Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Puputan Margarana, Latar Belakang, Kronologi, & Tokohnya

Sejarah perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Bali terwujud dalam Puputan Margarana tanggal 20 November 1946.

Sejarah Puputan Margarana, Latar Belakang, Kronologi, & Tokohnya
Warga Bali melakukan upacara adat untuk memperingati Hari Puputan Margarana di Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa yang juga Taman Makam Pahlawan Margarana, Tabanan, Bali, Selasa (19/11/2019). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nym/pd.

tirto.id - Sejarah perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Bali terwujud dalam Puputan Margarana tanggal 20 November 1946. Ini adalah pertempuran habis-habisan yang dilancarkan kaum pejuang dan rakyat Bali melawan pasukan Belanda yang ingin berkuasa kembali.

Pertempuran Puputan Margarana merupakan salah satu perang terdahsyat yang terjadi di Bali pada masa Revolusi Fisik. Perang ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Inf. I Gusti Ngurah Rai. Perang Puputan Margarana menjadi medan perjuangan rakyat Bali yang tidak ingin dijajah lagi oleh Belanda.

Dalam bahasa Bali, puputan dapat dimaknai sebagai perang yang dilakukan hingga mati atau sampai titik darah penghabisan. Sedangkan Margarana merujuk pada lokasi pertempuran yang kini menjadi kecamatan bernama Marga di Kabupaten Tabanan, Bali.

Selain Puputan Margarana, di Pulau Dewata sebelumnya juga pernah terjadi perang habis-habisan serupa dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Tahun 1906 pecah Puputan Bandung, kemudian Puputan Klungkung terjadi pada 1908.

Latar Belakang Peristiwa Puputan Margarana

Kemerdekaan yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 bukan berarti Indonesia langsung dapat menjalani kehidupan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat dalam situasi aman dan damai.

Beberapa bulan berselang setelah proklamasi, Netherlands Indies Civil Administration (NICA) alias Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu yang baru saja mengalahkan Jepang di Perang Dunia II.

Masuknya NICA tidak hanya terjadi di pulau Jawa, daerah-daerah lain Indonesia juga menjadi sasaran, salah satunya adalah Bali.

Marwati Djoened Poeponegoro dan kawan-kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (2008), menjelaskan bahwa tanggal 2 Maret 1946, dua batalyon pasukan NICA mendarat di Bali. Semula, kedatangan mereka bertujuan untuk melucuti senjata tentara Jepang.

Dari sinilah latar belakang Puputan Margarana dimulai. Hadirnya pasukan Belanda di Pulau Dewata tentu saja ditentang oleh kaum pejuang republik dan rakyat Bali. Mulai terjadilah pertempuran-pertempuran kecil antara para pejuang Bali dengan Belanda.

NICA mengajak berundingan melalui surat melalui surat dari Letnan Kolonel J.B.T Konig kepada I Gusti Ngurah Rai selaku Kepala Divisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk wilayah Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara) dan sekitarnya.

I Gusti Ngurah Rai dengan tegas menolak perundingan tersebut. Ia menegaskan, selama Belanda masih menginjakkan kaki di Bali, perlawanan pejuang dan rakyat akan terus dilakukan.

Kronologi Puputan Margarana

Sudarmanto dalam buku Jejak-jejak Pahlawan (2007) menyebutkan, I Ngurah Rai membentuk Batalyon Ciung Wanara untuk menghadapi Belanda di Bali.

Tak hanya itu, dibentuk pula basis-basis perjuangan di banyak desa di Bali. Perjuangan pasukan Ciung Wanara pimpinan I Gusti Ngurah Rai mendapatkan dukungan penuh dari rakyat.

Hal tersebut diketahui dari penelitian "Peranan Masyarakat dalam Perang Kemerdekaan: Studi Kasus Desa Marga dalam Peristiwa Puputan Margarana 20 November 1946 pada Masa Revolusi di Bali" karya Dewa Made Alit.

Disebutkan, beberapa desa di Bali yang menjadi basis perjuangan antara lain: Desa Marga, Desa Kelaci, Desa Tegaljadi, Desa Selanbawak, Desa Banjar Adeng, Desa Banjar Ole, Desa Banjar Bedugul, Desa Banjar Kelaci, dan lainnya.

Tanggal 19 November 1946 malam hari, senjata prajurit NICA yang sedang berada di Tabanan direbut oleh tentara rakyat pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Aksi ini membuat Belanda murka.

Dampak Peristiwa Puputan Margarana

Pagi-pagi buta tanggal 20 November 1946, Belanda mengerahkan pasukan dan mengepung desa yang menjadi pertahanan tentara rakyat Bali. Terjadilah aksi tembak-menembak yang membuat Belanda agak terdesak.

Belanda terpaksa mengerahkan seluruh kekuatan militernya yang ada di Bali ditambah mendatangkan pesawat pengebom dari Makassar.

Meskipun dikepung dan kalah jumlah prajurit maupun persenjataan, I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya serta rakyat Bali pantang menyerah. Mereka bertekad tidak akan mundur sampai tetes darah terakhir.

Komando puputan pun diserukan. Perang habis-habisan dilancarkan demi tegaknya kemerdekaan Indonesia sekaligus demi harga diri rakyat Bali. Dampak puputan margarana adalah terjadi pertempuran besar yang sejatinya tidak seimbang.

Sehingga akhir pertempuran Puputan Margarana, yakni pasukan Bali yang berjumlah kurang dari 100 orang seluruhnya gugur di medan laga, termasuk I Gusti Ngurah Rai. Namun, Belanda juga mengalami kerugian besar. Sebanyak 400 orang tentaranya tewas.

Untuk mengenang peristiwa heroik itu, di lokasi Puputan Margarana kini berdiri Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. I Gusti Ngurah Rai pun ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI.

Selain itu, nama I Gusti Ngurah Rai juga diabadikan sebagai nama bandara internasional di Bali dan Kapal Perang Republik Indonesia atau KRI, juga disematkan untuk profil mata uang pecahan Rp50 ribu pada 2005.

Tokoh Puputan Margarana

Tokoh Puputan Margarana dari pihak Bali yang utama tentu saja I Gusti Ngurah Rai. Ngurah Rai bertempur bersama warga Bali yang berjumlah kurang dari 100 orang yang semuanya gugur di medan perang.

Sementara dari kubu Belanda tersebutlah nama Kapten J.B.T König dan Letnan Kolonel F. Mollinger sebagai pemimpin pasukan NICA.

Baca juga artikel terkait PUPUTAN MARGARANA atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Dhita Koesno