tirto.id - Surakarta menjadi kota besar sejak kepindahan pusat Mataram Islam dari Keraton Kartasura pada 1745. Pergeseran pusat kerajaan ke Surakarta dikarenakan Keraton Kartasura rusak berat akibat insiden Geger Pecinan (1740).
Namun, awalnya istilah Surakarta belum familier. Daerah yang menjadi lokasi keraton baru masih lebih populer sebagai Sala [Solo].
Sebelum berpindah ke Surakarta, pusat Kerajaan Mataram Islam sempat berada di kawasan yang bernama Wanakerta, sebuah desa yang tak jauh dari Surakarta kini. Tepatnya pada 11 September 1680, Raja Amangkurat II memboyong pusaka dan penggawa kerajaan dari Keraton Plered untuk pindah ke Wanakerta. Ibu kota baru didirikan usai Keraton Plered hancur akibat serbuan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Adipati Madura, Trunojoyo
Amangkurat II lantas menasbihkan Kartasura Hadiningrat sebagai nama anyar lokasi keraton baru Mataram Islam. Namun, kondisi politik Keraton Kartasura tak lama tenang. Konflik justru meletup akibat friksi politik kekeluargaan. Pergolakan pun memicu gempuran-gempuran fisik ke Kartasura.
Bermula dari penggulingan Amangkurat III oleh pamannya, Pangeran Puger. Merle Calvin Ricklefs menulis dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2007) bahwa Puger sukses merebut Keraton Kartasura pada 1705. Berkat dukungan dari Pangeran Arya Mataram dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Puger naik takhta dan dinobatkan dengan gelar Pakubuwana I.
Istana Kartasura bergolak lagi ketika terjadi pemaksaan suksesi oleh para saudara Amangkurat IV (penerus takhta Pakubuwana I), yakni Pangeran Purbaya, Pangeran Balitar, Arya Dipanagara, dan Arya Mataram. Ricklefs (2007) menyebut peristiwa ini, Perang Suksesi Jawa II (1719—1721).
Insiden yang tak kalah berat dampaknya ke Kartasura adalah Geger Pecinan (1740). Peristiwa itu diawali pembataian ribuan orang Cina oleh kompeni Belanda (VOC) di Batavia. Kondisi itu kembali menyumbulkan ketegangan di tengah pusara Mataram. Cucu Amangkurat III, Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) memutuskan menyerbu keraton setelah melihat sunannya bekerja sama dengan para pembantai pecinan.
Dampak signifikan dari berbagai pertempuran ini membuat bangunan Keraton Kartasura rusak—hampir di tiap sudutnya. Semasa Pakubuwana II jadi raja, ia memutuskan memindahkan Keraton Kartasura ke wilayah Sala [Solo]. Hal ini tertuang pada Babad Sala, yang menyatakan Pakubuwana II bedol ke Surakarta pada 1745. Wilayahnya tidak begitu jauh, hanya berjarak sekitar 12 km dari pusat kerajaan lama.
Sejarah Kota Surakarta pada Masa Kolonial
Di masa Pakubuwana III, Surakarta menjadi pusat kerajaan berbeda, yakni Kesunanan Surakarta, setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Soedarisman Poerwokoesomo dalam Kadipaten Pakualaman (1985), menyebut bahwa perjanjian ini berisi ketetapan pembelahan wilayah Mataram Islam menjadi dua bagian.
Keduanya adalah Kesunanan Surakarta yang dipimpin Pakubuwana III dan Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwana I).
Dua tahun setelahnya, tepatnya pada 17 Maret 1757, Kesunanan Surakarta juga menandatangani perjanjian serupa, Salatiga. Dalam jurnal Endogami (Vol. 1, 2017), Eko Putro Hendro menjelaskan perjanjian itu memuat pengakuan Kesunanan terhadap Raden Mas Said (Pangeran Sambernyowo) sebagai Mangkunegara I. Sambernyowo berdaulat atas sebagian tanah kesunanan di timur.
Selepas terbaginya wilayah Kesunanan Surakarta, lambat laun wilayah kekuasaannya pun semakin menyusut. Apalagi, akibat Perang Jawa, Belanda mencaplok sebagian besar wilayah kesunanan. Di era itu, menurut Kuntowijoyo dalam buku Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915 (2004), Kesunanan Surakarta hanya berkuasa atas wilayah di lima afdeeling bentukan Belanda: Surakarta, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri.
Keterlibatan Belanda di urusan administratif Kesunanan Surakarta bukan tanpa sebab. Sedari awal, Belanda memang banyak membantu para Pakubuwana demi melanggengkan kekuasaan. Sebagai gantinya, Belanda ikut campur dalam urusan politik kesunanan. Suwarno dalam Sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia Dahulu dan Sekarang (1989) menjelaskanm, bahwa Kesunanan Surakarta diberi otonomi khusus oleh pemerintah kolonial Belanda.
Jalan birokrasi tradisional dipilih oleh pejabat Kesunanan Surakarta. Belanda yang hadir dengan modernisasi struktur multilateral tak mengubah tatanan kesunanan. Pertimbangan pemilihan kursi jabatan tetap menganut asas monarki dan kekerabatan.
Dalam urusan penataan kota, Surakarta menganut sistem kosmologi Jawa, mancapat. S.N.A. Zaida dan N.H.S. Arifin dalam artikel bertajuk "Surakarta: Perkembangan Kota sebagai Akibat Pengaruh Perubahan Sosial pada Bekas Ibukota Kerajaan di Jawa" yang terbit di jurnal Lanskap Indonesia (Vol. 2, 2010), merincikan konsep mancapat.
Sebagai interpretasi simbol kerakyatan, alun-alun berada di poros utama kota. Alun-alun pertama Surakarta merupakan kawasan bekas rumah Ki Gede Sala, tetua Desa Sala—pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta.
Di bagian baratnya, dibangun masjid agung sebagai simbolisme agama. Kemudian sumbu selatan ditempati kediaman sang raja. Hal ini merujuk pada tradisi kuno Mataram Islam, melestarikan adat takzim kepada Ratu Kidul di Laut Selatan. Di sisi utara, dibangun pusat kepatihan sebagai simbol pemerintahan.
Tata wilayah Kota Surakarta juga menggunakan konsep kuthonagara. Dalam hal ini, administrasi wilayah dibagi menjadi tiga. Pusat pemerintahan atau negara, ditinggali oleh keluarga raja dan para sentana.
Selanjutnya negara agung, yang berisikan tanah-tanah lungguh milik para pejabat dan bangsawan keraton. Terakhir, lingkup luar atau mancanegara, merupakan daerah wajib pajak yang dikelola oleh bupati dan struktur lebih kecil di bawahnya.
Ketika pengaruh birokrasi kolonial Belanda menguat ke pemerintahan Kesunanan Surakarta, tata kota pusat kerajaan pun sedikit berubah. Pusat kota beralih menjadi daerah industri, perniagaan, dan benteng (pertahanan). Pemukiman pribumi diseret menjauh dari pusat kota dan ditempatkan di daerah luaran Benteng Vastenburg.
Sejarah Surakarta Setelah RI Merdeka
Setelah kemerdekaan RI pada tahun 1945, Kesunanan Surakarta meleburkan diri ke dalam tatanan administratif Republik Indonesia. Menukil dari catatan ANRI yang berjudul Citra Pemerintahan Kota Surakarta dalam Arsip (2014), hari jadi Kota Surakarta diperingati pada 16 Juni 1946. Hal tersebut sesuai dengan pilihan Pakubuwana XII, raja di Kesunanan Surakarta sewaktu menggabungkan diri ke dalam birokrasi RI. Sejak 16 Juni 1946, terbentuk pemerintahan daerah Surakarta yang berada di bawah RI secara de facto.
Sebagai konsekuensinya, hak otonomi khusus kesunanan dicabut. Lantas, standardisasi tata kelola pemerintahan disejajarkan setingkat kota. Dalam lingkup yang lebih luas, Kota Surakarta masuk ke dalam Provinsi Jawa Tengah.
Kota Surakarta kini dipimpin oleh pejabat kadipaten (walikota). Struktur masyarakat yang semula homogen (didiami kaum pribumi saja) menjadi heterogen. Napak tilas heterogenitas sedari tampuk kolonial Belanda memerintah, masih kentara hingga masa Orde Baru Soeharto. Urbanisasi besar-besaran ketika pribumi dapat bermukim di pusat kota memunculkan masalah baru: rakyat miskin kota.
Lepas dari itu, pembangunan dengan asas modernisme digalakkan, ditandai oleh maraknya pabrik, ruko, pusat perbelanjaan, dan taman hiburan di pusat kota. Selain itu, simbol-simbol kota seperti monumen dan diorama juga didirikan.
Meskipun telah dicabut otoritasnya sebagai wilayah independen, Kesunanan Surakarta tetap punya peran sebagai penjaga tradisi Jawa. Hingga sekarang, Surakarta tetap menjadi salah satu lumbung budaya tradisional Jawa.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom