruan swasta itu di Pamekasan untuk bagian HIS dan MULO.
Setelah empat tahun berada di Pamekasan, kata Soebagijo (1981), Tabrani kembali ke Jakarta. Ia menerima ajakan R.H.O Djunaedi mengemudikan Pemandangan. Tabrani (1979) mengatakan bahwa ia menjadi Pemimpin Direksi dan Redaksi Pemandangan pada 1936—1942. Di samping itu, ia memimpin majalah mingguan Pembangoen. Dalam Orang Indonesia jang Terkemoeka di Djawa (1944) disebutkan bahwa Tabrani memimpin Pemandangan dan Pembangoen pada 1936—1940.
Dalam buku terbitan Gunseikanbu itu tercatat bahwa Tabrani pada 1940 bekerja di Regering Publieke Dienst/RPD (semacam dinas penerangan atau bagian humas) Jakarta bagian jurnalistik, kemudian bagian kartotek dan dokumentasi. Pada Februari 1942 ia pindah ke Bandung karena RPD pindah ke sana. Di kota itu pada September 1942 ia menjadi anggota redaksi harian Tjahaja.
Pada 12 Januari 1984, kata Primarni, Tabrani wafat pada usia 80 tahun. Ia dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.
Pengusulan Tabrani sebagai Pahlawan Nasional
Badan Bahasa memprakarsai pengusulan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Tabrani. Dalam wawancara lewat telepon dengan saya pada 5 Oktober 2022, Kepala Badan Bahasa, Endang Aminudin Aziz, mengatakan bahwa gagasan pemberian gelar pahlawan itu sudah muncul sewaktu ia memimpin lembaga tersebut pada 2010 selama tujuh bulan.
Amin menjelaskan bahwa pihaknya memprakarsai pengusulan pemberian gelar pahlawan itu untuk menghargai gagasan Tabrani yang mengusulkan nama bahasa Indonesia sebagai nama bahasa persatuan pada Kongres Pemuda Pertama. Menurutnya, membangun rasa keindonesiaan harus total. Ketika berbicara tentang kebangsaan, bangsanya Indonesia, tanah airnya Indonesia, bahasanya juga harus bahasa Indonesia sebab semuanya satu napas pemikiran untuk perjuangan. Usulan Tabrani itu menggelorakan semangat pemuda berjuang untuk melawan penjajah. Baginya, perjuangan menuju kemerdekaan bukan hanya dengan senjata, melainkan juga dengan gagasan.
Sebagai salah satu bukti dukungan tersebut, kata Amin, Badan Bahasa menyematkan nama Tabrani sebagai nama salah satu gedung di kantor lembaga itu pada 2019. Selain itu, pada 6 Agustus 2019 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, memberikan piagam penghargaan kepada Tabrani sebagai penggagas bahasa persatuan Indonesia. []
Editor: Nuran Wibisono