Menuju konten utama

Bengawan Solo Dibiarkan Sekarat, Citarum Digelontor Ratusan Miliar

Penanganan pencemaran di Sungai Bengawan Solo beda jauh dengan Citarum yang berada di Provinsi Jawa Barat dan lebih dekat dengan Ibu Kota Jakarta.

Bengawan Solo Dibiarkan Sekarat, Citarum Digelontor Ratusan Miliar
Sungai Bengawan Solo masih terlihat hitam pascatercemar limbah etanol alkohol beberapa waktu lalu. ANTARA/Aris Wasita.

tirto.id - Dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prabang Setyono, menarik napas panjang sebelum berbicara tentang pencemaran Sungai Bengawan Solo.

Ia lantas bercerita: jejak pencemaran di sungai terpanjang di Pulau Jawa itu sama tuanya dengan usia sungai itu sendiri, dan berkembang mulai dari hulu ke hilir.

Dampak pencemaran terutama terasa saat musim kemarau. ini berupa gangguan pasokan air bagi 24 ribu pelanggan di dua perusahaan air minum di Surakarta dan Blora, Jawa Tengah. Belum lagi ikan sungai yang mati terpapar limbah logam berat.

Saat kemarau, Bengawan Solo seperti dibiarkan sekarat dengan airnya yang tak layak jadi bahan baku air yang berwarna merah pekat--terindikasi mengandung logam berat.

“Saat musim penghujan, pencemaran bukannya tak ada, tapi tidak terlihat akibat pengenceran berlebih dari debit sungai yang tinggi. Jadi sama saja sebetulnya selama oknum ini buang limbah ke sungai,” kata Ketua Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia ini saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (5/12/2019).

Dari identifikasi Pemprov Jawa Tengah dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, limbah cair berasal dari industri tekstil, alkohol (ciu), dan peternakan babi baik skala kecil atau besar. Bentuknya berupa limbah cair dan padat.

Prabang mengatakan mahasiswa yang dibimbingnya baru-baru ini menemukan indikasi zat kimia estradiol dari darah ayam yang tak bisa terurai lewat instalasi pengolahan air limbah (IPAL).

“Ayam ini, kan disuntik dengan hormon estradiol agar pertumbuhannya cepat. Saat disembelih, zat ini terbawa ke sungai. Bahayanya kalau sampai masuk ke tubuh manusia. Ini baru indikasi, masih kami dalami,” ungkap dia.

Pada 2018, riset Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) menunjukkan ada sampah popok yang dibuang di Bengawan Solo, tepatnya di Jembatan Gawan, Sidoharjo, Sragen. Lebih dari 1.500 popok ditemukan.

Di Klaten, ribuan sampah popok juga ditemukan di sekitar anak sungai Bengawan Solo, tepatnya di Jembatan Besole.

Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi, mengatakan sampah popok tergolong residu yang tak bisa diolah dan dimanfaatkan lagi. Sampah ini harus ditempatkan di sanitary landfill TPA.

“Kondisi saat ini masih sama dengan 2018. Belum ada tindakan dari pemerintah meski sudah ada aturannya. Masyarakat juga masih buang popok ke sungai, termasuk ke Bengawan Solo.”

Beda dengan Citarum

Prigi mengatakan penanganan pencemaran Sungai Bengawan Solo beda jauh dengan Sungai Citarum yang berada di Provinsi Jawa Barat--lebih dekat dengan Ibu Kota Jakarta.

“Ada ratusan miliar rupiah untuk Citarum Harum. Ini bisa bikin iri. Sungai lain seperti Bengawan Solo, justru tidak diperhatikan Jakarta,” katanya.

Pada 2019, pemerintah mengalokasikan Rp650 miliar untuk program Citarum Harum. Dana ini digunakan memulihkan sungai ini untuk beberapa tahun ke depan.

Dari sisi fisik, Sungai Citarum memiliki panjang 300 kilometer dengan hulu dan hilirnya di Jabar. Sedangkan Bengawan Solo sepanjang 548,53 kilometer dengan hulu di Wonogiri, Jateng dan hilir di Gresik, Jatim.

Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi, Dwi Sawung, mengatakan pendekatan di Citarum bisa diterapkan dengan berbagai catatan. Di antaranya, pemda bergerak untuk mencari pendanaan ke pemerintah pusat dan aparat TNI-Polri terlibat.

“Aparat bisa terlibat dalam tindakan hukum. Karena sumber pencemar selama ini diketahui tapi tak pernah ada peringatan dan peringatan dari aparat,” kata dia.

Ia juga menilai jumlah penduduk, industri, dan tingkat pencemaran Citarum lebih besar dari Bengawan Solo. Hal ini bisa juga jadi pembeda. Namun, kata dia, penanganan di Citarum juga belum bisa jadi tolok ukur, karena saat ini masih dalam proses.

Penanganan Bengawan Solo bukannya tak ada. Pada 2005 dan 2014, ada gerakan Program Kali Bersih (Prokasih). Upaya ini untuk memulihkan sungai dari pencemaran.

Namun, hingga kini masalah pencemaran belum tuntas. Hal ini mendorong usulan agar ada pendekatan hukum.

Solusi Pendekatan Hukum

Dwi Sawung mengatakan pendekatan hukum perlu dipakai karena selama sumber pencemar tak dihentikan, Bengawan Solo akan terus tercemar oleh limbah yang susah diurai.

“Di sana, kan, ada pabrik besar tekstil yang mencemarkan sungai. Logam beratnya tidak dapat terurai secara alamiah oleh sungai. Ini seharusnya yang ditindak oleh aparat, karena masyarakat yang jadi korban. Air ini kan kebutuhan vital,” ungkap dia.

Terkait pendekatan hukum, kewenangan izin pengolahan air limbah agar memenuhi baku mutu ada di bupati/wali kota setempat.

Kepala daerah ini telah dikumpulkan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pekan ini. Mereka diminta untuk mengawasi kesepakatan yang dibuat bersama pengelola industri agar memperbaiki pengelolaan limbah selama 12 bulan.

“Selama kurun waktu itu juga, aktivitas pembuangan limbah ke sungai harus dihentikan. Jika masih melakukan pelanggaran, saya minta aparat penegak hukum untuk turun tangan,” kata Ganjar.

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, juga sepakat menggunakan pendekatan hukum.

Prigi Arisanti meminta agar pemda tegas dalam mengawasi sumber pencemar agar limbah yang dibuang sesuai dengan baku mutu.

“Mestinya bupati atau wali kota tahu karena setiap pabrik punya IMB dan IPLC (instalasi pengolah limbah cair). Harusnya mereka bergerak. Jangan diam,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PENCEMARAN SUNGAI atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Maya Saputri