tirto.id - Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 yang dirayakan setiap 3 Mei diselimuti suasana muram. Di Indonesia, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massif menyapu ruang redaksi media. Tren ini bukan fenomena baru, namun kecepatannya mengejutkan. Menuju paruh pertama 2025 saja, badai PHK terhadap karyawan–termasuk jurnalis–industri media, terus santer terdengar.
Sebagaimana kabar PHK baru-baru ini di sejumlah media seperti SEA Today, Kompas TV, CNN Indonesia, hingga TvOne. Pada tahun lalu, juga sempat ramai kabar PHK karyawan media ANTV, Net TV, serta Republika. Tentu masih banyak yang lainnya, dan memang tak semua perusahaan media membuka informasi mengenai kabar PHK di internal mereka.
Setidaknya Dewan Pers mencatat, sepanjang 2023-2024, tidak kurang dari 1.200 karyawan perusahaan pers–termasuk jurnalis–terimbas PHK. Dewan Pers menilai, iklim usaha industri pers memang sedang tidak dalam kondisi menguntungkan. Pasalnya, media massa tak lagi menjadi sumber utama masyarakat menemukan berita. Kini, sekitar 75 persen iklan nasional perusahaan pers diambil alih oleh platform digital global dan media sosial.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, menyatakan memang terdapat kabar terkait PHK di sejumlah media tahun ini, namun pihaknya belum memiliki data konkret kasus PHK di perusahaan media periode 2025. Persoalannya, banyak jajaran awak media lebih suka menyelesaikan kasus PHK secara bipartit dan internal.
“Mereka baru akan melapor ke AJI bila ada sengketa. Sementara AJI baru bisa melakukan advokasi sengketa ketenagakerjaan bila ada laporan,” kata Nany kepada wartawan Tirto, Senin (5/5/2025).
Untuk 2024, setidaknya terjadi beberapa laporan PHK di perusahaan media yang ditangani AJI. Misal, Nany mencontohkan, kasus ketenagakerjaan di CNN Indonesia yang berawal dari dugaan pemotongan upah sepihak oleh manajemen. Sengketa hubungan industrial berlanjut ketika pekerja CNN mendeklarasikan pembentukan serikat pekerja. Usai deklarasi, anggota Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI) menerima surat PHK sepihak.
Kasus lainnya, sengketa ketenagakerjaan di PT Portal Media Nusantara (Pinusi.com) yang bermula dari proses perekrutan pekerja tanpa perjanjian atau kontrak. Di tengah jalan, manajemen perusahaan memutus hubungan kerja dengan alasan kehadiran dewan redaksi yang berseberangan dengan perusahaan. Atas peristiwa ini, sejumlah pekerja diminta tidak lagi bekerja.
AJI juga masih mengawal kasus PT Era Media Informasi (Gatra) yang memproduksi Majalah Gatra. Perusahaan ini memutuskan tutup sejak 31 Juli 2024. Saat penutupan, ada janji hak pekerja dan kewajiban karyawan yang akan diselesaikan. Beberapa bulan usai operasi, AJI menerima kabar bahwa terdapat karyawan yang menuntut upah dan pesangonnya. Kasus Gatra saat ini, kata Nany, tengah didampingi oleh LBH Pers.
Nany menegaskan, gelombang PHK pada perusahaan pers terus meningkat setiap kuartal, yang menandakan krisis struktural dalam bisnis media. Namun terpenting, masyarakat juga harus lebih kritis melihat bahwa PHK merupakan persoalan kondisi media yang melemah. Fenomena ini berimbas terhadap melemahnya demokrasi di Indonesia.
“Media adalah pilar keempat demokrasi. Banyaknya PHK bisa berarti pengawasan media dan jurnalis terhadap kekuasaan melemah, ruang publik kritis menyempit,” tegas Nany.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya PHK di industri media. Terutama disrupsi yang sebelumnya konvensional kini beralih menuju digital. Media konvensional memerlukan dana operasional yang tak sedikit dalam memproduksi berita. Sementara para pembaca kini bisa mendapatkan informasi gratis dan cepat via media sosial meski dengan tingkat kebenaran yang patut dipertanyakan.
Alasan lainnya, Nany menilai porsi iklan yang dulu mengalir ke media justru beralih ke media sosial, buzzer, hingga influencer. Padahal industri media selama ini masih menggantungkan hidup dari iklan untuk tetap bisa berproduksi.
Ditambah, kepercayaan publik kepada media mulai berkurang karena banyak perusahaan pers yang berafiliasi ke oligarki dan partai politik yang sarat kepentingan. Kondisi diperparah dengan perubahan perilaku audiens yang kemudian menjauh dari media.
Dan yang terakhir sekaligus ironi, masih belum ditemukan model bisnis media yang tepat di era digital. Terutama bisnis yang menguntungkan dengan tetap mengedepankan etika dan profesionalisme jurnalistik.
“Saya juga melihat media perlu mengembangkan skema berbasis komunitas, membership, hingga kolaborasi dengan pembaca, bukan sekadar mengejar trafik,” ujar Nany.
Tantangan Hadirnya AI
Senjakala industri media kian dekat dengan disrupsi teknologi kecerdasan buatan (AI) yang dapat mengguncang fondasi jurnalisme profesional. AI generatif, dengan kemampuannya menghasilkan teks, gambar, dan video secara otomatis, dapat mengubah lanskap produksi konten.
Media berbasis digital bahkan bisa memproduksi berita dalam jumlah besar dengan biaya minimal. Sayangnya, ini mengorbankan kualitas dan akurasi. Terlebih, teknologi AI juga berpotensi memperburuk penyebaran disinformasi.
Krisis ini tidak hanya berdampak pada keberlangsungan media, tetapi juga mengancam pilar demokrasi. Media massa sejatinya berperan sebagai penghubung antara pemerintah dan rakyat serta sebagai pengawas kekuasaan. Ketika peran pers yang independen melemah, fungsi kontrol sosial terhadap kekuasaan dapat tereduksi.
Wakil Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Suwarjono, menyatakan penggunaan AI dalam kerja-kerja industri media memang menjadi disrupsi ketiga yang tak kalah dahsyat. Kehadiran AI, kata dia, mampu mengubah cara memproduksi konten atau generate content, distribusi, hingga mengubah audiens dalam memperoleh informasi. Sayangnya, kehadiran AI belum disertai model monetisasi yang sepadan dengan biaya produksi.
“Namun harus diakui AI sangat membantu kerja-kerja awak media, baik pembuatan hingga memperkaya konten, editing teks hingga video, audio, sosial media, mengukur data, voice over, otomatisasi lainnya,” kata Suwarjono kepada wartawan Tirto, Senin (5/5).
Ia menambahkan, AMSI tengah menyusun riset untuk mengetahui kondisi perusahaan pers yang menjadi anggotanya. Meliputi riset terkait model bisnis media, jumlah karyawan, jumlah redaksi media, distribusi konten, monetisasi, platform teknologi, monetisasi media sosial, hingga pemanfaatan AI.
Suwarjono menganalisis setidaknya terjadi tiga kali disrupsi terhadap perusahaan media. Pertama, periode 2014-2019 disrupsi datang dari agregator. Alhasil, banyak platform agregator yang mencomot konten berita. Agregator tersebut seperti semisal UCnews, Kurio, Babe, Yahoo, Google, dan Baca.
Pembaca cukup mendownload aplikasi agregator sudah mendapatkan konten dari berbagai media berita. Trafik atau kunjungan dan monetisasi lari ke agregator, bukan ke media berita.
Disrupsi kedua, kata Suwarjono, hadirnya media sosial yang masif. Dari mulai platform X, Facebook, Instagram, Tiktok, Youtube, sampai Snack video. Disrupsi kedua ini tidak hanya menggulung jumlah trafik kunjungan ke perusahaan pers, namun membuat kue iklan beralih ke platfom digital dengan kehadiran pemain baru bernama konten kreator, influencer, KOL, hingga afiliator.
Disrupsi ketiga adalah AI atau kecerdasan buatan yang mengubah proses produksi konten pemberitaan dan mengubah perilaku audiens memperoleh informasi.
Perusahaan pers saat ini belum berhasil menutup pengeluaran operasional. Butuh banyak model bisnis baru dalam membiayai jurnalisme yang independen.
Suwarjono mencontohkan bisnis periklanan seperti iklan programatik berbasis ads network dan iklan konten, event dan event organizer, agensi, bisnis out of media, bisnis riset, sampai menagemen konten kreator hingga influencer.
“Saya optimistis media berita berbasis jurnalisme ke depan akan sangat dibutuhkan di tengah arus informasi yang semakin blur di media sosial,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mustafa Layong, menyatakan bahwa pandemi memang sempat berdampak serius pada semua sektor bisnis termasuk industri media. Meski pandemi telah berlalu, sepertinya kondisi bisnis media tidak kunjung membaik. Terutama karena kehadiran perubahan model bisnis dan sasaran iklan.
Belakangan, efisiensi pemerintah, termasuk memangkas atau menghilangkan belanja iklan kementerian/lembaga dan BUMN juga menjadi pukulan telak bagi industri media. Menurutnya, media harus mampu menemukan cara untuk bertahan hidup dengan melakukan devesifikasi sumber pendanaan agar tidak selalu terikat iklan dari pemerintah dan BUMN.
“Meskipun industri media mengalami guncangan, pers itu tidak akan pernah mati selama pelaku-pelakunya memegang teguh etika jurnalistik dalam bekerja, maka jurnalisme tidak mati. Walaupun di tengah gempuran konten kreator dan media baru, pers yang berkualitas tidak akan pernah mati,” ucap Mustafa kepada wartawan Tirto, Senin (5/5/2025).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang