tirto.id - Pemasangan chattra di stupa induk Candi Borobudur menimbulkan polemik. Sesuai hasil kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), rencana pemasangan chattra Borobudur akhirnya resmi ditunda.
Pemasangan chattra Borobudur sebenarnya telah menjadi wacana sejak beberapa tahun silam. Para tokoh dan umat Buddha Indonesia berharap agar chattra segera dipasang karena dapat memperkuat aspek spiritualitas sekaligus menyempurnakan fungsi Borobudur sebagai tempat ibadah.
Akan tetapi, rencana pemasangan chattra Borobudur ditentang para arkeolog. Tal hanya itu, sejumlah tokoh masyarakat Desa Borobudur meminta agar pemasangan chattra ditunda. Alasannya, mereka khawatir hal ini dapat mengubah keaslian bentuk candi.
Apa Itu Chattra Borobudur?
Chattra adalah bagian stupa yang berbentuk seperti payung susun tiga. Seperti mengutip laman Museum Nasional Indonesia, chattra diletakkan di atas atau di puncak stupa. Ini dianggap menjadi simbol perlindungan bumi dari hal-hal yang jahat.
Young Buddhist Association menerangkan,chattra ditempatkan di puncak stupa sebagai perlambang batin tercerahkan Buddha. Chattra juga menjadi simbol naungan pohon Bodhi. Pohon ini dinilai sangat sakral karena menjadi tempat Buddha mendapatkan pencerahan.
Menurut pandangan umat Buddha, stupa tanpa chattra sama dengan penihilan atau penyangkalan terhadap pohon Bodhi, situs suci Bodhgaya, dan fondasi ajaran Buddha secara keseluruhan.
Oleh karena itu, umat Buddha menganggap pemasangan chattra Borobudur sangat penting. Dengan adanya chattra, ajaran agama bisa dipahami secara utuh. Pencerahan Buddha tak bisa dilepaskan dari pohon Bodhi yang disimbolkan melalui sebuah chattra.
Pro Kontra Pemasangan Chattra
Apakah bentuk asli Borobudur dulunya memiliki chattra atau tidak? Ini memang masih sulit untuk dicari jawabannya karena masalah data yang kurang mendukung.
Meski demikian, sejarah chattra tercatat dalam berbagai kitab dan literatur. Contohnya kitab Lalitawistara Sutra. Isinya menerangkan terdapat penyebutan kata payung beberapa kali.
Kata yang sama tercantum dalam Gandawyuha Sutra. Kitab ini menguraikan tentang perjalanan Sudhana yang sedang mencapai pencerahan sempurna. Istilah chattra lalu ditemukan lewat kisah Jataka, Awadana, serta Karmawibhangga Sutra.
Theodoor van Erp pernah memimpin pemugaran Borobudur pada kurun waktu 1907-1911. Saat itu, chattra diyakini terpasang dengan megah di atas stupa utama Borobudur.
Bukti-bukti sejarah menjadi salah satu landasan rencana pemasangan chattra. Rencana ini pun mendapat dukungan dari banyak pihak. Di antaranya seniman, akademisi, budayawan, dan kalangan umat Buddha.
Di sisi lain, rencana pemasangan chattra Borobudur menuai kontroversi setelah mendapat kritik, terutama berasal dari para arkeolog. Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia (UI), Mundardjito, mengungkapkan bahwa pemasangan chattra berpotensi melanggar etika pemugaran candi.
Selain itu, ia berpendapat tidak ada bukti yang cukup jelas dan meyakinkan terkait keaslian hasil rekonstruksi chattra.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menuturkan kekuatan struktur stupa induk dinilai sangat lemah. Jika chattra tetap saja dipasang, hal ini bisa berbahaya.
Hasil kajian Museum Cagar Budaya Unit Borobudur menunjukkan adanya keraguan atas keaslian material batuan chattra hasil rekonstruksi Theodoor Van Erp. Tak ayal, pemasangan chattra dibatalkan.
Beberapa tokoh masyarakat di Desa Borobudur juga meminta agar menunda pemasangan chattra. Alasannya, dikhawatirkan bisa mengubah nilai sejarah dan keaslian candi.
Selain sebagai tempat ibadah dan simbol spiritual umat Buddha, Candi Borobudur adalah warisan budaya yang berharga di Indonesia. Oleh karena itu, intervensi terhadap struktur atau bentuk candi katanya harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Penulis: Erika Erilia
Editor: Beni Jo & Yulaika Ramadhani