Menuju konten utama

Nasib Bojongmenje dan Alasan-alasan Candi di Jawa Barat Langka

Penemuan Candi Bojongmenje pada Agustus 2002 di Rancaekek, Bandung menambah daftar candi di Jawa Barat yang jumlahnya tidak sebanyak di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Nasib Bojongmenje dan Alasan-alasan Candi di Jawa Barat Langka
Juru Pelihara membersihkan Situs Candi Bojongmenje di Desa Cangkuang, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (29/12/2017). ANTARA FOTO/Novrian Arbi

tirto.id - Jalan Raya Rancaekek siang itu ramai. Lalu-lintas padat lancar. Beberapa pabrik tekstil dan garmen tengah berproduksi. 31 Januari 2016 waktu itu, saya masuk ke sebuah gang perkampungan padat penduduk dan akhirnya sampai ke kompleks Candi Bojongmenje.

Sejumlah batu tersusun dan sebagian lagi berserakan, ada kolam bekas galian yang digenangi air, saung kecil tempat menyimpan benda-benda hasil ekskavasi, dan beberapa tali rafia terjulur melintang membentuk persegi panjang.

“Jangan melintas di kotak itu ya, [itu] kuburan,” ujar juru pelihara Candi Bojongmenje sambil menunjuk kotak persegi panjang yang dibatasi tali rafia.

Saat ditemukan, Candi Bojongmenje berada di sebuah permakaman di belakang pabrik tekstil. Lokasi makam kemudian dipindahkan, tapi entah kenapa masih menyisakan beberapa makam yang diberi tanda oleh tali rafia.

Secara administratif, Candi Bojongmenje terletak di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Pada Agustus 2002 candi tersebut ditemukan warga. Sebulan kemudian tim arkeolog melakukan ekskavasi atau penggalian yang dilakukan di tempat yang mengandung benda purbakala. Ekskavasi berhasil menampakkan bagian candi yang tersisa yaitu struktur bagian kaki.

Candi ini dibangun dari batu andesit dan diperkirakan berdenah dasar bujur sangkar dengan sisi sepanjang 6 meter. Darwin Alijasa Siregar dari Pusat Survei Geologi dalam Radiokarbon Bagi Penentuan Umur Candi Bojongmenje di Rancaekek, Jawa Barat (Jurnal Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol. 14 No. 27 Tahun 2011) memperkirakan umur Candi Bojongmenje berkisar antara abad kelima sampai abad ketujuh.

Sementara dalam catatan perpusnas.go.id, Candi Bojongmenje diperkirakan dibangun pada abad ke-7 dan ke-8. Hal ini berdasarkan pada reruntuhan candi yang sangat sederhana dan dindingnya hanya terdiri dari satu lapis tanpa hiasan relief. Berdasarkan perkiraan usia tersebut, Candi Bojongmenje setara dengan usia Candi Dieng di Jawa Tengah, dan lebih tua jika dibandingkan candi-candi yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara umum.

Nanang Saptono dari Balai Arkeologi Jawa Barat dalam Peranan Anjing Pada Masyarakat yang Bermukim di Sekitar Candi Bojongmenje Abad VIII-IX menjelaskan bahwa struktur kaki candi sisi barat tersisa lima hingga tujuh lapis batu. Bagian sudut barat daya dalam kondisi melesak. Struktur sisi utara belum tampak karena berada di bawah pondasi pagar pabrik, dan struktur sisi timur ditemukan dalam keadaan tidak lengkap. Serta keadaan struktur sisi selatan relatif utuh.

“Akibat aktivitas penduduk membuat lubang galian kuburan, beberapa batu dalam keadaan terpotong,” tambahnya.

Nanang menambahkan bahwa berdasarkan sejumlah temuan arkeologis, Candi Bojongmenje merupakan bangunan lengkap yang terdiri dari kaki, tubuh, dan atap.

Selain temuan berupa batu komponen bangunan, di sana juga ditemukan sejumlah artefak yaitu fragmen tembikar dan alat serpih obsidian. Benda-benda itu menunjukkan bahwa sebelum masyarakat masa klasik bermukim di Bojongmenje, telah ada masyarakat prasejarah yang bermukim di lokasi tersebut.

Selain artefak dari masa prasejarah, di lokasi itu juga ditemukan fragmen arca nandi (lembu) bagian kepala yang tidak utuh. Temuan ini menunjukkan bahwa Candi Bojongmenje bersifat Hindu.

Jejak Kaki Anjing

Selain temuan-temuan tersebut, pada salah satu bata yang ditemukan di reruntuhan candi terdapat juga jejak kaki binatang.

“Tera jejak binatang terdiri dua, masing-masing memperlihatkan empat jari dan telapak. Berdasarkan perbandingan dapat diasumsikan bahwa jejak tersebut merupakan jejak anjing,” tambahnya.

Hari Setyawan dalam Penggambaran Arsitektur Berkontruksi Kayu Abad ke-9 – 10 Masehi Pada Relief Karmawibhangga Candi Borobudur (Jurnal Naditira Widya Vol. 5 No. 1 Tahun 2011) yang diterbitkan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin menerangkan bahwa salah satu fungsi anjing dalam keseharian masa itu—bersama manusia, adalah sebagai penjaga lumbung padi.

“Sementara itu, tepat di depan lumbung padi tersebut dijumpai seekor anjing yang sedang mendekam. Anjing yang berada di depan bangunan berkonstruksi kayu yang diinterpretasikan sebagai lumbung padi tersebut diasumsikan merupakan anjing penjaga,” tulisnya.

Sementara itu, Rudy Badil dan Nurhadi Rangkuti dalam Rahasia di Kaki Borobudur (1992), seperti dikutip Nanang Saptono, menjelaskan bahwa keberadaan anjing adalah sebagai musuh sekaligus kawan bagi manusia.

Pada beberapa relief Candi Borobudur terdapat panil yang menggambarkan peran anjing dalam kehidupan manusia. Anjing sebagai musuh manusia (jahat) terdapat pada panil yang menggambarkan laki-laki yang digigit anjing karena melakukan kejahatan terhadap sesama atau karena sering menganiaya istri.

“Pada panil lain ada yang menggambarkan suami yang main serong mendapat balasan dikejar anjing,” tulisnya.

Sementara anjing yang berkawan dengan manusia terdapat pada panil yang menggambarkan seekor anjing tengah duduk dekat manusia yang sedang menikmati sajian para pengamen. Kepalanya mendongak ke arah pengamen.

Peran anjing berdasarkan jejak kakinya yang terdapat di Candi Bojongmenje memang sulit untuk digambarkan secara detail. Namun, jika dilihat dari tipe masyarakat Sunda tempo dulu yang bermatapencaharian berladang, keberadaan anjing sangat dibutuhkan manusia untuk membantunya dalam keseharian.

“Masyarakat peladang berpindah sangat memerlukan anjing selain untuk menjaga ladang juga untuk membantu dalam berburu,” tambahnya.

Nanang Saptono memastikan bahwa jejak kaki anjing yang terdapat pada bata di Candi Bojongmenje tercetak pada saat proses pembuatan bata. Hal ini berdasarkan pada letak candi yang berada di tepi sungai yang cocok sebagai lokasi pembuatan bata.

Ia menambahkan bahwa sampai sekarang di sepanjang Sungai Cimande dan Citarik (sungai yang mengalir di arah timur kawasan Bojongmenje) masih terdapat masyarakat yang membuat bata.

“Aliran sungai yang mengendapkan tanah liat terdapat di kanan kiri sungai memberikan kemudahan masyarakat untuk mendapatkan bahan dasar bata,” imbuhnya.

Infografik Candi Bojongmende

Kelangkaan Candi di Jawa Barat

Penemuan Candi Bojongmenje menambah daftar candi yang terdapat di Jawa Barat, yang jumlahnya tidak sebanyak seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Ada beberapa pendapat ihwal kelangkaan candi di Jawa Barat atau di Tatar Sunda. Sejauh ini jawaban yang mengemuka adalah soal sosiologis-kultural dan proses Islamisasi.

Jawaban yang pertama yaitu sosiologis-kultural, dikaitkan dengan mata pencaharian orang Sunda yang dulu masih berladang, berpindah-pindah lahan garapan, dan ini dianggap berpengaruh terhadap tempat tinggal. Efek dari nomaden, mereka tidak memerlukan bangunan tempat tinggal permanen yang kokoh, termasuk perlakuan terhadap candi sebagai tempat pemujaan.

Sedangkan yang kedua adalah proses Islamisasi di Tatar Sunda yang cenderung dianggap lebih intensif jika dibandingkan dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dampak dari proses ini membuat orang-orang Sunda yang beragama Islam menjadi militan dan diduga menghancurkan candi-candi sebagai peninggalan agama Hindu dan Buddha.

Dua perspektif tersebut sampai sekarang masih dianggap sebagai penyebab langkanya keberadaan candi di Jawa Barat. Namun, pandangan dominan itu perlahan diperkaya oleh sejumlah pihak yang mencoba menawarkan perspektif lain, salah satunya adalah Moeflich Hasbullah dalam “Menjawab Misteri Kelangkaan Candi di Jawa Barat”.

Menurutnya, kelangkaan candi dilatari oleh sistem religi orang Sunda yang monoteisme. Sebelum pengaruh Hindu dan Buddha yang datang dari India masuk dan mengalami proses sinkretisme dengan agama lokal, orang Sunda sudah mempunyai konsepsi teologis.

Moeflich menambahkan bahwa orang Sunda pra Hindu memercayai bahwa Hyang (Sanghyang, Sangiang) adalah Sang Pencipta Yang Esa, yang menguasai segala macam kekuatan, menguasai roh, dan mengendalikan seluruh alam. Ketika Hindu masuk, konsep ini terpelihara karena semua dewa Hindu dianggap kekuatannya berada di bawah Hyang.

Dalam menyembah Hyang, orang Sunda pra Hindu tidak terpusat di candi melainkan di kahiyangan. Sementara konsep kahiyangan abstrak, tidak menyebut tempat fisik dan bangunan.

“Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap Hyang yang monoteistik tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagai mana di Jawa Tengah dan Timur,” tulisnya.

Selain sistem religi dan konsepsi teologis, menurut Moeflich, hal kedua yang menyebabkan di Jawa Barat tidak terdapat banyak candi adalah tradisi egalitarianisme yang dijalankan oleh orang Sunda.

Ia membandingkannya dengan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, pada masa lalu yang menganut konsep dan ajaran god-king (dewa-raja): raja dihayati sebagai panutan yang mutlak karena dianggap sebagai wakil Tuhan di Bumi.

Raja mempunyai dua otoritas, yakni politik dan religius. Oleh karena itu gelar bagi raja-raja Jawa kerap penggabungan dari otoritas ini, seperti rajaresi, khalifatullah fil’ardhi, senapati ingalaga sayidin panatagama, dan sebagainya. Keraton sebagai pemegang kebenaran. Ada batas yang jelas dan tegas antara raja dengan rakyat. Dalam masyarakat Jawa ada dikotomi sosial antar kelas seperti ningrat atau priyayi dengan wong cilik.

Sementara itu, dalam kehidupan orang Sunda corak seperti itu tidak ditemukan, kecuali pasca Mataram masuk di era kekuasaan Islam. Posisi keraton dalam masyarakat Sunda pra-Mataram tidak terlalu menentukan dalam pembentukan suatu budaya.

Hal inilah yang dianggap oleh Moeflich sebagai salah satu penyebab langkanya keberadaan candi di Jawa Barat. Ketika raja dan kebijakan keraton tidak dianggap mutlak sebagai pedoman laku hidup, maka candi sebagai sarana sesembahan dan pemujaan eksklusif para raja, keberadaannya pun pasti akan terbatas.

“Di Tatar Sunda yang egaliter dan kedekatannya dengan alam […] fokus sesembahan dan penghormatan lebih langsung kepada alam dan ke Sanghyang ketimbang kepada para raja,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait CANDI atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Suhendra