tirto.id - Sejarah perkembangan bahasa Indonesia sebelum kemerdekaan RI bisa ditarik hingga masa ketika kerajaan-kerajaan nusantara masih berkuasa. Bahasa Melayu kala itu sudah lazim dipakai sebagai bahasa pergaulan atau lingua franca di nusantara. Bahasa Melayu inilah rahim bahasa Indonesia.
Teori asal-usul bahasa Melayu yang paling populer dikemukakan oleh dua ilmuwan, arkeolog Peter Bellwood dan linguis Robert Blust. Akar bahasa Melayu diidentifikasi berasal dari rumpun bahasa Austronesia, berdasarkan teori keduanya.
Bentuk paling purba bahasa Melayu, yakni Proto Melayu-Polinesia, kemungkinan berkembang di Filipina mulai sekitar 2500 SM. Kira-kira tahun 2000 SM, muncullah cabang-cabang baru bahasa Proto Melayu-Polinesia, bersamaan dengan arus migrasi penuturnya ke nusantara.
Pada kisaran 1500-500 SM, rumpun bahasa Melayu-Cham berkembang di Pulau Kalimantan bagian barat. Bahasa ini diduga merupakan nenek moyang langsung dari bahasa Melayu. Dari Kalimantan, masyarakat penutur bahasa Melayu-Cham lantas bermigrasi ke Kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya.
Proses migrasi tadi diperkirakan berlangsung sebelum periode Masehi datang. Dari Semenanjung Malaya, leluhur penutur bahasa Melayu bermigrasi ke Pulau Sumatera bagian tenggara. Sementara kelompok lain menuju ke Vietnam dan menjadi nenek moyang penutur bahasa Cham.
Selama abad-abad awal Masehi, bahasa Melayu mulai berkembang menjadi lingua franca di sekitar kepulauan Nusantara. Lokasi utama pemakaian bahasa ini di sekitar pesisir Sumatra dan Malaya.
Bahasa Melayu ditemukan sudah dipakai sebagai bahasa kenegaraan di Sriwijaya sejak abad ke-7 Masehi. Hal ini diketahui melalui sejumlah prasasti dari tahun 600-an M. Mengutip data dari laman Kebudayaan Kemdikbud, ada 4 prasasti dari periode itu yang ditulis menggunakan bahasa Melayu.
Keempatnya ialah prasasti Kedukan Bukit (683 M/605 Saka), Talang Tuwo (684 M/606 Saka), Kota Kapus (686 M/608 Saka), dan Karang Brahi (686 M/608 Saka). Ditemukan dari tepi Sungai Tatang, Sumatera Selatan, Kedukan Bukit merupakan prasasti tertua yang isinya memuat nama Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti itu ditulis dengan bahasa campuran Melayu Kuno dan Sansekerta.
Penemuan keempat prasasti mengindikasikan bahasa Melayu telah menjadi lingua franca sekaligus bahasa resmi pada era Kerajaan Sriwijaya. Dugaan tersebut diperkuat oleh catatan dari penjelajah Tiongkok, I Tsing yang menerangkan bahwa bahasa Sansekerta dan bahasa Melayu (disebut Kw’en Lun) sudah berperan besar dalam kehidupan politik dan keagamaan di Sriwijaya pada abad 7 M.
Kemajuan Sriwijaya dan pelayaran dagang di nusantara mempercepat perluasan pengaruh bahasa Melayu di nusantara. Peran bahasa Melayu sebagai lingua franca berkembang pesat selama masa kerajaan-kerajaan Hindu hingga lahirnya sejumlah kesultanan Islam pada era abad 13 M.
Masa-masa setelahnya, saat pelayaran dagang internasional di sekitar selat Melaka semakin ramai pada abad 15-17 M, posisi bahasa Melayu sebagai lingua franca bertambah mapan. Di buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid I (2014), Anthony Reid mencatat, kata-kata bahasa Melayu bahkan terserap dalam bahasa lokal pusat-pusat perdagangan di wilayah Filipina, Kamboja, hingga pantai Malabar di India.
Pihak yang berperan memperluas pengaruh bahasa Melayu pun bukan hanya para penutur aslinya. Harimurti Kridalaksana dalam Masa-masa Awal Bahasa Indonesia (2009) mencontohkan, seorang Sultan Ternate pada abad 15 M, berkirim surat kepada Raja Portugal dalam Bahasa Melayu. Pada abad-abad berikutnya, sejumlah pendeta Kristen dari Eropa bahkan menggunakan Bahasa Melayu untuk menyebarkan agamanya di pelbagai wilayah di Asia Tenggara.
Sejarah Bahasa Indonesia Sebelum Kemerdekaan RI
Sejarah cikal bakal perkembangan bahasa Indonesia diawali dari masa penjajahan kolonial Belanda di awal abad ke-20. Pada saat itu, banyak warga pribumi mengalami kesulitan untuk menggunakan bahasa Belanda. Akhirnya sejumlah sarjana Belanda menyusun standarisasi bahasa Melayu supaya bisa menjadi alternatif untuk penyampaian kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda ke publik.
Ejaan resmi bahasa Melayu pertama kali disusun oleh Charles Adriaan van Ophuijsen yang dibantu oleh Moehammad Taib Soetan Ibrahim dan Nawawi Soetan Ma’moer. Ophuijsen menerima perintah dari pemerintiah Hindia Belanda untuk menyusun standar aksara latin bahasa Melayu. Tugasnya itu berujung pada tersusunnya buku Kitab Logat Melajoe pada tahun 1901.
Van Ophuijsen merupakan orang Belanda kelahiran Solok, Sumatera Barat. Dia punya pengalaman mempelajari sejumlah bahasa suku di Hindia Belanda. Hasil kerjanya di Kitab Logat Melajoe kelak menjadi pedoman tata bahasa Indonesia yang disebut ejaan van Ophuijsen.
Pemakaian bahasa Melayu dalam forum-forum resmi dan banyak produk penerbitan pada abad ke-20 juga didukung oleh pembentukan Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) pada tahun 1908. Lembaga yang aktif menerbitkan banyak buku berbahasa Melayu ini kemudian beralih nama menjadi Balai Poestaka pada tahun 1917.
Gagasan menjadikan bahasa Melayu sebagai alat persatuan bangsa Indonesia mengkristal di tahun 1926, yakni di Kongres Pemuda I. Sosok yang punya peran besar menyokong gagasan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah Mohamad Tabrani.
Aktivis pemuda Jong Java kelahiran Madura ini merupakan jurnalis koran Hindia Baroe. Tanggal 11 Februari 1926, muncul esai Tabrani bertajuk "Bahasa Indonesia" di koran Hindia Baroe.
Melalui esai tersebut, Tabrani mengkritik kaum terpelajar Bangsa Indonesia yang lebih terikat pada bahasa Belanda. Meskipun mengakui bahasa Belanda bermanfaat untuk memperluas pengetahuan dan wawasan, Tabrani mengingatkan kaum terpelajar bumiputra perlu memikirkan perumusan alat persatuan berupa bahasa Indonesia.
Tabrani juga menjadi salah satu penggerak utama penyelenggaraan Kongres Pemuda I pada 30 April - 2 Mei 1926. Momon Abdul Rahman, dkk dalam buku Sumpah Pemuda: Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional (2008) mencatat Tabrani mengusung gagasannya dalam Kongres Pemuda I.
Tabrani bersama Muhammad Yamin dan Sularto berada dalam satu grup yang bertugas membahas alat persatuan bangsa Indonesia, termasuk bahasa. Dalam pidatonya di Kongres Pemuda I, Yamin mengajukan usulan bahasa Jawa dan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia.
Setelah melalui serangkaian perdebatan, para peserta Kongres Pemuda I lantas bersepakat bahwa bahasa Melayu sebagai dasar bahasa Indonesia. Sementara itu, bahasa-bahasa daerah lain dapat berperan memperkaya bahasa persatuan bangsa Indonesia tersebut.
Penegasan bahasa Indonesia sebagai pemersatu Bangsa Indonesia muncul dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928. Penegasan itu tertuang dalam salah satu ikrar Sumpah Pemuda yang berbunyi: "Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Sejak itu, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia semakin serius. Pada tahun 1933, lahir angkatan sastrawan muda yang dilatarbelakangi oleh penerbitan Majalah Pujangga Baru pada Juli 1933. Majalah tersebut didirikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Armijn Pane, serta Amir Hamzah. Tiga tahun setelah penerbitan perdana Pujangga Baru, STA menyusun "Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia."
Upaya mengukuhkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sebelum era Kemerdekaan RI memuncak dalam penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia I. Edisi pertama Kongres Bahasa Indonesia itu digelar di Solo pada 25-28 Juni 1938.
Mengutip laman Badan Bahasa Kemendikbudristek RI, Kongres Bahasa Indonesia I digelar dengan prakarsa Soedardjo Tjokrosisworo dan Soemanang Soerjowinoto. Kala itu, Soedardjo Tjokrosisworo merupakan wartawan harian Soeara Oemoem Soerabaja. Adapun Soemanang Soerjowinoto punya posisi sebagai Direktur Perguruan Rakyat.
Tujuan Kongres Bahasa Indonesia I adalah menindaklanjuti Kongres Pemuda II pada tahun 1928. Kongres ini dihadiri para cendekiawan bumiputra dari angkatan muda dan tua. Perpaduan generasi terlihat dari nama-nama tokoh yang terlibat dalam perumusan hasil Kongres Bahasa I.
Mereka adalah Amir Sjarifoeddin (31 tahun), Sutan Takdir Alisjahbana (32 tahun), Mohamad Yamin (35 tahun), St. Pamoentjak (52 tahun), Adi Negoro (34 tahun), Ki Hadjar Dewantara (49 tahun), Soekardjo Wirjopranoto (35 tahun), R.P. Soeroso (45 tahun), dan Sanoesi Pane (33 tahun).
Dalang Kongres Bahasa Indonesia I, terdapat 2 topik menarik yang dibahas. Keduanya adalah perencanaan dan kedudukan bahasa Indonesia (1) serta pendidikan dan pengajaran bahasa Indonesia (2). Dua tema ini selalu menjadi agenda pembahasan dalam kongres-kongres bahasa selanjutnya.
Ketika berpidato dalam kongres ini, Ki Hajar Dewantara menyatakan:
"Jang dinamakan 'bahasa indonesia' jaitoe bahasa melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia [...]."
Berikut ini 4 putusan penting Kongres Bahasa Indonesia I pada tahun 1938:
1. Kongres menyetujui untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk undang-undang
negeri (embrio bahasa Indonesia sebagai bahasa negara).
2. Kongres menyetujui pengambilan kata-kata asing ilmu pengetahuan yang pada kemudian hari diserahkan pada satu badan.
3. Kongres menyepakati bahwa, untuk sementara waktu, ejaan baru belum diperlukan sehingga ejaan yang digunakan adalah Ejaan van Ophuijsen.
4. Kongres menunjuk suatu komisi untuk mengurus rencana pendirian Institut Bahasa Indonesia.
Pada saat kemerdekaan Republik Indonesia sudah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi Negara RI. Dasar penetapan bahasa Indonesia jadi bahasa resmi, tertuang dalam Bab X pasal 36 UUD 1945.
Penulis: Wulandari
Editor: Addi M Idhom