tirto.id - Senin pagi 5 Juli 2011, warga di sekitar sungai Ci Mandiri, Kelurahan Cikundul, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi, menemukan batu yang diduga prasasti peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang dulu sempat berkuasa di Jawa bagian barat.
Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah Kota Sukabumi dengan mengevakuasi batu itu ke Museum Sunda Islam Prabu Siliwangi yang merupakan bagian dari Pondok Pesantren Dzikir Al-Fath, Sukabumi.
Proses evakuasi yang dilakukan oleh puluhan santri dan disaksikan oleh jajaran pemerintah kota, berlangsung cukup lama, karena prasasti tersebut berada di dasar sungai dan dihimpit oleh batu besar.
Berita penemuan prasasti itu membuat sebagian warga yang berada di sekitar sungai Ci Mandiri penasaran, mereka lalu mencoba mencari prasasti yang lain. Tanggal 30 Juli 2011, warga yang penasaran berhasil menemukan prasasti lain di sungai tersebut, tepatnya di Blok Leuwi Lisung, Kelurahan Baros, Kecamatan Baros, Kota Sukabumi.
“Kami berhasil mengangkat batu tulis dengan bantuan warga sekitar. Kondisi batu prasasti berlumut itu, merupakan temuan untuk kedua kalinya di kawasan itu. Temuan prasasti dalam sebulan menambah keyakinan kami, Sukabumi merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran pada masa Prabu Siliwangi berkuasa,” kata Fajar Laksana, Kepala Museum Sunda Islam Prabu Siliwangi, seperti dilansir Pikiran Rakyat.
Mengetahui penemuan tersebut, Museum Sri Baduga Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Jawa Barat mengirim tim ke Sukabumi untuk melakukan serangkaian pendataan. Tim yang beranggotakan pejabat fungsional Disbudpar Jabar itu meyakini bahwa huruf dan dan Bahasa dalam batu tersebut adalah bahasa Sunda kuno.
“Dilihat dari kasat mata, untuk sementara kami memastikan bahasa dan tulisan kedua prasasti itu, merupakan sisa peninggalan Sunda kuno. Diperkirakan peninggalan pada abad 15-16, semasa Sribaduga Siliwangi berkuasa,” ujar Sri Mulyati, salah satu anggota tim tersebut.
Sekilas tentang Prasasti-prasasti di Jawa Barat
Prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Barat tidak sebanyak yang ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya ada 39 prasasti yang ditemukan di Jawa Barat dan telah dipublikasikan di berbagai media. Namun jika dilihat perkembangan bahasa dan tulisannya, di Jawa Barat lebih bervariasi. Hal tersebut diterangkan oleh Titi Surti Nastiti dan Hasan Djafar dalam Prasasti-prasasti dari Masa Hindu Buddha (Abad ke-12-16 Masehi) di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Jurnal Purbawidya Vol. 5 No. 2, November 2016) yang diterbitkan Balai Arkeologi Bandung.
Prasasti tertua di Jawa Barat ditemukan pada tahun 450 M, dan prasasti yang termuda dari abad ke-16. Prasasti-prasasti tersebut berbahasa Sansakerta, Melayu Kuna, Jawa Kuna, dan Sunda Kuna.
Dalam jurnal edisi berbeda, Analisis Pseudo Prasasti dari Sukabumi (Jurnal Purbawidya Vol. 1 No. 1, Tahun 2012) yang ditulis oleh Titi Surti Nastiti dan Endang Widyastuti, menjelaskan bahwa Kerajaan Tarumanagara di masa Purnawarman meninggalkan prasasti-prasasti tertua di Jawa Barat dari abad ke-5, seperti prasasti Tugu, Ciaruteun, Kebonkopi I, Jambu, Cidanghiang, Pasir Awi, dan Muara Cianten, yang tersebar dari wilayah Bogor sampai Pandeglang, Banten.
Selain peninggalan Kerajaan Tarumanagara, seperti ditulis Hasan Djafar dalam Komplek Percandian Batujaya: Rekontruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat (2010), prasasti-prasasti lain yang berbahasa Sansakerta ada juga yang berasal dari abad ke-7-8 M, yaitu prasasti yang terletak di Situs Batu Jaya, Karawang.
Sementara prasasti yang berbahasa Melayu Kuna di Jawa Barat hanya ada satu, yaitu Prasasti Kebon Kopi II yang ditemukan di Ciaruteun, Bogor, yang berasal dari tahun 932 M. Adapun prasasti-prasasti yang berbahasa Jawa Kuna adalah prasasti Mandiwunga (Cisaga, Ciamis), Sanghyang Tapak (Kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, di tepi sungai Ci Catih, Cibadak, Sukabumi), Sadapaingan (Ciamis), dan Cikapundung (Bandung).
Di luar ketiga bahasa tersebut, di Jawa Barat juga terdapat beberapa prasasti yang berbahasa Sunda Kuna dengan aksara Jawa Kuna (prasasti Rumatak, Batutulis, Huludayeuh), dan berbahasa Sunda Kuna dengan aksara Sunda Kuna (prasasti Kawali dan Kabantenan).
Keyakinan yang Lekas Jadi Pudar
Titi Surti Nastiti dan Endang Widyastuti dalam Analisis Pseudo Prasasti dari Sukabumi (Jurnal Purbawidya Vol. 1 No. 1, Tahun 2012) yang diterbitkan Balai Arkeologi Bandung, menerangkan hasil pengamatannya terhadap temuan warga Sukabumi tersebut, yang diyakini warga sebagai prasasti peninggalan Kerajaan Pajajaran zaman Prabu Siliwangi.
Dalam alam pikiran dan kepercayaan masyararakat Sunda, Prabu Siliwangi adalah sosok raja yang paling besar pengaruhnya dari Kerajaan Pajajaran. Meski tidak pernah disebutkan dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Barat, juga tidak ada dalam naskah Carita Parahyangan yang menuliskan silsilah raja-raja yang berkuasa di Jawa terutama Kerajaan Sunda, tapi namanya amat lekat dalam kehidupan masyarakat Sunda.
Maka tak heran jika temuan beberapa batu yang diduga prasasti di Sukabumi dilekatkan dengan nama Prabu Siliwangi. Padahal nama tersebut hanya ada dalam naskah Sanghyang Sikskanda Ng Karesian sebagai salah satu judul pantun yang dikenal pada masa itu.
“Amir Sutaarga (1965) mengidentifikasikan Prabu Siliwangi sebagai Sri Baduga Maharaja. Pendapatnya ini mendapat dukungan dari Saleh Danasasmita. Akan tetapi, menurut Ayatrohaedi, tidak mungkin seseorang yang masih hidup sudah dijadikan tokoh dalam cerita pantun,” tulis Titi dan Endang.
Mereka menambahkan bahwa Ayatrohaedi mengidentifikasikan Prabu Siliwangi dengan Niskala Wastu Kancana. Menurut Ayatrohaedi, Niskala Wastu Kancana menggantikan (silih) kedudukan ayahnya yang dikenal sebagai Prabu Wangi yang gugur di Bubat. Artinya, sosok Prabu Siliwangi sampai hari ini masih menjadi perdebatan.
Di luar penamaan prasasti, tulisan-tulisan yang terdapat dalam beberapa prasasti yang ditemukan di Sukabumi, berdasarkan penelitian secara saksama oleh Titi Surti Nastiti dan Endang Widyastuti, terdapat beberapa hal yang janggal.
Pertama, tulisan yang digunakan lebih mirip aksara latin, dan tidak ada tanda-tanda yang selalu dipakai dalam aksara pada prasasti maupun naskah. Tanda-tanda tersebut adalah patén atau pamaéh (tanda mematikan), layar atau panglayar, panyécék (ng anuswara), danda (tanda untuk a), ulu atau panghulu (tanda untuk i), suku (untuk tanda u), pamépét (tanda é), dan panolong (tanda untuk o/eu).
Kedua, ada prasasti yang ditulis dari atas ke bawah dan saling silang, hal ini tidak pernah ditemukan dalam prasasti-prasasti yang telah ada sebelumnya.
Ketiga, tulisan yang ada di prasasti batu sama dengan tulisan yang ada di naskah kulit dan lontar. Ini pun janggal karena pada umumnya isi prasasti dan naskah berbeda.
“Prasasti biasanya dikeluarkan oleh raja atau pejabat kerajaan yang dapat dimasukkan ke dalam sumber primer, sementara naskah pada umumnya adalah mantra, pengobatan, cerita lokal, cerita yang disadur dari cerita Mahabharata dan Ramayana, dan sebagainya,” tulis mereka.
Kejanggalan keempat dari prasasti-prasasti Sukabumi tersebut, jika dibandingkan dengan prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Barat sebelumnya, adalah pahatannya sangat tipis. Terakhir, selain tulisannya mirip aksara latin, terdapat pula tulisan yang mirip aksara nagari. Aksara ini biasanya ada hubungannya dengan agama Buddha, sementara prasasti-prasasti tersebut terletak di wilayah kerajaan yang beragama Hindu.
Dari hasil pengamatan itu, Titi dan Endang menyimpulkan bahwa prasasti-prasasti tersebut bukan prasasti yang berasal dari masa Kerajaan Pajajaran. Hal ini tentu membantah apa disebut oleh warga yang menemukannya, Kepala Museum Sudna Islam Prabu Siliwangi, juga tim dari Museum Sri Baduga.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS