Menuju konten utama

Pendidikan di Era AI: Siapkah Anak Indonesia Menghadapinya?

Penerapan AI dikhawatirkan semakin mempertebal persoalan ketidaksetaraan akses pendidikan. Benarkan demikian?

Pendidikan di Era AI: Siapkah Anak Indonesia Menghadapinya?
Header Decode AI dan Masa Depan Pendidikan Anak Indonesia. tirto.id/Fuad

tirto.id - Meluasnya penggunaan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di kalangan pelajar dan mahasiswa mengubah wajah pendidikan dalam waktu singkat. Selain menjawab segelintir masalah, maraknya pemanfaatan AI juga memunculkan pertanyaan: bagaimana implikasi AI bagi masa depan pendidikan anak-anak Indonesia?

AI memang satu sisi punya potensi cemerlang bagi kesejahteraan anak-anak. Chief Operating Officer Save the Children, Aleksander Dardeli, dalam tulisannya di laman Forum Ekonomi Dunia (WEF), menyebut bahwa teknologi ini bisa memberikan berbagai manfaat—mulai dari terobosan di bidang kesehatan dan pengobatan, hingga peningkatan capaian belajar siswa.

“Dengan membantu manusia memprediksi bencana alam atau krisis buatan manusia dengan lebih akurat, AI juga dapat membantu lebih banyak anak mencapai usia dewasa dan menjalani kehidupan yang lebih aman,” tulis Dardeli.

Akan tetapi, meski berfaedah, penggunaan AI juga menyimpan risiko serius bagi anak-anak dan masa depan umat manusia. Teknologi ini menuntut konsumsi sumber daya besar—seperti air, listrik, serta mineral langka—dan menghasilkan limbah yang bisa membahayakan lingkungan.

“Selain itu, kesenjangan digital antara masyarakat perkotaan dan pedesaan, baik di negara maju maupun berkembang, sudah sangat mencolok,” begitu bunyi potongan paragraf berikutnya.

Ambisi Tiongkok Kuasai AI

Ambisi Tiongkok Kuasai AI. foto/istockphoto

Bukan tanpa data pendukung, perihal kesenjangan digital itu juga nampak kentara di negeri ini. Pada 2023 misalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa proporsi pengguna internet di pedesaan lebih rendah ketimbang di perkotaan.

Persentase penduduk usia 5 tahun ke atas yang pernah mengakses internet tiga bulan terakhir di perkotaan diketahui mencapai 76,30 persen, sedangkan di pedesaan hanya 59,33 persen. Dengan begitu, penerapan AI dikhawatirkan semakin mempertebal persoalan ketidaksetaraan akses pendidikan.

Pendek kata, AI kemungkinan hanya dapat diimplementasikan secara efektif di sekolah-sekolah yang memiliki akses internet dan perangkat yang memadai, dan meninggalkan sebagian besar siswa di daerah dengan infrastruktur terbatas. Jika manusia semakin bergantung dengan alat ini, AI khususnya AI generatif (Gen AI) pun dianggap bisa mengikis kemampuan berpikir kritis.

Belum lagi bias data dalam AI yang genting menjadi perhatian. Sistem AI, seperti model pembelajaran mesin, belajar untuk melakukan tugas-tugas dari data yang digunakan untuk melatihnya. Ketika model-model ini mengandalkan algoritma yang bias, mereka dapat memperkuat ketidaksetaraan yang ada dan memicu diskriminasi gender dalam AI, seperti dalam konteks ini misalnya ChatGPT.

Di saat yang bersamaan, saat siswa mengandalkan teknologi ini tanpa mempertanyakan atau dibekali rasa skeptisisme, maka mereka berisiko menginternalisasi bias nilai itu. Apabila dibiarkan, generasi ke depan justru tak punya pola pikir maju, alias terjebak dalam pandangan patriarkis atau tak setara.

Pelajar Gunakan AI dalam Menyelesaikan Tugas

Teknologi AI dalam dunia pendidikan ibarat gajah berada di pelupuk mata, alias semakin terbuka dan mudah aksesnya. Jika di masa lampau siswa bersikeras merangkum artikel dengan membaca saksama, mereka kini bisa memohon bantuan ChatGPT. Dalam kedipan mata, rangkuman itu sudah tersaji di depan layar gawai atau laptop.

Seperti halnya survei global yang menemukan bahwa 86 persen mahasiswa sarjana, magister, dan doktor menggunakan perangkat kecerdasan buatan dalam tugas sekolah mereka, tren pemanfaatan AI di kalangan pelajar dan mahasiswa di Indonesia pun tak jauh berbeda.

Hasil survei yang dilakukan Tirto bersama Jakpat selama 21-27 Mei 2024 mengungkap, dari 1.501 responden pelajar berusia 15-21 tahun (tingkat SMA dan mahasiswa), sebanyak 86,21 persen mengaku menggunakan bantuan AI seperti ChatGPT, setidaknya sekali dalam sebulan, untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

Hanya ada sekira 13,79 persen yang mengaku tidak pernah menggunakan AI sama sekali untuk mengerjakan tugas sekolah ataupun kuliah. Sebagai informasi, sebaran responden yang terlibat dalam jajak pendapat ini merentang dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Meski, mayoritas masih berasal dari Pulau Jawa (68,09 persen).

Dari keseluruhan responden, sebanyak 44,04 persen merupakan pelajar SMA dan hampir 56 persen adalah mahasiswa. Proporsi antara laki-laki dan perempuan cukup seimbang, yakni 46,77 persen dibanding 53,23 persen.

Dalam hal jenis tugas yang dikerjakan dengan bantuan AI, mayoritas responden bilang mereka memanfaatkan AI untuk merangkum artikel atau jurnal. Selain itu, banyak pula yang menggunakannya untuk menulis esai atau makalah, mencari informasi, hingga menerjemahkan teks.

Hasil jajak pendapat ini juga memperlihatkan, ada sekitar 24,11 persen responden yang menggunakan bantuan AI untuk mengerjakan tugas matematika ataupun statistik. Menariknya, dari 1.294 responden yang mengaku menggunakan AI untuk mengerjakan tugas, 51 persen mengatakan hampir setengah tugasnya dikerjakan dengan bantuan AI.

Jika mencoba menengok kondisi di Amerika Serikat (AS), pandangan terkait dampak kemajuan AI terhadap sistem pendidikan K-12 (dari taman kanak-kanak hingga SMA) tampak terbagi, antara menganggap AI punya dampak negatif dan positif terhadap pendidikan. Meski demikian, persepsi ini didominasi oleh anggapan bahwa AI lebih berdampak negatif.

Temuan survei YouGov periode 13 - 20 April 2023 menyingkap, orang dewasa muda Amerika jauh lebih optimis mengenai dampak AI pada pendidikan dasar dan menengah, dibandingkan orang Amerika yang lebih tua.

Orang dewasa di bawah usia 30 tahun cenderung mengatakan AI akan berdampak positif (39 persen) ketimbang berdampak negatif (22 persen) pada pendidikan K-12. Sementara orang berusia 65 tahun ke atas, dua kali lipat mengatakan dampaknya lebih mungkin akan negatif (44 persen), daripada positif (18 persen).

Menyoal bagaimana sekolah K-12 harus menanggapi kemajuan AI, dari 1.000 responden warga Amerika yang terlibat dalam survei mengatakan, sekolah harus fokus pada "mengajarkan siswa cara menggunakan AI dengan tepat" (52 persen). Proporsi responden yang bilang sekolah harus fokus "mencegah siswa menggunakan AI" hanya mencapai 24 persen, dan dengan persentase yang sama mengaku tidak yakin.

“Meskipun orang dewasa muda lebih optimis terhadap AI di sekolah, mereka lebih cenderung mendukung pencegahan penggunaan AI oleh siswa daripada orang Amerika yang lebih tua,” tulis YouGov dalam temuannya.

Dari segi tenaga pendidik, meski sebagian guru sudah ikut memanfaatkan AI dalam proses pembelajaran, sekitar seperempat guru di sekolah negeri AS tingkat TK–SMA, justru merasa penggunaan AI di pendidikan malah lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.

Menurut survei Pew Research Center yang dilakukan pada musim gugur 2023, sekitar sepertiga (32 persen) responden guru mengatakan AI ada campuran manfaat dan kerugian yang hampir sama, sementara hanya 6 persen yang mengatakan manfaatnya lebih banyak daripada kerugiannya. Lalu sebanyak 35 persen lainnya mengatakan mereka tidak yakin.

“Guru sekolah menengah atas lebih condong memiliki pandangan negatif tentang perangkat AI dalam pendidikan dibandingkan guru sekolah dasar dan menengah pertama. Sekitar sepertiga guru sekolah menengah atas (35 persen) mengatakan perangkat ini lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat. Sekitar seperempat guru sekolah menengah pertama (24 persen) dan 19 persen guru sekolah dasar mengatakan hal yang sama,” bunyi hasil surveinya.

Perlu Pendekatan Komprehensif dan Berbasis HAM

Mengingat fungsi pendidikan sebagai pelindung sekaligus untuk memfasilitasi pengembangan dan pembelajaran, maka ia pun punya kewajiban khusus untuk benar-benar memahami risiko AI, baik risiko yang diketahui maupun risiko yang baru terlihat.

Semua pihak yang terlibat dalam implementasi AI dalam pendidikan harus didorong untuk memanfaatkannya secara bertanggung jawab. Dengan kata lain, pendidik maupun siswa harus dipastikan dapat menavigasi lanskap yang terus berkembang sambil menumbuhkan pemikiran kritis, kemampuan beradaptasi, dan kesadaran etis.

Kepala Bagian Inovasi Pendidikan dan Pengembangan Keterampilan di Kantor Regional UNESCO di Bangkok, Thailand, Dr Libing Wang, menyatakan beberapa tantangan penerapan AI dalam pendidikan di negara-negara Asia-Pasifik, diantaranya kesenjangan digital, risiko bias, dan kompetensi guru.

Oleh karenanya, ia menggarisbawahi urgensi menciptakan akses inklusif dan implementasi AI generatif yang adil dalam pendidikan di negara-negara Asia-Pasifik.

"Negara-negara di kawasan Asia-Pasifik memiliki tingkat kesiapan yang berbeda untuk mengintegrasikan AI ke dalam pendidikan. Sementara beberapa negara seperti Tiongkok dan Singapura telah menetapkan kebijakan dan pedoman 'AI dalam Pendidikan', negara-negara lain masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dasar. Untuk mencapai adopsi AI yang meluas, negara-negara tidak hanya membutuhkan kerangka kebijakan tetapi juga infrastruktur TI yang andal, akses internet, dan pelatihan guru," kata Wang, seperti dinukil dari situs UNESCO.

Ilustrasi Clearview AI

Ilustrasi Clearview AI. FOTO/iStockphoto

Salah satu tantangan yang disebut Wang berkaitan dengan bias yaitu lokalisasi. Sebab, sebagian besar model AI generatif dikatakan dilatih dengan data dari negara-negara Barat, yang dapat menyebabkan kurangnya relevansi kontekstual dan budaya di Asia-Pasifik, atau bahkan bias rasial dan gender yang dapat mengondisikan pola pikir generasi mendatang.

Dengan begitu, mengintegrasikan kurikulum yang berfokus pada AI untuk sekolah dan mengadvokasi penyertaan komponen AI dalam pendidikan guru, punya tujuan untuk memperkenalkan AI dan memastikan pendidik memiliki keterampilan digital dan literasi AI yang diperlukan untuk memandu keterlibatan siswa yang bertanggung jawab dan etis dengan alat AI generatif.

“Potensi AI generatif dalam pendidikan sangat signifikan tetapi memerlukan pendekatan yang komprehensif, bernuansa, dan berbasis hak asasi manusia di Asia-Pasifik. Dengan menyeimbangkan pengembangan kebijakan, penelitian mutakhir, peningkatan infrastruktur teknologi, pelatihan guru, dialog sosial, dan upaya lokalisasi budaya, kita dapat berhasil mengintegrasikan AI generatif dalam lingkungan pendidikan,” ujar Wang.

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Decode
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fina Nailur Rohmah