Menuju konten utama
Mozaik

Candi Sukuh Jelang Majapahit Runtuh, Benarkan Perlambang Erotis?

Keberadaan sosok Bhima dalam relief di Candi Sukuh yang digambarkan dengan simbol maskulinitas dianggap sebagai mediator antara manusia dengan Dewa Śiwa.

Candi Sukuh Jelang Majapahit Runtuh, Benarkan Perlambang Erotis?
Header Mozaik relief erotis Candi Sukuh. tirto.id/Tino

tirto.id - Pembaca mungkin pernah mendengar satu candi yang sekilas mirip dengan Chichen Itza di Meksiko, yakni Candi Sukuh. Beberapa tahun ke belakang, muncul berbagai dugaan yang menghubung-hubungkan keduanya.

Lain itu, hal yang juga menjadi kontroversial dari Candi Sukuh adalah sering dianggap sebagai “candi porno”. Di hampir setiap sudut candi ini memang terdapat sejumlah relief maupun arca yang menggambarkan alat kelamin pria dan ada yang menggambarkan adegan persetubuhan.

Sejumlah kalangan percaya, beberapa objek arkeologi berbentuk phallus itu apabila disentuh akan menambah daya kesuburan seseorang—utamanya perempuan yang ingin mengandung.

Di luar berbagai "kegaduhan" yang ditimbulkan, sejak masa kolonial kaum orientalis maupun arkeolog telah menaruh perhatian lebih terhadap Candi Sukuh yang pertama kali dikenal dalam laporan Residen Johnson dari Surakarta pada tahun 1815.

Namun demikian, keberadaan Candi Sukuh menjadi populer di kalangan peneliti ketika Thomas Stamford Raffles dari Inggris melaporkan keberadaan candi tersebut dalam karyanya yang berjudul The History of Java (1817).

Sementara penanggalan eksistensi Candi Sukuh pertama kali dibicarakan oleh Martha A. Muusses dalam De Soekoeh Opschriften (1923). Ia berhasil menerjemahkan kode kronogram (candrasengkala) candi ini yang berbunyi: “gapura buta mangan wong” atau 1359 Ś (1437 Masehi). Temuan Muusses mengindikasikan bahwa candi ini didirikan pada akhir zaman Kerajaan Majapahit atau periode keruntuhannya.

Memuja Maskulinitas Bhima

Kompleks Percandian Sukuh terdiri atas tiga halaman teras yang merupakan bentuk pengejawantahan dari konsepsi tiga tingkatan kesakralan dalam ajaran Hindu, yakni nista, madya, dan uttama.

Pada bagian nista atau bagian yang paling luar terdapat satu gapura paduraksa (beratap) yang bentuknya seperti kerucut dipenggal. Gapura ini dihiasi dengan kepala kala mirip topeng yang terletak di atas ambang pintu.

Di bagian dalam gapura terdapat relief lingga (penis) dan yoni (vagina) yang naturalistis, keduanya dipahat dalam bentuk bersenggama di lantai gapura. Di bagian madya tidak ditemukan gapura, hanya terdapat sembilan anak tangga yang merupakan akses ke bagian uttama.

Candi Sukuh

Candi Sukuh. (FOTO/iStockphoto)

Di bagian uttama, terdapat bangunan Candi Induk Sukuh yang memiliki tipe bangunan teras berundak. Di sisi atas tangga pintu masuk candi, dipahat delapan ekor naga berlilitan dua-dua, membentuk wujud bujur sangkar.

Di bagian atas candi yang datar, terdapat lubang bekas menempatkan sebuah lingga berukuran besar yang kemudian disimpan di Museum Nasional. Pada batang lingga terdapat inskripsi dengan angka tahun 1362 Śaka (1440 Masehi).

Tidak berjauhan dari Candi Induk Sukuh, dapat dijumpai berbagai kepurbakalaan yang memiliki corak yang unik. Sebagaimana disebut oleh Edi Sedyawati dkk. dalam Candi Indonesia: Seri Jawa (2013), misalnya, keberadaan relief penempaan besi yang dilakukan oleh tiga tokoh dan salah satu dari tokoh itu digambarkan sebagai manusia berkepala gajah.

Selain relief yang belum diidentifikasi tersebut, tinggalan lain yang menarik dan penting di sekitar Candi Induk Sukuh adalah tugu dengan relief lengkung (disebut kala-mrga) di bagian bawah dan relief Garudeya di bagian atasnya.

Di bagian dalam lengkungnya dipahat relief Bhimaswarga yang menggambarkan adegan tokoh Bhima (salah satu anggota Pandawa) berhadapan dengan Bhatara Guru atau Dewa Śiwa. Dalam lengkung bagian bawah juga terdapat relief “lahirnya Bhima”, atau yang dalam perwayangan Jawa sering kali diangkat menjadi lakon berjudul “bimå bungkus”.

Tinggalan yang terakhir disebut merupakan penanda penting yang mengindikasikan latar belakang keagamaan Candi Sukuh. Menurut Hariani Santiko dalam “The Role of Bhima at Candi Sukuh: as represented by a number of reliefs” (2011), sebelumnya para peneliti menganggap bahwa Candi Sukuh didirikan sebagai lokasi pemujaan dari Bhima sebagai perwujudan Dewa Śiwa.

Pertimbangan ini didasarkan pada keterangan dalam naskah Bhimaswarga yang mengisahkan heroisme Bhima dalam menyelematkan ayahnya yang sedang disiksa di neraka oleh Dewa Yama.

Bhima yang kerap kali digambarkan sebagai sosok hipermaskulin diimplementasikan ke dalam simbol lingga yang naturalis, di mana simbol-simbol tersebut bertebaran di Candi Sukuh, baik dalam bentuk arca, relief, atau hanya sekadar ornamen.

Pendapat lama itu menurut Santiko tidak begitu tepat, lantaran Bhima sebenarnya tidak memiliki atribut kedewataan di Candi Sukuh. Santiko lebih condong melihat Bhima sebagai mediator manusia dengan Dewa Śiwa, ia dianggap sebagai pemegang pengetahuan tertinggi dalam mengakses eksistensi frekuensi yang sama dengan sang dewa tertinggi itu.

Candi Sukuh

Patung di Candi Sukuh. (FOTO/iStockphoto)

Melukat untuk Mencapai Sunyata

Selain menonjolnya keberadaan Bhima di Candi Sukuh, sosok lain yang juga digambarkan pada relief di candi tersebut adalah Sadewa—bungsu Pandawa. Sadewa di Candi Sukuh digambarkan dalam konteks cerita Sudhamala, ia diceritakan sedang diikat oleh Ra Nini di sebatang pohon dengan dikelilingi oleh hantu-hantu penghuni Kuburan Gandamayu.

Seperti disebutkan oleh Elpino Windy dalam skripsinya Sistem Religi Ruwatan dalam Relief Sudamala Candi Sukuh (2010), “sudhamala” dalam bahasa Jawa Kuno memiliki makna “bersih dari noda”.

Dalam tradisi Jawa—baik yang tertulis maupun lisan, Sudhamala lekat dengan tradisi ruwat atau melukat. Tradisi ini erat dalam kebudayaan Jawa Kuno pada era Majapahit Akhir, Sudhamala dianggap sebagai ikon dari tradisi penyucian diri.

Dalam naskah Sudhamala dikatakan bahwa Sadewa berhasil meruwat Dewi Durga yang berwujud Ra Nini dengan bantuan Dewa Śiwa yang merasuk ke dalam tubuhnya. Berkat kekuataannya itu, Ra Nini yang mendapat karma buruk dan juga berkelakuan jahat dapat terbebas dari dosa dan bertransformasi kembali menjadi Dewi Uma yang cantik jelita.

Narasi ruwat sebagaimana hadir dalam cerita Sudhamala di Candi Sukuh mungkin sekali berhubungan dengan upacara penyucian roh orang yang telah meninggal, lantaran asosiasinya dengan relief yang menggambarkan cerita Bhimaswarga. Menurut Santiko, dalam Bhimaswarga, Bhima berusaha membebaskan mendiang ayahnya dari siksaan neraka.

Sementara itu, salah satu jalan membebaskan seseorang dari siksaan neraka adalah dengan menghapuskan dosa. Hal ini berkesinambungan dengan cerita Sudhamala yang berisi panduan ruwat, yang menurut Santiko komponen paling penting dalam ritual ini adalah air suci.

Dugaan Santiko ini didasarkan pada inskripsi yang tertera di atas relief Sudhamala yang berbunyi: padamêl ikang bukutīrtha suña (membuat kebajikan melalui air, demi menggapai sunyata).

Baca juga artikel terkait CANDI atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - News
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi