tirto.id - Tak cuma untuk membantu menggarap pekerjaan rumah (PR), Nasich (31) berkeluh, para siswanya terkadang memanfaatkan ChatGPT saat melangsungkan diskusi di kelas. Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sebuah Madrasah Aliyah (MA) di Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, ini mencontohkan bagaimana siswanya bergantung pada AI ketika diminta menganalisis keteladanan sahabat Nabi.
Padahal, ia selalu mengingatkan kepada anak didiknya untuk tak menggunakan teknologi akal imitasi (Artificial Intelligence/AI), spesifiknya ChatGPT. Akan tetapi, ketimbang memilih menurut, para siswa itu memanfaatkan segala cara dan alasan untuk mengintip gawainya dan berselancar di ChatGPT.
Nasich sebenarnya seringkali memperbolehkan peserta didiknya untuk melakukan penelusuran Google jika membutuhkan data, tapi mereka memilih AI lantaran dianggap lebih sigap merespons.
“Kalau misalkan cari di internet kan biasanya pakai Google dan sebagainya gitu. Nggak harus pakai AI. Nanti dari Google bisa disaring, untuk hasil temuan-temuannya itu tadi, nanti bisa dirangkum,” tutur Nasich menjelaskan alasan lebih memilih penelusuran Google untuk pembelajaran, Selasa (3/6/2025).

Pada akhirnya, ia kerap memutar otak dan mengasah kreativitas agar para siswanya tak hanya mengandalkan ChatGPT. Salah satu yang dilakukan Nasich yakni menghindari pertanyaan “mengapa” saat memberi pertanyaan ke muridnya.
“Kalau misalnya soalnya 'mengapa sahabat ini’, mengapa dan sebagainya, nanti kan akhirnya jadi bisa cari di AI. Kalau misalnya, dalam artian (soalnya) 'buatlah', itu kan nanti anak-anak arahnya jadi mengarang sendiri, pakai pemikiran dia. Jadi, kadang-kadang saya juga seperti itu,” sambung Nasich.
Meskipun soal yang diberikan sudah berbentuk analisis, menurutnya, peserta didiknya pun tak jarang dijumpai menggunakan AI. Namun begitu, karakter siswa ini bergantung pada kelas tertentu dan kemampuan setiap muridnya. Sebab, ada juga anak-anak yang bisa menyajikan data akurat dari berbagai sumber di internet.
Kendati Nasich cenderung membatasi penggunaan AI kepada siswanya, ia bukan berarti anti terhadap teknologi ini dan menganggap AI “sepenuhnya negatif”. Ia mengaku bahkan turut memanfaatkan ChatGPT sebagai alat bantu menyusun lembar kerja siswa.
Hal serupa turut diungkap Juniarto (37), sebagai guru mata pelajaran Biologi, di salah satu SMA swasta di Rawamangun, Jakarta Timur. Menurutnya, AI bukanlah musuh, melainkan fasilitas. Sebab, kata Juniarto, AI pun tak akan bisa memberikan informasi jika kita tak paham apa yang ingin ditanyakan.
Sama seperti Nasich, Juniarto pun terkadang menggunakan ChatGPT, untuk mencari referensi metode pembelajaran yang menarik untuk siswa. Seperti contoh, bagaimana mengajarkan sistem gerak tak cuma pakai power point, gambar-gambar, video, dan praktikum.

Meski anak didiknya dinilai tak terlalu bergantung pada ChatGPT, Juniarto tetap memikirkan ide-ide transformatif terkait soal ujian atau PR. Ia mengaku kini lebih sering menggunakan tes lisan ataupun tes menggunakan kertas, atau paper-based test.
“Saya lebih memilih nge-print soal. Selembar, dua lembar gitu ya. Terus mereka akan mengerjakan di kertas itu. Pakai tulisan tangannya dia sendiri. Walaupun dia dapat informasinya, jawabannya dari ChatGPT, dari Googling, dari buku, dari mana-mana, tapi dia harus menuliskan itu pakai pemahamannya dia sendiri, di kertas itu sih,” kisah Juniarto lewat sambungan telepon, Rabu (4/6/2025).
Juniarto sendiri tidak pernah melarang siswanya gunakan AI dan justru mempersilakan anak didiknya untuk memanfaatkan ChatGPT. Hal itu lantaran para siswanya selama ini hanya menggunakan alat itu sebagai referensi, meski pernah pula Juniarto menjumpai muridnya yang langsung mengunggah foto soal biologi bergambar ke ChatGPT.
“Kalau misalkan mau dapetin data yang lebih banyak lagi, ya udah, lihat ke buku. [Mereka] balik lagi ke buku ujung-ujungnya. Karena ChatGPT, Googling itu tidak selengkap atau se-mengalir buku, gitu,” tutur Juniarto.
Apresiasi dan Bangun Kepercayaan Diri Siswa Jadi Kunci
Juniarto dan Nasich sudah memberi gambaran bagaimana AI tak cuma mendisrupsi cara belajar siswa, tapi juga cara menyampaikan materi ke siswa. Di tengah gempuran perkembangan teknologi, tantangan para pendidik seperti tak berkesudahan. Seperti longlife learner, guru mesti terus menerus belajar agar tak tertinggal dan nihil pengetahuan.
Pengamat pendidikan dan rektor Institut Media Digital EMTEK, Totok Amin Soefijanto, menyatakan para pendidik perlu melatih muridnya untuk melihat kekurangan AI atau ChatGPT. Dalam artian, menunjukkan kepada mereka bahwa teknologi AI hanya sebagai pendukung, seperti halnya kalkulator.
Totok bilang, para guru atau dosen harus lebih tahu, lebih bijak, dan lebih teliti. Masalahnya, menurut dia, masih banyak guru yang gagap dalam menggunakan teknologi. Totok justru mendorong pendidik untuk tidak melarang penggunaan AI kepada para anak didiknya.
“Saya juga misalnya nyuruh mahasiswa, oke kamu presentasi bab ini ya, dia akan bikin persis. Kalau kita sudah terbiasa, (kita akan bilang) ‘ini kamu yang bikin AI ya’. ‘Kamu sendiri mana, nggak sempat Pak, karena baru semalam bikin’. Di situ bisa disadarkan, bahwa ini kalau kamu tergantung AI, kamu ngerti nggak apa yang diomongin AI?” tutur Totok menceritakan pengalamannya mengajar kepada Tirto, Selasa (3/6/2025).
Ia menekankan pada pendidik untuk mengapresiasi pemikiran orisinal siswa dan tidak meremehkan pendapatnya. Sebab, persoalan marak menggunakan AI ini disebut terjadi lantaran kepercayaan diri murid yang tergerus oleh teknologi. Dengan diberikan apresiasi, para murid bakal lebih punya keyakinan terhadap dirinya.
Di sisi lain, menurut Totok, pendidik juga harus bisa mengasah rasa penasaran dan kemampuan berpikir kritis. Dari situ, guru bisa berefleksi dan menghasilkan ide-ide kreatif.
“Saya nggak setuju kalau teknologi itu ditaruh di luar ruang kelas. Teknologi itu harus masuk di dalam kelas. Harus diperkenalkan sedini mungkin. Tetapi tentu saja dengan pendidik yang siap, yang terlatih dengan baik, kompetensinya bagus. Itu baru aman,” sambung Totok.
Diskusi perihal AI memang terlalu banyak dititikberatkan ke siswa atau murid, daripada guru. Padahal, menurut Kepala Divisi Riset di Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada, Hafiz Noer, salah satu pondasi utama persoalan ini adalah penguatan kapasitas guru untuk memahami apa itu AI.
Apalagi, pemerintah telah melontarkan wacana untuk menerapkan kurikulum AI di sekolah jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK, mulai tahun ajaran baru nanti. AI dan koding disebut bakal menjadi mata pelajaran pilihan di sekolah.
“Ini yang minus di strategi kita dalam merancang kurikulum AI. Ketika gurunya sudah mengerti, baru akan lebih mudah untuk bisa mengajarkan AI, atau bahkan mewanti-wanti penggunaan AI di pendidikan,” kata Hafiz saat dihubungi Tirto, Selasa (3/6/2025).
Terlepas dari itu, kata Hafiz, kesenjangan internet antara daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia masih tinggi, jika negara ini menerapkan AI di pendidikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2023 proporsi pengguna internet di pedesaan lebih rendah ketimbang di perkotaan.
Persentase penduduk usia 5 tahun ke atas yang pernah mengakses internet tiga bulan terakhir di perkotaan diketahui mencapai 76,30 persen, sedangkan di pedesaan hanya 59,33 persen.
“Menurut saya nggak usah muluk-muluk, dengan adanya penguatan bidang-bidang STEM itu sudah sangat cukup membantu, sebelum kita menuju ke kurikulum AI. Dan juga rumpun ilmu sosial juga tidak bisa dianak-duakan, dianaktirikan. Karena kalau kita mau lihat AI, kita juga harus bisa melihatnya dari fenomena sosialnya. Dampak sosialnya apa, bagaimana diskursus sosial itu bisa mengkomplemen diskursus teknis dari AI. Menurut saya itu juga menjadi fokus kalau kita bicara kurikulum AI,” tutur Hafiz.
Tak cuma dikuatkan, mendorong perempuan di bidang Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM) pun menjadi urgen. Data Statista 2024 menunjukkan bahwa di seluruh dunia, jumlah laki-laki yang bekerja di bidang STEM lebih banyak ketimbang perempuan di semua industri.
Di bidang teknologi, informasi, dan media misalnya, tercatat hanya ada 22,2 persen perempuan yang bekerja di bidang STEM. Ketimpangan semacam ini bisa menyebabkan bias teknologi, dalam hal ini AI dan AI generatif seperti ChatGPT.
Pemerintah Jangan Bikin Kebijakan Ketat dan Rumit
Selaras dengan Totok, Hafiz pun mendorong tenaga pendidik untuk tidak antipati dalam AI, atau melarang penggunaan AI. Sebab, semakin dilarang, menurutnya mahasiswa atau siswa tentunya akan semakin ingin tahu apa itu AI.
Pondasi terkait etika penggunaan AI perlu diketatkan, dalam artian bukan sebagai regulasi yang ketat, melainkan sebagai panduan untuk menggunakan AI di dunia pendidikan.
“Etika ini bukan menghukum, tapi dia mengajak mahasiswa, anak didik, untuk inilah cara menggunakan AI, do's and don'ts-nya seperti apa. Saat ini etika penggunaan generatif AI di pendidikan tinggi sudah ada. Aturan-aturannya melalui Dirjen Dikti tahun 2024 lalu. Tapi sosialisasinya agak jarang. Karena banyak dosen misalnya belum mengetahui adanya sosialisasi etika penggunaan gen AI di pendidikan tinggi,” kata Hafiz.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sendiri mengatakan masih mengebut penyusunan regulasi kecerdasan buatan atau AI di Indonesia. Wakil Menteri Komdigi, Nezar Patria bilang, lembaganya sedang meninjau ulang rancangan aturan tersebut, serta berdiskusi dengan pemangku kepentingan dari berbagai lembaga.
“Masih proses (regulasinya), ada banyak perkembangan baru. Kami review dan diskusikan lagi dengan tim dan stakeholders,” kata Nezar, seperti dilaporkan Tempo, Rabu (23/4/2025).

Menurut Nezar, pemerintah menargetkan regulasi tersebut akan rampung pada kuartal III tahun ini. Dia menambahkan bahwa dinamika global, seperti munculnya agentic AI dan kecerdasan buatan yang semakin otonom, turut menjadi pertimbangan dalam proses penyusunan aturan ini.
Regulator ia sebut juga akan meninjau kondisi dan kesiapan ekosistem AI, seperti bagaimana AI diadopsi di berbagai sektor, semisal pendidikan, kesehatan, layanan keuangan, transportasi dan lain-lain.
Merespons soal perumusan regulasi AI ini, Totok menyatakan, pemerintah sebaiknya membuat kebijakan yang sederhana. Hal itu lantaran semakin kompleks kebijakan, maka pihak-pihak lain akan semakin bergantung kepada pemerintah dan tenaga pendidik bakal semakin tidak percaya diri.
“Tapi katakanlah misalnya kebijakannya itu adalah, Bapak Ibu sekarang ngajar dan pastikan Ibu memberikan apresiasi pada anak didik maupun mahasiswa bahwa karya dia lebih baik daripada AI. Misalnya, simpel kan? Turunannya silakan serahkan di lapangan, serahkan pada guru,” tutur Totok.
Menurutnya, kebijakan juga tidak bisa “tiba-tiba” dan terus menerus gonta-ganti. Misalnya, ada teknologi baru, lalu kemudian kebijakan yang lama dipotong.
Lebih jauh, Totok pun menekankan pentingnya pelatihan untuk menyamaratakan kompetensi guru. Akan tetapi, yang juga lebih penting, yakni pendampingan setelah pelatihan. Dengan begitu, para tenaga pendidik juga menceritakan kendala dan tantangan di lapangan.
“Jadi selama ini pelatihan itu seolah-olah dibikin, kalau saya latih pasti bagus. Enggak, harus dicek. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, bagaimana. Tidak hanya supaya gurunya bagus, tetapi merasa dicek, merasa diawasi, ataupun merasa dipimpin, itu perlu dimiliki oleh para guru,” kata Totok.
Pelatihan memanglah sebuah proses panjang, dan menumbuhkan ekosistem di kalangan guru pun bukan PR individual bagi guru itu sendiri, melainkan perlu kerja sama dan afirmasi dari multi sektor. Diskusi AI lagi-lagi perlu lebih menaruh perhatian kepada para pendidik, yang berjuang di garda depan untuk mencerdaskan generasi-generasi mendatang.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id





































