Menuju konten utama

Gambar pada Uang Bukan Urusan Sepele

I Gusti Ngurah Rai pada pecahan 50 ribu akan digantikan oleh Djuanda Kartawidjaja, Sam Ratulangi menggantikan Otto Iskandardinata pada pecahan 20 ribu, Imam Bonjol di pecahan 5 ribu akan digantikan K.H. Idham Chalid, dan sebagainya. Tapi, melihat rancangan "pergantian pemain" itu, kesan yang timbul adalah ini cuma soal pemenuhan keterwakilan golongan dan tak ada visi besar di belakangnya.

Gambar pada Uang Bukan Urusan Sepele
Gabriel García Márquez menyapa wartawan dan tetangga pada hari ulang tahunnya di luar rumahnya di Mexico City, 6 Maret 2014. [Foto/REUTERS/Edgard Garrid]

tirto.id - Seperti Benjamin Franklin bagi orang-orang Amerika Serikat dan Soekarno-Hatta bagi kita, Gabriel Garcia Marquez telah resmi menjadi alat tukar dalam perdagangan rakyat Kolombia. Awal September lalu, di Bogotá, bank sentral Kolombia meluncurkan uang kertas 50 ribu peso edisi terbaru. Nilai pecahan itu setara 222,5 ribu dalam rupiah,

Pada tepi kiri salah satu sisi uang itu, Gabo—panggilan akrab untuk Garcia Marquez—bertopang dagu. Namun, airmukanya jauh dari kesan murung. Gabo tampak seperti orang yang “sedang memikirkan langkah catur” sekaligus “baru saja mengadali lawan bicaranya.”

Pada bagian tengah sisi yang sama, ia tampil dengan perawakan lengkap. Gabo berpakaian seperti Jet Li dalam Fist of Legend, menghadap ke kiri, dan mengangkat sebelah lengannya. Tidak, tangan itu tak menunjuk matahari seperti halnya patung Saparmurat Niyazov di Turkmenistan, tetapi sedang menciptakan kupu-kupu.

Mengingat penghargaan Kolombia yang amat besar terhadap Gabo, desain indah dan akurat itu tentu tak mengherankan. Pada 2014 saja, beberapa bulan setelah kematiannya, pemerintah Kolombia dengan sigap menerbitkan peraturan negara #1741, yang salah satu isinya adalah “menghormati lambang utama seni dan kebudayaan Kolombia.”

Juan Manuel Santos, presiden negara itu, sekali waktu pernah menyebut Gabo sebagai “(mungkin) orang Kolombia terhebat sepanjang sejarah.”

Yang ajaib, ucapan Santos itu lain dari perkataan politikus pada umumnya: ia tak mengada-ada. Pengaruh Gabo, baik di negara asalnya maupun di Amerika Latin secara umum, memang telah jauh melampaui batas-batas kesusastraan.

Pada 1982, misalnya, ia sanggup mengatur pertemuan antara pemerintahan rezim Belisario Betancur dan kelompok nasionalis sayap kiri bersenjata M-19, dan terus berperan penting hingga pertikaian berhenti. Persahabatannya dengan pemimpin Kuba, Fidel Castro, sama sekali bukan rahasia. Kawan-kawan politik Gabo, betapa pun mereka terancam di negeri-negeri lain, takkan dibunuh di Kolombia selama di sisinya ada sang Maestro.

Sebabnya sederhana saja: rakyat Kolombia menyayangi (kadang mereka bahkan menyebutnya Gabito alias Gabo Kecil) sekaligus menghormati dia. Seperti Mark Twain bagi rakyat Amerika Serikat, tetapi lebih. Dan kini, orang-orang itu bisa membawa Gabito mereka ke mana saja.

Infografik Pahlawan dalam Uang 2

Potret Pengarang di Lembar Uang

Salah satu misteri utama zaman ini adalah mengapa negara-negara Skandinavia unggul dalam hampir segala hal (ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan lain-lain) dibandingkan penghuni Bumi yang lain?

Dalam film dokumenter Where to Invade Next, Michael Moore berkelana ke berbagai tempat di dunia untuk belajar, “mewakili” Amerika Serikat yang, menurut dia, malah sibuk meratakan negeri-negeri lain alih-alih bertukar kebaikan. Pada satu bagian, Moore yang datang ke Finlandia untuk mencari tahu resep rahasia pendidikan mereka, berkata kepada tuan rumah yang menerimanya: puisi telah ditendang dari kurikulum sekolah Amerika Serikat karena dianggap tidak berguna.

Menyebut tanggapan orang-orang Finlandia itu sekadar “tampak terkejut” tentu tak memadai. Salah seorang di antara mereka, Menteri Pendidikan Finlandia, terjelengar. Ada kesan iba mendalam sekaligus horor terpancar dari mata dan wajahnya yang jadi kaku sewaktu mengetahui bahwa di dunia ini ada bangsa yang sedemikian tak peduli terhadap hal-hal yang membuat manusia jadi manusia, hal-hal yang bangsa mereka justru utamakan dalam pendidikan.

Berbeda dari dolar Amerika Serikat yang hampir setiap pecahannya bergambar politikus laki-laki bertampang gila hormat—sebagian bahkan masih memakai rambut palsu, wajah-wajah pada markkaa Finlandia adalah milik anak-anak terbaik bangsa itu dalam pelbagai bidang: Paavo “Flying Finn” Nurmi, atlet maraton juara Olimpiade; komposer Jean Sibelius; arsitek Alvar Aalto; padri Lutheran dan ahli bahasa Mikael Agricola; dan novelis Väinö Linna.

Bergeser sedikit, Norwegia, yang selalu punya kebanggaan khusus terhadap kesusastraan nasionalnya, bisa dan telah mencetak lebih banyak wajah pengarang ketimbang Finlandia di atas krona, mata uang mereka. Apa boleh buat, Norwegia punya Henrik Ibsen. Mereka punya tiga orang pemenang Nobel Kesusastraan: Bjørnstjerne Bjørnson (1903), Knut Hamsun (1920), dan Sigrid Undset (1928). Dan selain Hamsun yang pilihan politiknya ngawur, potret pengarang-pengarang besar itu telah beredar dalam lembaran krona Norwegia.

Pada 1990an, bank sentral Inggris mencetak gambar wajah Charles Dickens di lembaran 10 pound. Dan tahun depan, giliran Jane Austen yang akan tampil. Ia akan menjadi perempuan bukan ratu pertama di negeri itu yang tampangnya digandakan sebagai uang.

Sementara itu, di seberang selat, orang-orang Irlandia pernah membawa James Joyce dalam dompet masing-masing, dengan hati penuh rasa bangga, perut penuh minuman keras, dan mulut penuh keterangan 'the scrotumtightening' yang siap mereka tempelkan pada apa saja.

Daftar di atas tentu masih dapat berlanjut, tapi sudah saatnya ganti persneling.

Gambar pada Uang Sebagai Identitas

Pada 18 Juni 2015, di Chicago Tribune, Mary Schmich bertanya: “Apa, sih, pentingnya gambar orang pada uang?” Ya, mengapa bukan gambar pizza atau blangwir atau cotton-bud bekas pakai?

“Karena orang mewakili cerita,” ia menjawab sendiri pertanyaan itu. “Lewat kisah-kisah individual yang orang-orang itu bawa, kita bisa memahami kisah kolektif kita yang lebih besar.”

Schmich kemudian mengutip Jacob Lew, sekretaris Perbendaharaan Negara Amerika Serikat, “Mata uang kita adalah cara negara ini membuat pernyataan tentang siapa kita sesungguhnya dan tentang hal-hal yang kita perjuangkan.”

Si polymath jenius Benjamin Franklin tentu merupakan "pernyataan" yang hebat dari dan mengenai Amerika Serikat, demikian pula Abraham Lincoln. Tapi, ke manakah tokoh-tokoh penting perempuan negeri itu yang bukan istri si anu atau si itu? Mengapa penulis-penulis agung yang mengumumkan identitas Amerika Serikat, katakanlah Walt Whitman atau Allen Ginsberg, absen?

Mungkin salah satu jawabnya ialah aduan Michael Moore kepada orang-orang Finlandia.

Sedangkan di Indonesia, hari ini, Sekretaris Kabinet mengumumkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 31 Tahun 2016 tentang Penetapan Gambar Pahlawan Nasional Sebagai Gambar Utama Pada Bagian Depan Rupiah Kertas dan Rupiah Logam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain Soekarno-Hatta untuk pecahan 100 ribu, gambar-gambar pada seluruh pecahan uang kertas dan logam akan berganti.

I Gusti Ngurah Rai pada pecahan 50 ribu akan digantikan oleh Djuanda Kartawidjaja, Sam Ratulangi menggantikan Otto Iskandardinata pada pecahan 20 ribu, Imam Bonjol di pecahan 5 ribu akan digantikan K.H. Idham Chalid, dan sebagainya.

Sukar sekali untuk tak menyamakan perubahan itu dengan pergantian pemain dalam pertandingan antar kelab sepakbola anak-anak beriuran. Pelatih memberikan semua anak kesempatan masuk lapangan hanya supaya ia terhindar dari amuk orangtua, sumber penghasilannya. Maka, kesan yang timbul: ini cuma soal pemenuhan keterwakilan golongan dan tak ada visi besar di belakangnya.

Tapi, memangnya, pernyataan apa, sih, yang mesti negara tampilkan lewat gambar-gambar pada lembaran rupiah? Siapa kita sebenarnya dan apa sajakah hal yang kita anggap penting? Kisah kolektif macam apa yang hendak kita susun?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara tepat tentu perlu upaya serius.

Kita bisa mulai dengan mempelajari sejarah. Mula-mula secara sederhana saja: mempelajari album mata uang Indonesia secara lebih teliti. Sebagai pengantar, bolehlah kita gunakan tiga contoh pecahan lintas zaman yang populer: pecahan 5 rupiah keluaran 1957, pecahan 500 rupiah keluaran 1992, dan pecahan 50 ribu rupiah keluaran 1993 dan 1995.

Dan inilah gambar-gambar pada tiap pecahan itu, sesuai urutan: monyet, orangutan, dan Suharto. Sayangnya, saya gagal mencari hubungan, baik kemiripan maupun kontinuitas, di antara ketiga gambar itu. Berhasilkah Anda?

Baca juga artikel terkait KEPPRES atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti