tirto.id - Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Namun, mungkin belum banyak orang tahu tentang kapan kali pertama nama bahasa Indonesia muncul dan siapa yang menciptakannya. Ini juga termasuk dengan cerita tentang dipilihnya nama bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bukan bahasa Melayu.
Nama bahasa Indonesia pertama kali dicetuskan oleh Mohamad Tabrani, seorang jurnalis. Ia kali pertama menyebut bahasa Indonesia dalam tulisannya yang berjudul “Kasihan” di koran Hindia Baroe pada 10 Januari 1926. Dikutip dari T.D. Asmadi dalam “Langkah Besar Tabrani” (Pengutamaan Bahasa Negara di Ruang Publik: Perkuat Pengawasan, 2019), Tabrani menulis, “Atau dalam bahasa Indonesia” ketika menerjemahkan sebuah syair dalam bahasa Belanda. Tak ada tambahan apa-apa karena topik tulisan itu tentang tindak-tanduk orang-orang Indo (keturunan campuran Eropa dan pribumi).
Barulah pada 11 Februari 1926 Tabrani secara khusus menulis tentang nama bahasa Indonesia. Pada tanggal itu ia menulis esai “Bahasa Indonesia” di rubrik “Kepentingan” di Hindia Baroe. Dalam esai yang menyorot fenomena kaum terpelajar bangsa Indonesia yang terikat oleh bahasa Belanda seolah-olah itu adalah ukuran kemajuan orang di tanah air, Tabrani menulis bahasa itu sebagai:
“Satoe djalan oentoek mengoeatkan perasaan persatoean antara manoesia sama manoesia.”
Tabrani mengakui bahwa bahasa Belanda membantu kaum terpelajar untuk meluaskan pengetahuan dan pandangan. Namun, ia mengingatkan kaum terpelajar untuk berusaha dan berikhtiar menerbitkan satu bahasa yang lambat laun akan diberi nama bahasa Indonesia.
Menurutnya, pergerakan persatuan bangsa Indonesia tak begitu keras dan lekas, antara lain, karena tidak mempunyai bahasa yang gampang diketahui oleh sekalian bangsa kita. Ia ingin bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan yang dinamakan bahasa Indonesia dengan tujuan, “... soepaja pergerakan persatoean anak-Indonesia akan bertambah keras dan tjepat.”
Tabrani menutup esainya dengan kata-kata pembakar semangat:
“Bangsa dan pembatja kita sekalian! Bangsa Indonesia beloem ada. Terbitkanlah bangsa Indonesia itoe. Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itoe. Karena menoeroet kejakinan kita kemerdekaan bangsa dan tanah air kita Indonesia ini teroetama akan tertjapai dengan djalan persatoean anak-Indonesia jang antara lain-lain terikat oleh bahasa Indonesia.”
Tabrani membawa gagasannya itu ke dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Abdurrachman Surjomihardjo dalam pendahuluan Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama (terjemahan Muh. Nur, 1981), menyebut bahwa Tabrani bersama Muhammad Yamin dan Sumarto berada dalam satu kelompok dengan tugas membahas dan mematangkan cita-cita satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.
Pada hari ketiga kongres itu, 2 Mei 1926, Yamin menuliskan nama bahasa Melayu dalam butir ketiga usul resolusi kongres, yang akan dimajukan dalam sidang umum kongres: “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan, Bahasa Melajoe“.
Tabrani menolak ide itu.
Dalam esainya, “Kongres Pemuda Indonesia Pertama 30 April 1926 s/d. 2 Mei 1926” (45 Tahun Sumpah Pemuda, 1974)", Tabrani mengatakan bahwa jalan pikirannya: tujuan kita bersama adalah Satu-Nusa, Satu-Bangsa, Satu-Bahasa.
"Kalau Nusa itu bernama Indonesia, Bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasanya harus disebut Bahasa-Indonesia dan bukan Bahasa Melayu, walaupun unsur-unsur Bahasa Melayu mendasari Bahasa-Indonesia itu," tulisnya.
Sebelumnya, sebagaimana diceritakan Tabrani dalam autobiografinya, Anak Nakal Banyak Akal (manuskrip, 1978; diterbitkan Aqua Press pada 1979), ia, bersama Sanusi Pane dan Djamaloedin Adinegoro, menyetujui pidato Yamin sebelum dibacakan di sidang kongres.
Yamin dalam pidatonya, “Kemungkinan-Kemungkinan Masa Depan Bahasa-Bahasa dan Sastra Indonesia” (dalam Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama)", mengatakan bahwa sejak berabad-abad bahasa Melayu merupakan bahasa antarkepulauan di Nusantara, bahasa yang paling banyak dipakai dalam perdagangan, pers, dan publikasi, lalu lintas di darat dan di air. Ia berkeyakinan penuh bahwa bahasa Melayu lambat laun akan menjadi bahasa percakapan dan persatuan yang tepat bagi bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia pada masa depan akan menemukan ungkapannya dalam bahasa itu.
Karena Tabrani menolak bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dalam usul resolusi, Yamin naik pitam.
“Tabrani menyetujui seluruh pidato saya, tetapi kenapa menolak konsep usul resolusi saya. Lagi pula yang ada bahasa Melayu, sedang bahasa Indonesia tidak ada. Tabrani tukang ngelamun," tuturnya seperti ditirukan Tabrani.
Yamin mengatakan Tabrani tukang melamun karena ia menganggap Tabrani tak konsisten: menyetujui bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dalam pidato Yamin, tetapi menolaknya dalam usul resolusi. Mungkin Tabrani luput. Seharusnya ia menolak nama bahasa Melayu sejak dalam pidato Yamin.
Tabrani (1978) lalu menanggapi Yamin dengan mengatakan bahwa alasan Yamin betul dan kuat. Apalagi, tambahnya, Yamin lebih paham bahasa ketimbang dirinya.
“Namun saya tetap pada pendirian. Nama bahasa persatuan hendaknya bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia. Kalau belum ada, harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Pertama ini.”
Dalam perdebatan tentang nama bahasa persatuan itu terlibat juga Adinegoro dan Sanusi Pane. Menurut Tabrani (1978), mereka (Tabrani, Adinegoro, Pane, dan Yamin) merupakan panitia perumus. Pane datang terlambat sehingga pembicaraan dilakukan hanya oleh Yamin, Adinegoro, dan Tabrani. Di tengah perdebatan itu, Adinegoro mengajukan pendapatnya.
Dikutip dari Wage Rudolf Supratman (B. Sularto, 1985), Adinegoro mengatakan bahwa argumentasi Yamin untuk mencantumkan bahasa Melayu dalam konsep perumusannya memang berdasarkan fakta. Pada waktu itu bahasa Melayu telah berabad-abad menjadi semacam bahasa pengantar di Nusantara.
Ketika suasana perdebatan terasa kian tegang, kata Sularto (1985), muncullah Pane yang mendukung alasan Tabrani dan mengemukakan pendapatnya. Menurutnya, baik pendapat Yamin maupun Tabrani sama-sama benar.
"Jika bertolak dari kenyataan sejarah, Mas Yamin benar. Akan tetapi, pendapat Mas Tabrani juga tidak dapat dikatakan salah. Ya, kita sudah menyatakan bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Kita sudah mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Apa pula salahnya jika bahasa persatuan kita bernama bahasa Indonesia. Saya juga setuju, bahasa Indonesia kita lahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini, Mas Yamin,” kata Pane dalam buku B. Sularto, Dari Kongres Pemuda Indonesia Pertama ke Sumpah Pemuda (1986).
Sularto memang tidak menyebutkan sumber pernyataan Pane itu. Namun, dalam daftar informasi di akhir bukunya tertulis “Rekaman wawancara dengan Bapak Muhamad Tabrani, pada tahun 1977 di Jakarta” dan dalam daftar pustakanya tertulis: Tabrani, M, Sejarah “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia”, naskah ceramah, Jakarta, 1975.
Perihal dukungan Adinegoro terhadap Yamin dan dukungan Pane, Tabrani (1978) menceritakan kalau Djamaloedin condong ke pemikiran Yamin sehingga jika diibaratkan pertandingan sepak bola maka skor 2-1 untuk kemenangan Yamin.
"Setelah Sanusi Pane muncul stand berobah menjadi 2-2. Sebab Sanusi Pane menyetujui saya," tulis Tabrani.
Karena perbedaan pendapat tentang nama bahasa persatuan, Tabrani (1981) menceritakan bahwa diambil kebijaksanaan, putusan terakhir dipasrahkan kepada Kongres Pemuda Indonesia Kedua dengan catatan bahwa Yamin harus memperjuangkan supaya nama bahasa persatuan bukan bahasa Melayu, melainkan bahasa Indonesia. Debat antara Yamin dan Tabrani akhirnya tidak diteruskan, semata-mata untuk memelihara persatuan dan kesatuan antara keduanya, apalagi mengingat argumen mereka sama-sama benar.
“Tabrani kuat, karena ‘Ikrar Pemuda’ hendaknya sesempurna mungkin. Dan ini diakui oleh Yamin. Cuma karena saya menyetujui seluruh pidato Yamin, agak sukar diminta kesediaan Yamin untuk menyetujui pendapat saya yang mendadak itu dalam sidang umum Kongres. Sopan santun percaturan tidak atau kurang memperkenankannya. Berdasarkan kesemuanya itu, sehabis Kongres Yamin dan saya tidak pernah mengungkapkan perbedaan pendapat tersebut dan terbukti Yamin memenuhi janjinya,” kata Tabrani (1981).
Tabrani mengklaim bahwa Yamin dan Adinegoro memahami, menghargai, dan menyetujui jalan pikirannya sehingga pengambilan putusan tentang nama bahasa persatuan itu ditunda dan hendaknya dikemukakan dalam Kongres Pemuda Indonesia kedua. Tabrani menyampaikan klaimnya itu lagi dalam bukunya (1978)
“Diambil kebijaksanaan: keputusan terakhir ditunda sampai Kongres Pemuda Indonesia Kedua. Itulah sebabnya yang kini terkenal dengan ‘Sumpah Pemuda’ bukan hasil keputusan Kongres Pemuda Indonesia Pertama (1926), tetapi hasil keputusan Kongres Pemuda Indonesia kedua (1928). Arsiteknya Yamin dengan catatan, bahwa nama bahasa Melayu diganti menjadi bahasa Indonesia selaras dengan pesan yang dititipkan kepadanya oleh Kongres Pemuda Indonesia Pertama.”
Dalam paragraf lain buku itu, Tabrani mengatakan bahwa dalam Kongres Pemuda Kedua, Yamin berjasa besar karena tidak lupa kepada persetujuan yang telah dicapai dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama bahwa bahasa persatuan bukanlah bahasa Melayu, melainkan bahasa Indonesia.
Hingga Kongres Pemuda Kedua, Yamin tidak menceritakan alasannya menyetujui nama bahasa Indonesia yang diusulkan Tabrani itu.
Subagio Reksodipuro dkk. dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda menceritakan, Yamin mengatakan bahwa bahasa Indonesia memberikan pengaruh kepada persatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari begitu banyak suku bangsa yang punya beberapa ratus bahasa daerah. Yamin juga menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah ada di Indonesia sejak berabad-abad dan bukan bahasa bikinan baru. Bahasa Indonesia, katanya, dipergunakan oleh kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
“Menurutnya, persatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku ini memerlukan bahasa persatuan dan bahasa Indonesia adalah bahasa yang sudah berurat-akar dalam pergaulan dan peradaban Indonesia. Karena itu, bahasa Indonesia hendaknya diakui sebagai bahasa persatuan oleh Kongres Pemuda itu,” kata Subagio Reksodipuro dkk.
Dalam Kongres Pemuda Kedua, kata Subagio Reksodipuro dkk, Yamin berceramah tentang persatuan dan kebangsaan Indonesia. Yamin mengemukakan bahwa persatuan tidak hanya didasarkan atas persamaan nasib dalam kehidupan ekonomi, tetapi juga pada sejarah, hukum adat, dan pokok bahasa yang tunggal. Yamin mengatakan bahwa ada lima faktor untuk menempa persatuan bangsa Indonesia, yaitu faktor sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Maka sejak itu, bahasa Indonesia dipakai sebagai satu dari faktor yang memperkuat persatuan bangsa Indonesia. []
Editor: Nuran Wibisono