tirto.id - Indonesia tak pernah kekurangan stok pahlawan. Mari tengok sebuah ruangan di Kementerian Sosial, Jakarta Pusat. Di kantor yang mengurusi gelar pahlawan—namanya Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial—ada sepuluh boks plastik yang bertumpuk rapi, tersandar di salah satu tembok.
“Boks itu berisi berkas para pengusul pahlawan nasional dan perintis kemerdekaan tahun 2016,” kata
Rina Retnoningrum, kepala seksi seleksi dan identifikasi penghargaan dari Kemensos.
Merujuk aturan tentang pemberian gelar pahlawan—UU No. 20/2009 hingga PP No. 35/ 2010, dan Peraturan Mensos 15/2012 tentang prosedur usulan gelar pahlawan nasional—disebutkan bahwa setiap orang maupun institusi “dapat mengajukan usul pemberian gelar calon pahlawan nasional”. Usulan ini dibuat berjenjang, dari daerah hingga provinsi sampai kementerian. Ada sebuah tim yang mengevaluasi nama-nama yang diusulkan, dari tingkat daerah hingga pusat.
Bila syarat-syarat ini lolos, termasuk lewat kajian akademis, maka menteri sosial akan menyerahkannya ke sebuah badan yang disebut Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan—sebagaimana aturan ini dinamakan. Dewan ini yang bertugas memberi pertimbangan kepada presiden, yang punya hak menerima atau menolak usulan tersebut.
Selama 2014–2016, Kemensos mencatat ada 24 pengusul pahlawan nasional. Pada 2014, ada empat usulan nama, yakni Letjen Djamin Ginting, Sukarni Kartodiwirjo, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan Mayjen TKR HR Mohammad Mangoendiprojo. Empat nama itu ditetapkan presiden sebagai pahlawan nasional. Pada 2015, empat dari lima usulan ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Pada 2016, ada 15 usulan dari daerah tetapi hanya 11 yang lolos ke meja Dewan Gelar. Belakangan, Presiden Joko Widodo hanya menetapkan Kiai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin sebagai pahlawan nasional. Ia juga menetapkan gelar kehormatan bintang Mahaputera bagi Alm. Mayjen TNI (Purn) Andi Mattalatta dan Alm. Letkol inf. (Anumerta) Mohammad Sroedji.
Adapun untuk usulan “pahlawan perintis kemerdekaan”, Kemensos menetapkan enam orang dari 25 usulan nama pada 2014, 6 orang dari 30 nama pada 2015, dan semua 4 orang dari empat nama pada 2016.
Mereka yang ditetapkan itu, sesuai undang-undang, berhak dikuburkan di pelbagai taman makam pahlawan nasional, baik di pusat, provinsi, kabupaten atau daerah.
Saat ini, ada 383 TMP Nasional, terdiri 1 TMP Nasioanal Utama Kalibata (Jakarta), 28 TMP provinsi, 353 TMP kabupaten/kota, 1 TMP di luar negeri (Timor Leste).
Pengalaman dari seringnya jenazah dimakamkan di TMP Kalibata, bahkan bagi pensiunan tentara dan polisi termasuk menteri, undang-undang itu mengatur hanya mereka yang bergelar pahlawan nasional, peraih bintang republik, dan bintang mahaputera yang boleh dikuburkan di sana. Belakangan, sesudah ada uji materi dari Legiun Veteran, syarat itu ditambah, yakni penerima bintang gerilya pun boleh tinggal di TMP Kalibata.
“Ada veteran yang mau dimakamkan tetapi tidak bisa. Padahal mereka memegang bintang gerilya,” ujar Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Para pejuang itu, kata Asvi, beranggapan bahwa tanda kehormatan bintang gerilya lebih tinggi ketimbang bintang kehormatan Mahaputera. Pasalnya, mereka mendapatkannya dengan “mengorbanan jiwa raga untuk membela negara pada 1945-1949.” Sementara bintang mahaputera, misalnya, mudah diperoleh terutama pada era Orde Baru termasuk diberikan kepada istri seorang menteri.
Berdasarkan data Dirjen Pemberdayaan Sosial dari Kemensos yang mengurusi gelar pahlawan, ada 72 warga yang menerima bintang republik selama 1959–2007. Salah satunya Abdoel Wachid Hasjim, tokoh perancang pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, ada 169 jumlah pahlawan nasional, 40 di antaranya disemayamkan di TMP Kalibata. Sisanya menyebar di pelbagai TMP daerah dan pemakaman umum. Kemensos tidak memiliki data akurat soal jumlah orang yang mendapatkan bintang mahaputera dan bintang gerilya.
“Pahlawan ada juga dimakamkan … di makam umum seperti di Tanah Kusir dan Karet. Terus, kalau Anda lihat di makam umum ada bambu runcing serta bendera merah putih, itu pejuang atau perintis kemerdekaan juga,” kata Bambang Pujianto, kepala seksi pengelolaan TMP Nasional.
Para Veteran di Taman Pemakaman Umum
Menurut Muchtar Suroso, sekretaris Dewan Harian Daerah Angkatan 45 DKI Jakarta, “tak ada larangan” bagi pejuang yang memilih dikuburkan di pemakaman umum. Pihaknya akan membantu semua urusan penguburan—berkoordinasi dengan Garnisun untuk upacara militer, membuat bambu runcing dengan bendera merah-putih, hingga mengundang para veteran angkatan '45.
Bantuan itu tak hanya untuk para veteran dari Jakarta, tetapi juga pihak keluarga veteran yang ingin membawa pulang jenazah ke kampung halaman. Mereka akan mengontak dewan harian daerah Angkatan 45 lain untuk mempercepat proses pemakaman.
Dari data mereka, ada empat ribu veteran di Jakarta yang disemayamkan di pemakaman umum, di antaranya di Karet, Tanah Kusir, Menteng Pulo, Klender, Kebon Nanas, dan Rawamangun.
Untuk wilayah Jakarta pusat, sedikitnya ada 1.228 makam veteran yang tersebar di tujuh kecamatan, terbanyak di Menteng (325 makam), lalu Tanah Abang (231), Senen (135), Kemayoran (160), Johar Baru (144), Cempaka Putih (135), dan Sawah Besar atau Gambir (98).
Bambu runcing, menurut Muchtar, ialah penanda sebuah makam pejuang, terbuat dari besi sepanjang 1,5 meter. Dengan tanda itu, pihak keluarga mendapatkan sertifikat tak terbatas. Artinya, makam tersebut tak boleh ditimpa jasad lain dan tak dibebankan restribusi makam.
Biaya membuat bambu runcing sekitar Rp750 ribu per batang. Sayangnya, lantaran Dewan Harian Angkatan '45 tak punya anggaran khusus untuk membuat besi runcing itu, biayanya dibebankan kepada keluarga veteran.
Menurut Muchtar, ada perbedaan perlakuan negara terhadap veteran yang dimakamkan di TMP dan di taman pemakaman umum.
“Sama-sama mengorbankan harta, benda, dan jiwa raga … Sudah seharusnya pemerintah menanggung seluruh biaya veteran di pemakaman umum, seperti layaknya di taman makam pahlawan,” ujarnya.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam