Menuju konten utama

Pelajaran Toleransi dari Candi Borobudur

Borobudur bukan seonggok bangunan tak berarti, dari sana kita bisa belajar toleransi.

Pelajaran Toleransi dari Candi Borobudur
Candi Borobudur. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kekerasan berkepanjangan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar disikapi sebagai konflik agama yang dilakukan umat Budha kepada muslim. Penyikapan macam itu dapat dilihat dari rencana Front Pembela Islam (FPI) Jawa Tengah yang berencana mengadakan aksi demonstrasi di candi Buddha terbesar di Indonesia itu pada Jumat (8/9/2017). Slogan aksi mereka pun tidak kalah sangar: “Putihkan Borobudur”.

Memang, berdasarkan Sensus Kependudukan dan Rumah Tangga yang dilakukan Pemerintah Myanmar pada 2014, sebanyak 89,9 persen penduduk Myanmar memeluk agama Buddha. Konflik di Myanmar itu pun semakin memudahkan orang untuk menganggapnya sebagai konflik antara umat Buddha versus Islam. Apalagi sejak 2012 silam, keterlibatan biksu di Myanmar yang menganjurkan sikap keras kepada etnis Rohingya menjadi berita di mana-mana.

Padahal, menurut Direktur Burma Human Rights Network (BHRN) Kyaw Min, dalam wawancaranya kepada Tirto, para biksu tersebut hanya alat politik para penguasa Myanmar. Mereka direkrut tentara dan dijadikan biksu. Tragisnya, para biksu itu kemudian menyebarkan ajaran kebencian terhadap Rohingya dan Islam.

“Ini bukan originalitas tindakan para biksu. Sebab, seperti agama lain, Buddha tak mengajarkan kebencian dan diskriminasi,” ujar Kyaw Win.

Cerita Keberagaman dalam Relief Karmawibangga

Sejalan dengan perkataan Kya Min, ajaran Buddha mengenai toleransi dan keberagaman juga dapat dilihat dalam fragmen karmawibhangga yang dipahat di salah satu dinding kaki candi Borobudur.

Borobudur merupakan candi Buddha yang dibangun pada abad ke-9. Candi yang berukuran 123 m x 123 m ini didirikan atas perintah Raja Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini berdiri di atas bukit, dekat pertemuan antara dua sungai, yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Guru besar arkeologi Universitas Indonesia Hariani Santiko, dalam Toleransi Beragama Dan Karakter Bangsa: Perspektif Arkeologi, menjelaskan bahwa kata "karma" berarti "perbuatan" dan "wibhangga" berarti "alur, gelombang".

Menurut Hariani, relief tersebut bermaksud memaparkan Hukum Karma, yakni alur kehidupan manusia sebagai akibat perilaku kehidupannya yang lalu. Dalam ajaran Buddha, karma berlaku untuk semua orang, baik itu raja, pejabat, pendeta, maupun orang-orang yang tidak memiliki gelar apapun.

Menariknya, fragmen karmawibhangga menceritakan hukum karma melalui penggambaran kehidupan masyarakat Jawa Kuna, bukan kehidupan masyarakat India.

Melalui penggambaran itu dapat dilihat tokoh agama memberi wejangan dan melakukan tapa. Menariknya tokoh agama itu tidak semuanya biksu, tapi juga pendeta Siwa, dan resi. Bahkan pada relief tersebut jumlah biksu lebih sedikit dari pendeta-pendeta Siwa dan pertapa. Selain itu, Hariani juga menemukan banyak sisa-sisa candi bercorak Siwa di sekitar Borobudur. Dalam radius 5 km, ada 30 situs candi Siwa.

“Berdasarkan kedua data tersebut (relief dan sisa-sisa bangunan candi) membuktikan bagaimana 'besar toleransi beragama' raja-raja Śailendra. Walaupun raja beragama Buddha Mahāyana, ia membiarkan rakyat dan bawahannya memeluk agama sesuai dengan pilihan mereka,” sebut Hariani.

Infografik Relief Toleran di Borobudur

“Simbol Semangat Perdamaian”

Saat berlibur ke Indonesia pada Juni 2017, mantan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama menyempatkan berkunjung ke Borobudur. Obama mengagumi candi Buddha terbesar di dunia itu sebagai simbol harmoni dan toleransi umat beragama. Obama kagum dengan candi peninggalan agama Buddha tersebut yang saat ini berada di tengah masyarakat Muslim dan masih terawat dengan baik.

Pendapat serupa juga pernah diungkapkan Abdurrahman Wahid kepada filsuf Buddha asal Jepang Daisaku Ikeda.

“Sebagai warisan budaya kebanggaan Indonesia, Borobudur dikunjungi baik oleh Muslim maupun Buddha. Setiap batu pada koridor monumen tersebut dipahatkan gambar-gambar. Saya melihatnya sebagai sebuah simbol semanagat perdamaian dan kegigigan orang-orang pada waktu itu,” sebut pria yang akrab dipanggil Gus Dur itu seperti terbaca dari buku The Wisdom of Telorance: A Philosophy of Generosity and Peace.

Di satu sisi beberapa orang melihat Borobudur sebagai simbol toleransi, namun di sisi lain ada juga beberapa orang yang melihat candi itu sebagai sasaran pelampiasan kebencian.

Tidak terima atas terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984, pada 20 Januari 1985 Abdul Kadir bin Ali al-Habsyi dan Husein Ali Al-habsy mengebom candi Borobudur. Sedangkan pada 2014 The Jakarta Post melaporkan bahwa pada 15 Agustus 2014 sebuah akun facebook bernama ‘We Are Islamic State' mengirim ancaman peledakan Borobudur.

“Insya Allah, akan dihancurkan oleh mujahidin kalifah Islam,” sebut akun tersebut.

Sejak FPI Jawa Tengah mengumumkan rencana aksinya hingga saat ini, beberapa pihak telah mengajukan keberatan. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta aksi tersebut dibatalkan, sedangkan Kapolri Tito Karnavian melarangnya.

Jadi atau tidaknya aksi FPI Jawa Tengah, yang jelas Borobudur juga telah menjadi simbol kegigihan orang-orang di masa silam dalam bergotong royong. Hal tersebut pernah dikisahkan Indonesianis Benedict Anderson dalam bukunya Kuasa-Kata: Jelajah Budaya Politik di Indonesia. Dia mencatat, Tien Seharto menggunakan Borobudur sebagai dalih menggelorakan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah.

“Jika pada hari-hari lalu nenek moyang kita bekerja bergotong-royong untuk menciptakan Borobudur, yang menarik perhatian dari seluruh dunia, hari ini kita juga dapat bergotong-royong untuk membangun proyek Miniatur Indonesia Indah,” ujar Tien Soeharto saat Rapat Kerja Gubernur pada 1 Desember 1971.

Namun, pandangan yang sempit di zaman ini jika menggunakan Borobudur hanya sebagai pemacu semangat melancarkan proyek-proyek infrastruktur yang terus menerus digenjot rezim Jokowi. Seharusnya Borobudur juga bisa menjadi wahana bagi orang-orang yang berkunjung ke sana, baik dalam rangka wisata maupun demonstrasi, untuk belajar toleransi dan bergotong royong menciptakan perdamaian di bumi manusia.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Baca juga artikel terkait CANDI BOROBUDUR atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS