tirto.id - Prambanan, kompleks percandian yang berdiri di tepian Kali Opak itu menurut dugaan para ahli memiliki keterkaitan dengan keterangan pada Prasasti Śiwagrha (778 Ś/ 856 M).
Menurut M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuna (2010), prasasti ini menyinggung soal pendirian rumah peribadatan bagi Dewa Śiwa oleh seseorang bernama Rakai Pikatan.
Sosok ini dalam sejarah kebudayaan Jawa Kuno dianggap sebagai pemersatu Kerajaan Mataram Kuno, karena ia dinarasikan menikahi seorang putri Śailendra yang beragama Buddha bernama Pramodhawardhani. Maka itu, muncul teori bahwa Candi Prambanan sengaja dibangun di tengah-tengah gugusan percandian Buddha—seperti Candi Kalasan, Sewu dan Plaosan—atas alasan toleransi Raja dan Ratu Mataram Kuno.
Citra agung yang dimunculkan oleh para peneliti mengenai Prambanan sebenarnya tidak pernah benar-benar final. Beberapa temuan baru serta munculnya referensi-referensi pembanding menyebabkan para peneliti menganggap Prambanan sebagai candi yang anomali.
Walau jarang terdengar di kalangan awam, beberapa gejala "aneh" pada Prambanan menjadi bahan perdebatan di kalangan peneliti. Sebagian dari gejala-gejala aneh itu bahkan nyaris menghantam paradigma umum dalam meninjau Prambanan.
Kerangka Tulang Manusia dan Anasir Buddhisme
Misteri yang sampai sekarang menjadi permasalahan yang kunjung usai dari Prambanan adalah penemuan kerangka-kerangka tulang manusia dan hewan di areal percandian. Perlu diketahui bahwa Kompleks Candi Prambanan bukan satu-satunya candi tempat ditemukannya kerangka manusia.
Candi-candi di sekitar Prambanan yang bernapaskan ajaran Buddha seperti Sojiwan dan Sambisari juga sempat ditemui kerangka manusia, walau jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan Kompleks Candi Prambanan. Penemuan jenazah-jenazah manusia itu awalnya memunculkan teori bahwa candi adalah makam dan bukan tempat peribadatan.
Teori yang sebenarnya sangat lawas ini masih dipertahankan dalam definisi candi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Belakangan, teori candi sebagai makam baru benar-benar dibantah oleh R. Soekmono dalam disertasinya Candi: Fungsi dan Pengertiannya (1977) yang menegaskan bahwa candi merupakan bangunan peribadatan.
Kalau memang Kompleks Candi Prambanan merupakan bangunan peribadatan, mengapa ditemukan kerangka manusia di sana? Menurut dugaan Roy Jordaan dalam buku Memuji Prambanan (2009), kerangka-kerangka manusia itu berkaitan dengan kuatnya aliran Tantrayana (esoteris) dalam agama Hindu dan Buddha yang ada di Jawa kala itu.
Kerangka-kerangka itu menunjukkan suatu pola ritual pengorbanan manusia, yang bagi Jordaan lazim di kalangan Tantris Hindu maupun Buddha. Namun temuan pada Prasasti Kelurak (704 S/ 782 M) justru menunjukan fenomena yang lebih menarik, yakni sebagai berikut:
“Ia, sang pembawa Vajra, Yang Mulia Sentosa, adalah Brahmā, Viṣṇu dan Maheśvara (Siwa). Ia, yang adalah Tuhan, yang merangkum semua dewata, dihormati sebagai Mañjuvāc."
Sekilas kutipan dalam Prasasti Kelurak di atas hanya menunjukkan suatu keterangan tambahan dari uraian dominan yang berusaha dijelaskan prasasti tersebut.
Ialah Prasasti Kelurak yang diperkirakan dikeluarkan oleh Rakai Panangkaran yang memberi keterangan soal pentahbisan suatu arca Manjusri (salah satu boddhisatva Buddha) yang dilakukan oleh seorang guru dari Gaudidvipa (Bangladesh saat ini).
Keterangan ini awalnya disesuaikan dengan keberadaan Candi Sewu yang berada di sebelah utara Kompleks Candi Prambanan. F.D.K. Bosch dalam De Inscriptie van Keloerak (1928) mengemukakan ada kemungkinan bahwa pendirian kompleks Candi Prambanan sebenarnya lebih mengarah pada ritus Buddha Vajrayana dibandingkan dengan Hindu Saiwa.
Seperti yang diketahui, bahwa dewa-dewa Trimurti seyogyanya juga diklaim sebagai pantheon dewa-dewa Vajrayana. Demikian hal ini bisa dilihat dalam pernyataan sebagai berikut:
"Jadi, terwujudlah dalam kenyataan apa yang sering kali diterangkan dalam berbagai teks: 'Wujud Tertinggi menjadi nyata dan beralih ke dalam dua perwujudan yang kelihatan, yang masing-masing pada gilirannya berfungsi sebagai sebuah pusat dari para dewata yang lebih rendah. Mañjuśrī di satu pihak menjadi nyata dalam Triratna dan di lain pihak dalam Trimūrti: trio yang pertama menghasilkan sebuah maṇḍala Buddhis [yang terdiri atas Candi Lumbung dan Candi Sewu], yang terakhir menemukan bentuk ungkapannya yang mulia dalam Candi Prambanan'.”
Tentu hal ini didasarkan pada beberapa temuan arkeologis yang tersedia. Rupanya temuan arca dari kedua agama, pada kasus-kasus tertentu ditemukan secara bersilangan. Lagi pula banyaknya candi perwara—candi yang lebih kecil di sekitaran candi Induk—di Percandian Prambanan juga menunjukkan ciri candi Buddha yang kuat. Pervara yang mengelilingi candi pusat dianggap sebagai perlambangan Buddha yang dikelilingi para muridnya (upanishad).
Bukti lain yang cukup menarik beberapa relief Raksasa Lengka pada relief Cerita Ramayana di Candi Induk Prambanan, yang acap kali digambarkan dalam posisi yoga Tantra. Di sisi yang lain, di dekat Candi Prambanan juga ditemukan Prasasti Jragung yang memuat mantra-mantra terhadap Trailokyavijaya. Di dalam sutra-sutra Vajrayana, tokoh ini dianggap sebagai pantheon Buddha yang berhasil mengalahkan Dewa Siwa dan menetap di mandalanya.
Politisasi Bangunan Peribadatan?
Para ahli filologi menyebut bahwa relief di Candi Induk (Śiwa) Prambanan bersumber dari cerita Ramayana yang muncul pada masa "pra-kakawin" di Jawa atau paling tidak sebelum diterbitkannya Kakawin Arjunawiwaha. Cerita pada relief Ramayana diyakini merupakan hasil penggubahan para sastrawan Jawa dari karya Ramayana versi seorang resi India Selatan bernama Bhatti.
Ramayana versi Bhatti yang dikenal pula dengan Bhatti-kavya/ Ravanavadha ini digubah kembali, sehingga menyisakan ⅓ cerita yang khas dari Jawa. Relief cerita Kresnayana sementara itu hanya tersedia di Candi Wisnu dan dibuat pada waktu yang lebih kemudian. Relief ini menceritakan kehidupan awal Krisna dan kakaknya Balarama selama diasuh oleh Yashoda. Mereka pada puncak penceritaannya berhasil mengalahkan Raja Kamsa yang berkuasa di Yawana.
Menurut Andi Restiyadi dalam "The Reliefs of Rāmāyana and Kṛeṣṇa Story at Lara Jonggrang Temple and Reign Shif of The Ancient Mataram in 9th Century AD”, relief Ramayana dibuat oleh Raja Rakai Pikatan/ Jatiningrat untuk menyimbolkan perjuangannya untuk melawan Pu Kumbhayoni, musuhnya.
Sedangkan relief Kresnayana dibuat oleh Rakai Kayuwangi/Dyah Lokapala (penerus Rakai Pikatan) untuk menggambarkan kedamaian masa kekuasaannya. Kedua relief ini disebut sebagai lambang transisi masa Treta-yuga ke Dvapara-yuga.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi