tirto.id - Di sebelah timur Benteng Vredeburg Yogyakarta, dulu terdapat kawasan bernama Loji Kecil Wetan. Kawasan itu kini berada di sekitar Taman Pintar dan Jalan Suryotomo. Di situlah, pada pergantian abad ke-19 menuju 20, seorang berdarah Jawa bernama Kassian Cephas tinggal. Di pergantian abad itu, usianya sudah 55 tahun.
Menurut Gerrit Knaap dalam Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan (1999), orang ini lahir pada 15 Januari 1845 di Yogyakarta. Saat itu, Sultan Hamengkubuwana V masih bertakhta. Nama aslinya adalah Kassian, anak dari pasangan Kartodrono dan Minah. Nama Cephas melekat setelah ia dibaptis sebagai seorang Kristen pada 27 Desember 1860, di usia 15 tahun di Gereja Purworejo, Bagelen.
“Dia salah satu dari dua laki-laki dan tiga perempuan murid Christina Petronella Phillips-Steven, yang berdakwah ajaran Protestan kepada orang Jawa di masa tersebut,” tulis Knapp.Selain Kassian, di abad itu orang terkenal yang kemudian menganut Kristen adalah tokoh Kristen Jawa yang dikenal sebagai Kiai Sadrach. Laki-laki yang aslinya bernama Radin Abas dan dari keluarga Islam di Demak ini, menurut C. Guillot dalam Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (1981), dibaptis pada “14 April 1867 [...] oleh Pendeta Ader di Portugeesche Buitenkerk” di Betawi. Setelah dibaptis di sana, Sadrach menuju Bagelen.
Baca juga:
Di rumah Christina dan suaminya, Kassian menghabiskan masa bocahnya. Pada awal dekade 1860-an, Kassian kembali ke kota kelahirannya, dan mulai magang kepada juru foto Simon Willem Camerik. Nama terakhir adalah milisi berpangkat Letnan Dua yang tinggal di Yogyakarta sekaligus seorang fotografer.“Kassian Cephas dilatih sebagai fotografer sejak 1861 hingga 1871 […] Dia mungkin ditunjuk sebagai pelukis istana dan fotografer (oleh Sultan) pada awal tahun 1871,” demikian Knapp mencatat.
Selain itu, Kassian juga belajar dari Isidore van Kinsbergen—seorang fotografer kelahiran Belgia yang bekerja di Jawa Tengah pada 1863-1875 dan pernah memotret Candi Borobudur. Di masa-masa tersebut, raja di Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwana VI. Saat itu teknologi fotografi masih sangat rumit dan sekaligus barang yang luar biasa mewah.
Di tengah masa magangnya, pada sebuah gereja di Yogyakarta, Kassian menikahi Dina Rakijah, perempuan Kristen asal Tegal pada 22 Januari 1866. Dari perkawinan itu lahir empat anak: Naomi (28 Juni 1866), Sem (15 Maret 1870), Fares (30 Januari 1872), dan Jozef (4 Juli 1881). Putra pertamanya, Sem, adalah orang yang dikenal sebagai asisten ayahnya ketika mengambil gambar.
Foto terkenal Cephas salah satunya Taman Sari (1884) yang diproduksi untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan). Terkait dunia arkeologi, Cephas terlibat dalam pemotretan Candi Prambanan dan Borobudur. Dia adalah anggota lembaga penelitian bergengsi Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dari 1896 hingga 1912.
Cephas sempat memotret bagian Karmawibangga yang tersembunyi di Candi Borobudur. Sebagai fotografer keraton, Cephas memotret kegiatan seni seperti Tari Bedaya. Dia juga pernah ikut mengabadikan kunjungan Raja Siam Chulalongkorn ke keraton. Dari Raja Siam, dia mendapat tiga kancing berhias batu permata. Karena jasanya mengabadikan kebudayaan Jawa, dia mendapat penghargaan Orde van Oranje-Nassau dari Kerajaan Belanda.
Baca juga:
Di luar proyek-proyek tadi, tentu saja Cephas adalah tukang potret. Pada masa Sultan Hamengkubuwana VII, hidup Kassian Cephas sebagai tukang potret cukup makmur. Harga foto masih sangat mahal.Karena kemakmuran itu, Cephas pun mengajukan diri dan keluarganya untuk diproses Gelijkgesteld agar status hukum mereka disamakan dengan orang-orang Belanda atau Eropa. Status hukum yang sama dengan orang Belanda tentunya bisa menguntungkan kedua anaknya jika masuk ke dalam kehidupan kolonial. Termasuk memasukkan anak ke sekolah bermutu di zaman itu.
- Baca juga: Sekolah-Sekolah di Zaman Belanda
Kassian Cephas meninggal pada 16 November 1912 di Yogyakarta, tepat pada hari ini 105 tahun lalu. Karya-karya fotografinya banyak digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tetap abadi hingga kini.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan