tirto.id - Seorang muslim terlebih para istri seyogianya tahu hukum i'tikaf untuk wanita. Jangan sampai, iktikaf yang digadang-gadang mendatangkan banyak pahala justru mengundang murka Allah Swt.
Lantas, bagaimana hukum itikaf bagi perempuan? Apakah itikaf Lailatul Qadar dianjurkan untuk perempuan?
Memasuki 10 malam terakhir bulan Ramadhan, umat Islam dianjurkan untuk giat beribadah melalui kegiatan iktikaf. Hal ini dicontohkan langsung Rasulullah Saw. semasa hidup, sebagaimana hadis riwayat Aisyah Ra. berikut:
“Pada malam sepuluh terakhir, Rasulullah saw [lebih] bersungguh-sungguh [untuk beribadah], melebihi kesungguhan pada malam yang lain,” (HR Muslim).
Hukum I'tikaf untuk Perempuan
Apabila bagi laki-laki begitu dianjurkan, bagaimana dengan iktikaf bagi perempuan? Hukum itikaf adalah dianjurkan atau sunah baik bagi perempuan maupun laki-laki. Menurut ketetapan mayoritas ulama, wanita bahkan boleh beritikaf di masjid. Hal ini mengacu pada hadis Rasulullah saw. berikut ini:
"Aisyah ra berkata, 'Rasulullah saw. biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia [Yahya bin Sa’id] berkata: Kemudian ‘Aisyah ra. meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya," (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Rasulullah melaksanakan itikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadan. Setelah Rasulullah wafat pun, istri-istri Nabi Muhammad Saw. tetap melaksanakan itikaf.
“Rasulullah saw. selalu ber-itikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Sepeninggal beliau, istri-istri beliau pun melakukan i’tikaf,” (HR. Al-Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172).
Syarat Khusus bagi Perempuan untuk I'tikaf
Meskipun dibolehkan, ada ketentuan khusus bagi itikaf wanita dalam Islam. Hal-hal ini tidak lain untuk menjaga muruah perempuan dari murka Allah, dosa, hingga fitnah.
Berikut ini beberapa syarat khusus bagi i'tikaf untuk wanita:
1. Meminta Izin kepada Suami
Wanita yang sudah berkeluarga harus meminta izin suami untuk mengikuti itikaf. Pelaksanaan itikaf pun harus memperhatikan bahwa itikaf yang dilaksanakan tidak lantas mengabaikan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang istri atau seorang ibu.Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam kitab Ibanatul Ahkam menjelaskan sebagai berikut:
“Boleh i'tikaf perempuan di masjid dengan izin suami bila tidak dikhawatirkan terjadi fitnah,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 340).
Di sisi lain, khusus wanita yang belum berkeluarga, sebelum iktikaf harus meminta izin kepada orang tua atau walinya.
2. Tidak Menyebabkan Fitnah
Sejatinya orang yang beritikaf harus menegaskan niat bahwa tujuan itikafnya adalah untuk meraih rida Allah semata. Itikaf merupakan ibadah yang fokus ditujukan untuk mendekatkan diri pada Allah sehingga jangan sampai pelaksanaan itikaf justru akan menimbulkan mudarat.Salah satunya berupa fitnah, terlebih lagi bagi para wanita. Wanita yang beritikaf harus menutup aurat dengan sempurna dan tidak memakai wewangian yang bisa menarik perhatian laki-laki.
Selain itu, wanita yang sedang itikaf di masjid harus memperhatikan tempatnya, yakni di ruangan tertutup. Sebagaimana yang dilakukan oleh istri Rasul saat itikaf. Mereka meminta dibuatkan ruangan khusus semacam kemah khusus di dalam masjid.
Apalagi masjid adalah tempat umum yang selalu didatangi kaum laki-laki sehingga sebaiknya mereka tidak saling melihat. Jika hendak membuat ruang khusus, jangan mengambil tempat salat kaum laki-laki karena akan memutus saf dan mempersempit tempat salat mereka.
Bolehkah Wanita Melaksanakan I'tikaf di Masjid untuk Beberapa Hari?
Tidak ada aturan mengenai perempuan harus beriktikaf di masjid berapa hari. Namun, waktu yang dianjurkan adalah 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Di sisi lain, perempuan tidak perlu memaksakan untuk datang ke masjid guna beriktikaf. Masih dari kitab Ibanatul Ahkam, Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki mengutip pendapat Abu Hanifah, menjelaskan, perempuan boleh iktikaf di musala rumahnya sebagai berikut:
“Menurut Abu Hanifah, itikaf perempuan sah di masjid di dalam rumahnya, yaitu sebuah lokasi di dalam rumahnya yang disediakan untuk aktivitas shalatnya,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 340).
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Fitra Firdaus
Penyelaras: Syamsul Dwi Maarif