Menuju konten utama

Menimbang Untung Rugi Penerapan Kurikulum AI di Sekolah

Anak-anak barangkali memang seharusnya dilibatkan dalam diskusi terkait AI. Namun, perlukah sampai memasukkan AI ke kurikulum sekolah?

Menimbang Untung Rugi Penerapan Kurikulum AI di Sekolah
ANAK BELAJAR AI CODING. foto/istockphoto

tirto.id - Wakil Presiden (Wapres), Gibran Rakabuming Raka, berambisi agar kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) kian menyeluruh diadopsi di Tanah Air. Sudah beberapa kali Gibran menyuarakan optimisme terhadap AI, mulai dari dinilai bisa dimanfaatkan untuk mengurai kemacetan saat mudik, sampai meyakini bahwa AI bisa mengatasi banjir.

Gibran juga pernah menuturkan pada masyarakat agar tak menganggap AI sebagai ancaman. Sebab, katanya, AI tidak akan menggantikan tenaga manusia, melainkan platform penting untuk meningkatkan produktivitas. Gibran bilang kalau manusia yang memanfaatkan AI, mengalahkan manusia yang tidak menggunakan AI.

Tak berhenti di situ, dalam hal pendidikan, kurikulum AI bakal diterapkan di sekolah jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK, mulai tahun ajaran baru nanti. Wacana itu dilontarkan Gibran saat menyambangi Binus University, BSD, Tangerang Selatan, pada Jumat (2/5/2025) lalu.

"Beberapa hari lalu kita ratas [rapat terbatas], bertemu dengan Pak Menteri Pendidikan juga. Nanti di tahun ajaran baru kita mulai memasukkan kurikulum AI, pelajaran AI di SD, SMP, SMA, SMK juga," kata Gibran.

Wapres hadiri kuliah umum tentang kecerdasan buatan

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (tengah) memberikan sambutan pada Kuliah Umum Creative Job Opportunity with AI di Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Jumat (2/5/2025). Dalam sambutannya Wapres mengatakan kurikulum kecerdasan buatan (AI) akan mulai diterapkan pada tahun ajaran baru di berbagai jenjang pendidikan. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.

Anak-anak barangkali memang seharusnya dilibatkan dalam diskusi terkait AI. Menukil artikel Chief Operating Officer Save the Children, Aleksander Dardeli, di laman Forum Ekonomi Dunia (WEF), AI disebut punya potensi besar bagi anak-anak dan kesejahteraan mereka, dengan berbagai manfaat mulai dari kemajuan di bidang medis dan perawatan kesehatan, hingga hasil belajar yang lebih baik.

“Dengan membantu manusia memprediksi bencana alam atau krisis buatan manusia dengan lebih akurat, AI juga dapat membantu lebih banyak anak mencapai usia dewasa dan menjalani kehidupan yang lebih aman,” tulis Dardeli.

Meski begitu, terlepas dari manfaatnya, AI membawa risiko besar bagi anak-anak dan masa depan umat manusia secara keseluruhan. AI tidak hanya menghabiskan banyak air, listrik, dan mineral penting untuk beroperasi, tetapi juga memproduksi limbah berbahaya.

“Selain itu, kesenjangan digital antara masyarakat perkotaan dan pedesaan, baik di negara maju maupun berkembang, sudah sangat mencolok,” begitu bunyi potongan paragraf selanjutnya.

Bukan omong kosong, perihal kesenjangan digital itu juga nampak jelas di Indonesia. Pada 2023, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa proporsi pengguna internet di pedesaan lebih rendah ketimbang di perkotaan. Persentase pengguna internet di perkotaan diketahui mencapai 76,30 persen, sementara di pedesaan hanya 59,33 persen.

Memperlebar Jurang Ketidaksetaraan Pendidikan

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, berpendapat bahwa kesiapan infrastruktur Indonesia untuk mengimplementasikan AI dalam kurikulum, terutama dalam hal akses internet, masih jauh dari memadai dan menjadi kendala besar.

Menurutnya, mengimplementasikan kurikulum berbasis AI yang membutuhkan koneksi internet stabil dan memadai akan semakin memperlebar jurang ketidaksetaraan pendidikan. Bahkan di wilayah perkotaan, kata Ubaid, kualitas dan keandalan koneksi internet tidak selalu stabil.

“Pembelajaran AI yang seringkali membutuhkan akses ke sumber daya online, platform pembelajaran, dan pemrosesan data akan sangat terhambat oleh koneksi yang lambat atau terputus-putus,” tutur Ubaid saat dihubungi lewat aplikasi perpesanan, Selasa (6/5/2025).

Belum lagi implementasi AI dalam pembelajaran juga membutuhkan ketersediaan perangkat seperti komputer atau tablet yang memadai dan terhubung ke internet. Menurut Ubaid, ketersediaan perangkat ini masih menjadi masalah, terutama di sekolah-sekolah dengan anggaran terbatas dan di daerah-daerah terpencil.

Dengan begitu, kurikulum AI kemungkinan hanya dapat diimplementasikan secara efektif di sekolah-sekolah yang memiliki akses internet dan perangkat yang memadai dan meninggalkan sebagian besar siswa di daerah dengan infrastruktur terbatas.

“Mengalokasikan anggaran besar untuk implementasi AI tanpa memastikan ketersediaan infrastruktur yang merata akan menjadi inefisien dan tidak efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan,” kata Ubaid melanjutkan.

FYP Ubaid Matraji

FYP Ubaid Matraji. Tirto.id/Andhika Krisnuwardhana

Selain itu, Ubaid pun menyoroti soal kurangnya pemahaman konsep AI yang mendalam di kalangan tenaga pendidik. Sebagian besar guru di Indonesia saat ini disebut tidak memiliki latar belakang pendidikan atau pelatihan yang memadai dalam bidang AI. Mengajarkan konsep AI yang kompleks membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip dasarnya.

“Menambahkan materi AI ke dalam kurikulum tanpa memberikan dukungan dan sumber daya yang memadai dapat menambah beban kerja guru yang sudah tinggi,” lanjut Ubaid.

Ia mengatakan, memaksa implementasi AI ke dalam kurikulum saat kondisi literasi dan numerasi dasar siswa Indonesia masih memprihatinkan berpotensi menimbulkan kegagalan yang lebih besar. Pondasi yang lemah dalam literasi dan numerasi bakal menghambat siswa dalam memahami konsep AI yang seringkali melibatkan logika, matematika, dan pemikiran abstrak.

“Meskipun potensi AI dalam pendidikan tidak dapat diabaikan, mendesaknya integrasi AI ke dalam kurikulum sekolah, terutama sedini SD, saat ini kurang memiliki urgensi dan menghadapi tantangan infrastruktur dan kesiapan tenaga pendidik yang sangat besar. Prioritas utama sebaiknya tetap pada penguatan literasi dan numerasi dasar sebagai pondasi penting bagi pembelajaran di semua bidang, termasuk pemahaman konsep yang lebih kompleks seperti AI di masa depan,” kata Ubaid.

Implementasi AI dalam kurikulum oleh karenanya perlu dilakukan secara bertahap, terencana dengan matang, dengan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan kompetensi guru. Dan yang terpenting, perlu pula menyesuaikan kebutuhan dan kemampuan pemahaman siswa di setiap jenjang pendidikan.

Pendapat Psikolog

Psikolog Anak, Endang Widyorini, pun mengungkap soal pentingnya sekolah dalam menyediakan sarana prasarana jika kurikulum AI diterapkan. Dalam penyusunan kurikulum pun perlu memikirkan materi yang nyata, bukan hanya AI, sehingga pengembangan emosi dan sosial meningkat.

Hal itu lantaran dampak negatif pada emosi sosial anak dengan adanya ketergantungan pada gadget bisa bikin anak jadi kurang terampil bersosialisasi dan kurang mengembangkan kemampuan penyesuaian diri di dunia nyata.

“Perlu memperhatikan tentang pemahaman konsep dasar. Perlu pemantauan guru dan orang tua demi kesehatan fisik dan mental,” tutur Endang kepada Tirto, Selasa (6/5/2025).

Anak-anak sebetulnya dapat belajar secara efektif dari AI, selama AI dirancang dengan mempertimbangkan “prinsip-prinsip pembelajaran”. Hal itu diungkap oleh penelitian Ying Xu, Asisten Profesor di Harvard Graduate School of Education.

Risetnya mencoba mengembangkan dan menguji pendamping AI yang melibatkan anak-anak selama beraktivitas, seperti membaca buku, menonton televisi, dan mendongeng. Untuk mempermudah, bayangkan seorang anak kecil membaca buku bergambar bersama orang tuanya.

“Dan dalam penelitian saya, seorang pembicara pintar berperan untuk menirukan peran tersebut, membacakan cerita dengan suara keras dan berhenti sejenak untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan seperti masalah yang dihadapi karakter, apa yang dirasakan karakter, lalu apa yang menurut anak akan terjadi selanjutnya. Dan AI mendengarkan respons anak dan memberikan petunjuk kecil, seperti yang dilakukan pengasuh atau guru jika anak membutuhkan bantuan,” ungkap Ying Xu.

Ambisi Tiongkok Kuasai AI

Ambisi Tiongkok Kuasai AI. foto/istockphoto

Temuan studinya yakni anak-anak yang terlibat dalam dialog interaktif dengan AI lebih memahami cerita dan mempelajari lebih banyak kosakata, dibandingkan dengan mereka yang hanya mendengarkan cerita secara pasif. Dalam beberapa kasus bahkan perolehan pembelajaran dari interaksi dengan AI sebanding dengan yang diperoleh dari interaksi manusia.

“Saya punya peringatan di sini. Jadi, meskipun penelitian menunjukkan manfaat pembelajaran dari AI, penting untuk diingat bahwa AI tidak dapat sepenuhnya meniru manfaat unik dari percakapan nyata dengan orang lain,” lanjutnya.

Sebab bagaimanapun juga, percakapan bukan hanya tentang bertukar informasi, melainkan tentang membangun hubungan. Aspek-aspek tersebut sangat penting untuk perkembangan anak-anak.

Senada dengan Ubaid, Dosen Fakultas Teknologi Informasi Monash University Indonesia, Arif Perdana, menegaskan pembelajaran AI harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif anak. Di jenjang SD misalnya, pendekatan bisa dilakukan lewat coding unplugged dan permainan logika, serta tidak perlu koding atau menggunakan komputer.

“SMP dapat mulai mengenal program visual seperti Scratch. SMA bisa belajar dasar Python dan membahas kasus nyata, misalnya, AI digunakan dalam aplikasi belajar yang menyesuaikan materi sesuai performa siswa,” kata Arif saat dihubungi jurnalis Tirto, Selasa (6/5/2025).

ANAK BELAJAR AI CODING

ANAK BELAJAR AI CODING. foto/istockphoto

Satu aspek yang tidak kalah signifikan dalam mengiringi pembelajaran AI adalah perihal etika dan dampak sosialnya. Menurut Arif, hal ini diperlukan agar siswa tidak hanya bisa membuat teknologi, tetapi juga mempertanyakan dampaknya.

“Ini bisa dilakukan melalui metode interaktif: role-playing (siswa sebagai pengembang AI di rumah sakit), proyek kelompok (dampak AI di media sosial), atau debat (apakah AI boleh memantau perilaku siswa),” sambung Arif.

Integrasi kurikulum bisa dilakukan melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), atau sastra, dengan modul khusus tentang privasi, bias algoritmik, dan dampak otomatisasi.

Kegiatan ini juga bisa dikaitkan dengan nilai lokal seperti gotong royong, misalnya, lewat proyek pelestarian budaya dan bahasa berbasis AI. Maka, dalam pengimplementasiannya, kata Arif, guru perlu pelatihan untuk memfasilitasi diskusi etika, misalnya dengan sumber kredibel di Internet. Di level SMA, siswa bisa membuat chatbot edukatif dan mendiskusikan risiko privasi, bias, dan dampaknya terhadap tenaga kerja.

“Intinya perlu pendekatan yang menekankan mindful innovation, siswa diajak berpikir reflektif, inklusif, dan responsif dalam setiap inovasi AI. Dengan demikian, pendidikan AI di Indonesia tidak hanya menghasilkan generasi yang teknologinya canggih, tetapi juga memiliki kesadaran etis dan kepekaan sosial dalam menghadapi tantangan global dan lokal,” tutup Arif.

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang