tirto.id - Sabtu, 29 Januari 2011, Bedjo Untung berencana mengunjungi kediaman Letnan Kolonel Purnawirawan Heru Atmodjo. Selagi di bus menuju kompleks perumahan Kota Wisata Cibubur, Bogor, ia ditelepon putra Heru, yang mengabarkan ayahnya meninggal, sekira pukul 05.30. Bedjo kaget. Namun nasib tak bisa ditenggang. Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) ini lantas mengikuti seluruh prosesi pemakaman koleganya.
Ia melihat bagaimana jenazah Heru diserahkan pada Apel Persada Angkatan Udara Republik Indonesia sekira pukul 12.30. Dari sana, jenazah Heru dibawa ke Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata. Satu jam kemudian penghormatan terakhir dilakukan. Itulah prosesi penghabisan bagi mantan penerbang penyandang bintang gerilya tersebut.
Bedjo mengingat, selain dirinya dan sanak-famili Heru, pemakaman itu dihadiri jajaran AURI. Ada pula para penyintas 65 dan penggiat hak asasi manusia yang konsen pada kejahatan kemanusiaan masa lalu termasuk dari KontraS dan IKOHI.
Namun, delapan puluh lima hari kemudian, pada 26 April, Bedjo mendengar kabar bahwa makam Heru digali kembali lalu jenazahnya diungsikan ke tempat lain. Bedjo mendatangi makam Heru guna memastikan kabar tersebut.
Sesampainya di TMP Kalibata, ia menjumpai makam Heru sudah rata tanah. Bagian tengah pusara sudah ditindih batu sebesar helm. Tak jauh dari pusara, ada seperempat bagian nisan dari kayu bewarna cokelat bertuliskan 'Her'. Diperkirakan sehari sebelumnya, pukul 23.00, makam yang terletak di Blok W itu dibongkar untuk kemudian diterbangkan ke Sidoarjo, Jawa Timur.
“Sebelumnya sudah ada teror dari tentara (kepada keluarga Heru) agar jenazah Pak Heru dipindahkan. Itu keluarganya diteror memang. Sehingga ketakutan,” kata Bedjo.
Bedjo mendatangi makam teman dekatnya itu, yang ternyata disemayamkan daerah Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Di sana, makam Heru dipindahkan tepat di samping makam ibunya, setelah sebelumnya diterbangkan ke Malang. Kala Bedjo datang untuk tabur bunga, ada sejumlah orang yang diduga aparat intelijen mengawasi kompleks pemakaman.
Heru Atmodjo pernah terlibat dalam operasi pembebasan Irian Barat, penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta dan DI/TII pada 1960-an. Namun menjelang kup merangkak Soeharto terhadap pemerintahan Sukarno, Heru dituding berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Kala peristiwa kudeta 1965, ia menjabat sebagai asisten direktur intelejen di kesatuan Angkatan Udara. Saat itu nama dan tanda tangannya dicatut dalam susunan Dewan Revolusi. Heru dijebloskan di penjara Salemba dan Cipinang selama 15 tahun tanpa proses diadili.
“Tetapi dari pengakuannya Pak Heru, dia tidak pernah, nama dia itu sebelum dicantolkan di situ, dia tidak pernah dihubungi. Ini semuanya memang rekayasa. Pak Heru juga tidak tahu-menahu. Jadi dalam hal ini sejarah versi Orde Baru itu rekayasa,” ujar Bedjo.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan kala itu mempertanyakan mengapa makam Heru dipindahkan. Menurut Koordinator Kontras, Haris Azhar, Heru menerima tanda kehormatan bidang militer, gelar bintang gerilya dan layak dimakamkan di TMP Kalibata. Haris menegaskan, tudingan afiliasi Heru dengan PKI tak bisa dijadikan alibi jika hanya berdasarkan stigma dan kecurigaan pihak tertentu. Namun harus dilihat dalam fakta sejarah yang proporsional dan menyeluruh terkait peristiwa G30S.
“Sampai saat ini belum ada proses pengadilan yang fair dan jauh dari intervensi politik ataupun upaya pengungkapan kebenaran terhadap mereka yang dituduhkan terlibat dalam peristiwa G30S,” tulis Haris dalam laman resmi KontraS, 27 April 2011.
Heru menjadi salah satu saksi kunci yang meluruskan sejarah bias bentukan rezim Orde Baru. Pada 2004, Heru menerbitkan otobiografi bertajuk Gerakan 30 September 1965, kesaksian Letkol Heru Atmodjo. Langkah ini membuat dirinya dekat dengan para pejuang HAM dan penyintas.
“Indikasinya Orde Baru ini menutupi kebohongannya, supaya tertutup terus-menerus, maka orang-orang seperti Pak Heru itu tidak diberi tempat terhormat. Jadi kelompok Orde Baru Soeharto memang sampai sekarang mencoba untuk memanipulasi, menghilangkan jejak, seperti halnya sekarang banyak kuburan massal yang dibuldozer, dijadikan toko, kantor. Kemudian tempat-tempat penyiksaan seperti kamp konsentrasi itu menjadi mal,” kata Bedjo.
Hingga saat ini, berdasarkan penelitian YPKP selama 16 tahun, ada 122 titik kuburan massal. Ada 13.999 korban jiwa yang dibunuh untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru.
Padahal, menurut Bedjo, ada orang-orang penting lain yang justru tanpa hambatan bisa dimakamkan di TMP Kalibata. Beberapa di antaranya ialah Setiadi Reksoprodjo, Mantan Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan Kabinet Dwikora II Bentukan Sukarno. Setelah Sukarno dikudeta, dia juga menjadi tahanan Orde Baru. Selain itu ada Alimin, pendiri PKI yang mendapat gelar nasional. Ada pula Bakri Ilyas, Ketua Paguyuban Korban Orde Baru.
“Padahal Bakri Ilyas pernah ditahan di Salemba bersama saya. Dia memang seorang sarjana lulusan Filipina. Saya ketemu di Salemba itu tahun 1971,” ucapnya.
Mereka yang menolak dimakamkan di TMP Kalibata
Bahder Husni mengisahkan soal ahli waris yang ingin memindahkan makam secara paksa. Desakan mencabut makam ini dilakukan ketika warga Perumahan Zeni, Mampang Prapatan, melakukan demonstrasi menolak digusur.
Pada 19 Desember 2016, perwakilan dari demonstran membawa keranda dan berhenti di makam nomor 380. Di nisan itu berukir nama Dardji, Letda Purnawirawan ABRI, yang meninggal pada Mei 1987.
Husni berujar, kejadian itu ialah "emosi sesaat" dari ahli waris. Menurutnya, jenazah yang sudah disemayamkan di TMP Kalibata telah menjadi milik negara.
“Kalau kita melihat dari aspek kenegaraan, siapa pun yang berhak dimakamkan di TMP, sudah diserahkan kepada negara. Kalau diambil lagi, harus melalui proses secara kenegaraan pula,” ungkapnya.
Begitupula bagi ahli waris yang menginginkan jenazah keluarganya dipindahkan ke TMP Kalibata. “Bisa memindah. Pertama administrasi kita cek dulu apa betul sebagai pahlawan nasional. Kemudian komunikasi dengan ahli waris apakah sepakat pemindahan,” tuturnya.
Namun ada juga sejumlah tokoh penting yang enggan dimakamkan di TMP Kalibata. Di antaranya Mohammad Hatta yang menolak satu pekuburan dengan Muhammad Taher, yang ia anggap koruptor. Ada juga Kepala Staf TNI Angkatan Udara pertama Indonesia, Soerjadi Soerjadarma, yang justru berwasiat agar dikuburkan di pemakaman umum. Alasan yang sama juga diutarakan Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, gubernur pertama Sumatera Barat.
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin ingin dimakamkan di samping pusara istrinya di Tanah Kusir. Sementara Sutomo alias Bung Tomo, dengan riwayat hidupnya yang sederhana, lebih memilih dimakamkan di pemakaman umum. Ada juga advokat hak asasi manusia Adnan Buyung Nasution yang menerima bintang mahaputera.
“Itu enggak masalah. Itu pilihan ahli waris. Kalau mau, nanti bisa memindah,” kata Husni.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam