tirto.id - Saat kembali ditemukan pada 1814, Candi Borobudur tidak dalam kondisi yang utuh seperti sekarang. Berabad-abad tertimbun, membuat bangunan Candi Borobudur mengalami kerusakan di sana-sini.
Kala itu, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles sangat tertarik pada kabar ditersingkapnya Borobudur. Dia kemudian mengirim utusan untuk memeriksa Borobudur. Maka berangkatlah insinyur pasukan zeni Belanda bernama Hermanus Christian Cornelius.
Cornelius saat itu sudah cukup familier dengan candi-candi di Jawa. Dia sudah terbiasa mensurvei candi sejak Belanda masih bercokol di Jawa.
Ketika Cornelius melakukan surveinya, Borobudur sebenarnya tidak benar-benar hilang. Menurut penulis sejarah Tim Hannigan, masyarakat Jawa di sekitarnya tahu eksistensinya. Pun bangsawan-bangsawan keraton pecahan Mataram juga tahu, bahkan juga orang Belanda.
“Catatan Eropa pertama mengenai tempat tersebut berasal dari seorang bernama Frederik Coyett yang mencuri sejumlah patung di sana pada 1733,” tulis Hannigan dalam Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa (2015, hlm. 252).
Raffles dan penyanjungnya jelas terlalu jumawa menganggap dirinya sebagai “penemu” Borobudur. Namun tak bisa dipungkiri, dialah—juga Cornelius—yang pertama kali membuat Borobudur menjadi perhatian komunitas Eropa.
Tindakan pertama Cornelius begitu tiba di lokasi Borobudur adalah mengerahkan 200 orang dari desa sekitar untuk membersihkannya. Usai dua minggu bekerja, tubuh megah Borobudur yang terbengkalai selama satu milenium akhirnya tersingkap.
Survei Cornelius menghasilkan pemetaan, deskripsi, dan beberapa gambaran Borobudur usai dibersihkan. Hasilnya kemudian dilaporkan kepada Raffles yang kemudian menampilkan sebagiannya dalam The History of Java (1817).
“Cornelius dan Raffles melakukan langkah pertama ke arah yang benar. Mereka agak secara harfiah membersihkan jalan bagi orang-orang yang akan mengikuti,” cetus Hannigan (hlm. 254).
Penyingkapan Karmawibhangga
Setelah Inggris angkat kaki dari Jawa, pemeriksaan terhadap Candi Borobudur dilakukan di bawah kendali Belanda.
“Residen Kedu, C.L. Hartmann, sangat tertarik dengan Candi Borobudur dan kemudian memerintahkan untuk membersihkan candi. Ia juga memerintahkan agar stupa yang ada di puncak untuk dibongkar dan menemukan arca Buddha yang belum selesai dan benda-benda lain seperti keris,” tulis arkeolog Eddy Sedyawati dkk. dalam Candi Indonesia Seri Jawa (2013, hlm. 95).
Setelah itu, giliran Jan Willem Ijzerman yang menolehkan perhatiannya ke Candi Borobudur. Pada 1885, presiden pertama Archeologische Vereniging Yogyakarta ini bersama sekelompok peneliti menemukan kembali relief yang terkubur di bawah kaki Borobudur.
“Relief ini memiliki 160 panil setelah dilakukan penggalian selama lima tahun,” ungkap Hariani Santiko dalam “Identification of Karmawibhangga Reliefs at Candi Borobudur” yang terbit pada jurnal Amerta (Vol. 34, No. 2, 2013, hlm. 130).
Ke-160 relief itu kemudian diidentifikasi sebagai kisah Karmawibhangga. Secara umum, relief Karmawibhangga menggambarkan tentang hukum sebab-akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Tak lama setelah digali dan diteliti, relief Karmawibhangga kembali ditutup. Namun sebelum ditutup, rangkaian panelnya sempat diabadikan oleh fotografer Kassian Cephas.
“Masing-masing relief difoto oleh Kassian Cephas pada 1890-1891, kecuali relief yang berada di sudut tenggara candi,” tambah Hariani Santiko.
Borobudur Commissie
Candi Borobudur kembali mendapat perhatian pada 1900. Hal itu tidak lepas dari kondisi bangunan candi yang mulai mengkhawatirkan apabila tidak dilakukan perbaikan. Pemerintah Kolonial kemudian membentuk Borobudur Commissie panitia khusus untuk merestorasi Borobudur.
“Untuk menyelidiki langkah-langkah yang dapat diambil untuk melestarikan candi ini dari kerusakan lebih lanjut, sebuah panitia telah ditunjuk yang terdiri dari Dr. J.L.A. Brandes sebagai ketua sekaligus anggota, Theodoor van Erp, dan B.W. van de Kamer,” demikian diwartakan oleh De Locomotief (8 Februari 1901).
Dalam perjalanannya, Borobudur Commissie memiliki beberapa usulan untuk menyelamatkan Candi Borobudur.
“Pada mulanya muncul gagasan untuk membentuk kubah raksasa dari seng yang menutup bangunan candi atau memindahkan relief ke museum,” tulis Ismijono dkk. dalam bukunya Tinjauan Kembali Rekonstruksi Candi Borobudur, Sektor Arkeologi Proyek Pemugaran Candi Borobudur1973-1983 (2013, hlm. 3).
Gagasan tersebut nyatanya tidak dapat dijalankan. Oleh karena itu, Borobudur Commissie kemudian mencari jalan lain untuk menyelamatkan candi tinggalan dinasti Syailendra ini. Hingga pada 1902, Borobudur Commissie akhirnya mencapai suatu kesepahaman akan bagaimana seharusnya restorasi dilakukan.
Menurut Ismijono dkk., langkah restorasi tersebut dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, memperkokoh sudut-sudut bidang candi, menegakkan kembali dinding, dan memperbaiki stupa. Ini adalah langkah penting dan mendesak mengingat Borobudur rawan runtuh.
Kedua, menyempurnakan sistem saluran air dan menerapkan pemeliharaan bangunan candi secara ketat. Terakhir, yang ketiga, menyingkirkan batu-batu lepas di candi, menggali kaki candi yang terkubur tanah, dan membongkar bangunan tambahan hingga melengkapi lagi stupa induk, agar Borobudur terlihat utuh kembali.
Langkah ketiga itu boleh dikata cukup progresif untuk ukuran saat itu. Pasalnya, ia bakal mengeliminasi salah satu daya tarik Borobudur di mata para turis.
Semenjak dibuka sebagai sebagai salah satu destinasi wisata di Hindia Belanda, sebuah bangunan dan tangga telah ditambahkan pada bagian puncak atau stupa induk candi. Itulah tempat favorit yang menarik para turis untuk mengunjungi Borobudur.
Seperti dituturkan Eliza Scidmore dalam Java Garden of the East (1897), para turis dapat melihat panorama candi dan lanskap alam sekitarnya dari tempat itu. Bahkan kala itu, para turis juga diperbolehkan melihat matahari terbit dari bangunan tambahan itu.
Namun, penyelamatan Borobudur tentunya lebih penting ketimbang pemandangan spektakuler.
Proses Restorasi
Usai disepakati, Borobudur Commissie segera mengirim proposal restorasi itu ke Belanda untuk dibahas oleh Parlemen Belanda. Butuh waktu sekira tiga tahun hingga proposal restorasi itu disetujui oleh Parlemen Belanda.
Di saat-saat itu, Borobudur Commissie boleh dikata berkejaran dengan waktu. Pasalnya, semakin lama tertunda, kondisi Borobudur tentu bakal semakin kritis.
“Bagian puncak candi hampir pasti akan runtuh jika ada gempa bumi mengguncang sekecil apapun. Semakin lama menunggu, maka akan semakin tidak bisa diperbaiki lagi kerusakannya,” tulis De Preanger Bode (3 Oktober 1904).
De Preanger Bode juga menyentil Kementerian Urusan Tanah Jajahan Belanda untuk memasukkan dana pemugaran candi dalam anggarannya. Kementerian juga didesak segera menyerahkan anggaran itu Parlemen Belanda. Hal itu tidak terlepas dari anggapan bahwa Candi Borobudur sebagai tinggalan sejarah milik negara yang sangat berharga sehingga negara perlu ikut terlibat dalam merawatnya.
Ketika proposal restorasi Borobudur akhirnya disetujui, Dr. J.L.A. Brandes selaku Ketua Borobudur Commissie tidak sempat melihat pemugaran benar-benar terlaksana. Dia terlebih dahulu meninggal dunia pada 26 Juni 1905.
Pada 1907, proyek pemugaran Candi Borobudur akhirnya benar-benar terlaksana di bawah arahan Theodoor van Erp. Pemerintah Kolonial menunjuk van Erp karena latar belakangnya sebagai perwira zeni. Selain itu, dia juga punya minat pada arkeologi dan berpengalaman dalam proyek pemugaran candi.
“Pada periode 1902-1903 van Erp sudah bekerja pada penyelamatan Candi Siwa di kompleks Prambanan dan Kompleks Candi Sewu serta terlibat dalam pemugaran Candi Ngawen, Selagriya, dan Pringapus,” tulis Nunus Supardi dalam artikelnya di laman Borobudur Society.
Menurut van Erp, Borobudur boleh dikata lebih "mujur" dibandingkan dengan Candi Prambanan. Selama bertahun-tahun, Borobudur tertutup tanah, abu vulkanik, dan tumbuhan sehingga sedikit saja batunya yang hilang atau rusak.
Meski begitu, dia sungguh menyayangkan tindakan Pemerintah Kolonial menghadiahkan delapan gerobak arca dan fragmen candi kepada Raja Chulalongkorn yang berkunjung pada 1896.
Menangani bagian candi yang rusak atau hilang dijarah seperti itu memang pelik. Untuk perkara ini, van Erp memilih berpegang pada teori anastilosis, yakni sedapat-dapatnya memanfaatkan kembali unsur-unsur bangunan asli Borobudur.
Terbentur keterbatasan itu, Theodoor van Erp pada akhirnya hanya bisa merestorasi bagian-bagian tertentu saja.
“Antara lain membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak, menegakkan kembali dinding-dinding yang miring pada tingkat pertama, serta memperbaiki gapura-gapura, relung-relung, dan stupa-stupa yang rusak,” tulis Supardi.
Proses pemugaran pertama Candi Borobudur akhirnya selesai pada 1911. Seturut tinjauan I.G.N. Anom dkk. dalam Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PJP I (1996, hlm. 124), pemugaran ini memang belum sempurna. Namun paling tidak, van Erp dan Borobudur Commissie telah menyelamatkan candi Buddhis ini dari bahaya kerusakan yang lebih besar.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi