tirto.id - Candi merupakan rupa tinggalan masa kuno yang banyak ditemui di Indonesia, utamanya di Jawa dan Sumatera. Selain menjadi tempat yang disucikan, candi-candi di Indonesia juga menjadi magnet wisata. Keindahan dan kemegahan arsitektur bangunannya merupakan salah satu di antara beberapa alasan yang membuat candi banyak didatangi.
Rupa dari candi-candi yang lazim kita lihat sekarang merupakan wajahnya usah melewati upaya pemugaran. Terkadang, proses itu melewati masa yang panjang dan tak bisa sekali dilakukan.
Rupa candi yang kita lihat itu amat berbeda ketimbang saat awal ditemukan dan diteliti. Candi-candi dengan rupa kolosal, seperti Borobudur dan Prambanan sekarang, mulanya ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Rusak berat, runtuh di sana-sini, aus atau kikis dijamah lumut dan akar tanaman.
Kondisi mula candi-candi itu dapat kita tilik melalui beberapa jepretan foto dan lukisan dari masa awal penemuannya. Salah satu yang terdokumentasi dengan baik adalah foto-foto Candi Borobudur dan Prambanan hasil jepretan fotografer legendaris Kassian Cephas. Dari foto-foto yang dijepret jelang akhir abad ke-19 itu kita bisa belajar.
Dari Munnich Hingga Cephas
Kassian Cephas merupakan fotografer bumiputra pertama yang lahir pada 15 Januari 1845 di Yogyakarta. Sejak usia muda, dia telah menujukkan bakat dalam melukis dan memotret. Bakatnya ini kemudian terdengar sampai ke telinga Sultan Hamengku Buwono VI.
“Simon Willem Camerik, juru foto istana, yang ditugaskan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI untuk mendidik Cephas,” tulis Pusat Data dan Analisis Tempo dalam Cephas: Titik Awal Fotografi Indonesia (2019, hlm. 18).
Lalu sejak 1870, Cephas menjadi fotografer Kasultanan Yogyakarta. Dia bertugas memotret keluarga kerajaan dan hal-hal lain yang terkait dengan istana sekaligus meneruskan tugas dari mentornya, Simon Willem Camerik.
Meski demikian, Cephas tidak hanya dikenal sebagai fotografer kerajaan. Dia juga sangat dikenal melalui gambar tinggalan-tinggalan purbakala masa Hindu-Buddha yang dia potret.
“Cephas mendapatkan reputasi sebagai fotografer benda purbakala di sekitar Yogyakarta, seperti Candi Lara Jongrang (Prambanan) dan Borobudur,” ungkap Gerrit Knapp dalam Cephas, Yogyakarta, Photography in the Service of the Sultan (1999).
Sebelum Cephas, sebenarnya sudah ada beberapa juru potret yang memotret beberapa objek purbakala di Jawa, seperti Jurian Munnich, Adolph Schaefer, dan Isidore van Kinsbergen.
Jurian Munnich, misalnya, pernah ditugaskan oleh Kementerian Urusan Koloni Belanda untuk memotret beberapa objek bersejarah di Jawa pada awal dekade 1840-an. Objek-objek itu di antaranya Candi Prambanan, Borobudur, dan Kompleks Percandian Dieng. Namun, hasil dari upaya pertama ini tidak sesuai harapan.
“Dalam bahasa Belanda ia menulis, bahwa uji coba pertama ini cukup sulit, terutama memperoleh kalibrasi yang tepat,” terang Daniek Intan dalam “Fotografi di Hindia Belanda” yang terbit pada jurnal Lembaran Sejarah (Vol. 11, No. 2, Oktober 2014, hlm. 123, PDF).
Pada 1845, ada fotografer asal Jerman Adolph Schaefer yang ditugaskan oleh Kementerian Urusan Koloni untuk memotret beberapa bagian Candi Borobudur. Dalam memotret Candi Borobudur, Schaefer menggunakan teknik daguerreotype yang ditemukan oleh Louis Daguerre dan Nicephore Niepce pada 1834.
“Dia (Schaefer) belajar langsung pada Daguerre di Prancis dan dengan cepat memahami teknik daguerreotype,” tulis Jane Levy Reed dalam artikel “Toward Independence: A Century of Indonesia Photographed” yang terbit di jurnal Manoa (Vol. 12, No. 1, 2000, hlm. 72).
Setelah Schaefer, muncul Isidore van Kinsbergen yang juga mentor lain dari Cephas. Van Kinsbergen bertugas memotret beberapa candi, di antaranya candi-candi di Dieng atas permintaan Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
“Kassian adalah seorang magang dari Isidore van Kinsbergen, yang bekerja secara tidak tetap di Jawa Tengah dari tahun 1861 sampai sekitar tahun 1875, terutama untuk tujuan membuat foto-foto tinggalan antik Hindu-Buddha,” ungkap Farhan Adityasmara dalam artikel “Kassian Cephas (1845-1912): Dari Kolektivitas Menuju Subyektivitas” yang terbit dalam Dharmasmrti: jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan (Vol. XVII, No. 02, Oktober 2017, hlm. 43).
Keterlibatan Cephas dalam Pemotretan Prambanan
Beberapa tahun setelahnya, Cephas juga ambil bagian dalam memotret beberapa candi yang berada di sekitar Yogyakarta. Pada 1885, muncul perkumpulan arkeologi di Yogyakarta yang disebut Archeologische Vereeniging. Cephas juga menjadi anggota perkumpulan yang didirikan oleh Jan Willem Ijzerman itu.
“Perkumpulan ini didirikan bertujuan untuk mengumpulkan bahan-bahan yang penting bagi penelitian sejarah seperti benda-benda tinggalan masa lalu,” tulis Tashadi, Wahjudi Pantha Sunjata, dan Sri Retna Astuti dalam Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa: Suatu Kajian terhadap Serat Sekaber (1993, hlm. 2).
Archeologische Vereeniging dalam perjalanannya berhasil mengumpulkan banyak benda-benda purbakala, seperti arca, patung, dan sebagainya.
Pada 1889, Archeologische Vereeniging melakukan upaya pembersihan reruntuhan Candi Prambanan. Upaya ini dipimpin oleh dokter Keraton Yogyakarta J. Groneman. Mereka tidak hanya membersihkan, tapi juga memindahkan beberapa bebatuan tanpa diawasi oleh ahli. Tindakan itu jelas berpengaruh pada pemugaran candi pada masa setelahnya.
“Sebuah pekerjaan pembersihan yang membuat pekerjaan pemugaran selanjutnya menjadi jauh lebih rumit,” terang Jan Fontein dalam artikel “De Verdwenen Beeldjes van Prambanan” yang terbit dalam Aziatische Kunst (Vol 38, No. 4, 2008, hlm. 52).
Pada kegiatan ini, Cephas ikut ambil bagian memotret hasil upaya pembersihan yang dilakukan. Cephas memotret beberapa bagian candi-candi yang ada di Prambanan. Dia juga memotret banyak relief yang ada di sana.
“Satu-satunya hasil positif dari kegiatan ini adalah bidikan fotografi yang indah dari reruntuhan Candi Prambanan oleh Kassian Cephas,” tambah Fontein.
Beberapa hasil jepretan Cephas kemudian ikut dicantumkan dalam Tjandi Parambanan op Midden-Java na de Ontgraving yang terbit pada 1893.
Cephas dan Jepretan Relief Karmawibhangga
Pada 1885, Archeologische Vereeniging melakukan kajian terhadap Candi Borobudur. Upaya yang dipimpin oleh Ijzerman ini berhasil menemukan kembali relief yang terkubur di bawah kaki Borobudur. Relief ini kemudian diidentifikasi sebagai kisah Karmawibhangga.
“Relief Karmawibhangga dipahat di atas 160 panil yang menggambarkan ajaran sebab akibat, perbuatan baik dan jahat, setiap panil menggambarkan adegan tertentu dan bukan cerita naratif (beruntun),” tulis Edi Sedyawati dkk. dalam Candi Indonesia Seri Jawa (2013, hlm. 102).
Relief Karmawibhangga pada saat itu tidak dapat langsung digali dan dilihat seluruhnya. Dibutuhkan waktu dan proses yang cukup lama agar keseluruhan panil itu dapat dilihat secara keseluruhan.
“Diperlukan waktu lima tahun untuk membongkar ke-160 panil yang ada,” tulis Hariani Santiko dalam “Identification of Karmawibhangga Reliefs at Candi Borobudur” yang terbit di jurnal Amerta (Vol. 34, No. 2, 2013, hlm. 130).
Setelah berhasil terlihat seluruhnya, pada 1890, Cephas dilibatkan kembali untuk memotret relief Karmawibhangga tersebut.
“Kali ini Cephas membuat 160 foto relief dan empat gambaran umum kompleks candi,” tambah Daniek Intan.
Foto-foto Karmawibhangga hasil jepretan Cephas ini kemudian menjadi sumbangsih penting untuk kajian mengenai Candi Borobudur. Pasalnya, setahun kemudian, relief yang berada di kaki candi ini ditutup kembali. Pada pemugaran selanjutnya pun, hanya empat panel relief yang diperlihatkan untuk umum demi menjaga struktur kaki candi.
Foto-foto relief Karmawibhangga yang diambil oleh Cephas kemudian ikut diterbitkan dalam buku Beschrijving van Barabudur karangan N.J. Krom dan Theodor van Erp yang terbit pada 1920. Sementara itu, film negatif aslinya kini tersimpan di Tropenmuseum.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi