Menuju konten utama

Laju Lambat Pertumbuhan Ekonomi: Benarkah Sinyal Resesi?

Pelambatan pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2025 dinilai membawa sinyal resesi teknikal. Pemerintah didorong lakukan ekspansi fiskal dan deregulasi.

Laju Lambat Pertumbuhan Ekonomi: Benarkah Sinyal Resesi?
Pekerja menyelesaikan pembangunan gedung di Depok, Jawa Barat, Jumat . ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/tom.

tirto.id - Prediksi sejumlah ekonom atas pelambatan laju ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 akhirnya terbukti. Badan Pusat Stastik (BPS) mengumumkan, ekonomi nasional sepanjang Januari-Maret lalu hanya tumbuh 4,87 persen secara tahunan (year on year/yoy). Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode sama tahun lalu, yang mencapai 5,11 persen yoy.

Kendati demikian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai capaian tersebut masih cukup baik jika dibandingkan dengan negara-negara G20 lainnya. Bahkan, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi ke-2 setelah Cina yang mencatat pertumbuhan di level 5,4 persen. Di kawasan regional, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya kalah dari Vietnam yang mencapai 6,93 persen.

"Kita masih di atas Malaysia yang hanya tumbuh 4,4 persen. Kemudian, Singapura 3,8 persen dan Spanyol yang 2,9 persen," ujarnya di Kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025).

Lantas, apa yang menjadi penahan utama laju ekonomi domestik kali ini?

Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, Teuku Riefky, menyampaikan catatan penting terkait kinerja ekonomi nasional. Menurutnya, perekonomian Indonesia kini tak lagi dapat sepenuhnya mengandalkan momentum musiman seperti Ramadan, Idulfitri, atau libur akhir tahun sebagai pendorong utama pertumbuhan.

Ia menilai bahwa daya dorong dari momen-momen tersebut semakin terbatas, sebagaimana terlihat dari pertumbuhan ekonomi sepanjang 2024 yang stagnan di kisaran 5 persen. Fenomena ini menjadi indikator bahwa kontribusi faktor musiman terhadap laju ekonomi mulai kehilangan daya ungkitnya.

Berdasarkan analisisnya, Riefky sempat memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 hanya akan berada di kisaran 4,9 persen. Proyeksi ini didasarkan pada beberapa indikator utama, seperti melemahnya daya beli masyarakat, menyusutnya kelas menengah, hingga stagnasi kinerja di sejumlah sektor industri.

Apa yang disampaikan Riefky sejalan dengan temuan Badan Pusat Statistik (BPS), yang mencatat bahwa konsumsi rumah tangga—komponen utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) dengan kontribusi sebesar 54,53 persen—mengalami perlambatan. Pada kuartal pertama 2025, konsumsi masyarakat hanya tumbuh 4,89 persen, sedikit lebih rendah dibanding pertumbuhan 4,91 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, juga turut menyoroti fenomena ini. Sebab, secara historis, kehadiran bulan Ramadan dan Idulfitri kerap menjadi pemicu lonjakan konsumsi masyarakat.

“Pertambahan perputaran uang (pada kuartal I 2024) mencapai lebih dari Rp140 triliun. Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2024 mencapai 5,11 persen, dan kemudian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03 persen secara agregat pada akhir tahun 2024,” jelas dia, dalam keterangannya, Senin (5/5/2025).

Ia menduga, tekanan konsumsi rumah tangga tersebut diperparah dengan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus terjadi sejak awal tahun. “Apindo mencatat lebih dari 40 ribu tenaga kerja mengalami PHK sejak awal tahun,” imbuhnya.

Amalia Adininggar Widyasanti, Kepala BPS, menekankan bahwa meskipun momen Ramadan dan Idulfitri hadir, laju konsumsi masyarakat belum mampu menyaingi tahun lalu yang terdongkrak oleh gegap gempita Pemilu. "Kedua, momen Idulfitri 2025 jatuh di tanggal 30 Maret 2025, sementara liburan panjangnya jatuh di April yang mana masuk triwulan dua," ungkap Amalia dalam konferensi pers di kantornya, Senin (5/5/2025).

Tapi, meskipun secara keseluruhan konsumsi menunjukkan pelambatan, terdapat sektor sektor yang masih mencatatkan pertumbuhan yang cukup signifikan. "Jika kita lihat lebih rinci, pengeluaran untuk makanan dan minuman (selain restoran) tumbuh sebesar 4,5 persen. Sektor transportasi dan komunikasi juga mencatatkan pertumbuhan yang solid, yakni 6,18 persen," jelasnya.

Selain itu, konsumsi rumah tangga untuk restoran dan hotel juga tumbuh 6,06 persen. Sektor-sektor ini menunjukkan ketahanan meskipun kondisi perekonomian secara umum melambat. Sebaliknya, konsumsi untuk pakaian dan alas kaki mengalami pelambatan yang cukup signifikan, hanya tumbuh 3,48 persen.

"Jadi, meskipun konsumsi rumah tangga secara keseluruhan masih tumbuh, ada subsektor tertentu yang mengalami pelemahan, seperti konsumsi pakaian dan alas kaki. Kita harus menggali lebih dalam untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan sektor sektor ini tidak tumbuh secepat yang lain," papar Amalia, sembari menambahkan bahwa pola hidup masyarakat yang terus berkembang tampaknya menjadi salah satu alasan utama di balik tren ini.

Resesi Teknikal

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), melihat perlambatan pertumbuhan ekonomi di awal tahun sebagai peringatan dini akan adanya ancaman resesi teknikal di kuartal II 2025. Hal ini semakin diperjelas dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara kuartalan (quarter to quarter/q to q) yang terkontraksi hingga -0,98 persen.

“Sektor industri pengolahan yang tertekan menjadi sinyal berlanjutnya tekanan ekonomi. Skenario resesi teknikal harus dihindari,” kata Bhima saat dihubungi Tirto, Senin (5/5/2025).

Dari sisi lapangan usaha, kontribusi industri pengolahan memang relatif menurun dibandingkan kuartal pertama 2024. Jika tahun lalu sumbangannya mencapai 19,28 persen, pada Januari-Maret 2025 hanya sebesar 19,25 persen—meskipun pertumbuhannya lebih tinggi yakni 4,55 persen (2025) berbanding 4,13 persen (2024).

Bahkan tanda-tanda pelemahan sektor pengolahan domestik masih mencuat dengan indeks Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang berada di bawah level ekspansi atau 46,7 pada April 2025. Dalam kondisi ini, banyak pabrik cenderung mengurangi pembelian bahan baku, melakukan efisiensi berbagai biaya produksi termasuk tenaga kerja.

“Tekanan akibat adanya perang dagang hanya salah satu faktor pemicu industri berada dibawah kapasitas optimalnya. Tapi di dalam negeri, efek industri melemah ibarat lingkaran setan (vicious cycle), menciptakan pelemahan daya beli lebih dalam berujung pada menurunnya permintaan produk industri,” ungkapnya.

Melihat kondisi tersebut, Bhima menekankan pentingnya peran pemerintah dalam meningkatkan daya beli masyarakat, salah satunya melalui kebijakan fiskal yang bersifat ekspansif. Program bantuan sosial, terutama bagi kelompok menengah ke bawah dan kelompok rentan, dinilai perlu diperkuat untuk menjaga konsumsi domestik.

Ini menjadi penting mengingat konsumsi pemerintah yang memberi sumbangan 5,88 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional justru mengalami kontraksi sebesar 1,38 persen, berbanding terbalik dengan kondisi kuartal pertama tahun lalu yang tumbuh 19,90 persen dan memberikan andil hingga 6,25 persen.

“Terutama, kalau kita bandingkan secara year on year, triwulan pertama tahun ini, kalau kita bandingkan dengan triwulan I tahun lalu, di saat triwulan I tahun lalu ada belanja pemerintah yang cukup besar, terutama untuk pemilihan umum. Jadi, tahun lalu ada pemilu, di tahun ini tidak ada pemilu,” tuturnya.

Selain itu, ia mendorong pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap strategi menarik investasi, khususnya di sektor padat karya berbasis komoditas. Pasalnya, komponen pembentukan modal tetap bruto (PMTB) di kuartal I lalu hanya tumbuh 2,12 persen atau lebih lambat dari periode sama tahun sebelumnya yang sebesar 3,78 persen. Alhasil, kontribusinya terhadap PDB pun tergerus dari 29,31 di Januari-Maret 2024 menjadi 28,03 persen di rentang sama tahun ini.

Menurut Bhima, salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan adalah pengembangan ekonomi hijau (green economy), yang dinilai memiliki potensi besar dalam menyerap tenaga kerja.

“Padahal potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerjanya cukup besar. Kita kekurangan ‘engine of resilience growth’ atau pertumbuhan yang tahan terhadap gejolak eksternal. Motor pertumbuhan yang bisa jadi penyelamat salah satunya adalah ekonomi hijau seperti transisi energi berbasis komunitas, hingga industri komponen smart grid di dalam negeri,” pungkas Bhima.

Saran Pengusaha

Sementara itu, menurut Apindo, paling tidak ada empat hal yang bisa didorong pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional: penyediaan energi murah, mendorong infrastruktur dan logistik yang efisien, pengelompokan (clustering) ekonomi dan ekosistem bisnis, dan mendorong produktivitas tenaga kerja. Keempat program tersebut tidak termasuk dalam program belanja pemerintah yang seharusnya mulai dipacu.

“Apindo mengusulkan pembentukan Indonesia Incorporated, yang menekankan pentingnya sinergi antar pemerintah dan dunia usaha untuk memastikan keberlanjutan dan profitabilitas perusahaan. Dunia usaha diharapkan tidak hanya sebagai pelaku ekonomi, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam memberikan solusi atas permasalahan bangsa,” sambungnya.

Selain itu, dia juga meminta agar dunia usaha juga dilibatkan secara aktif dalam deregulasi, revitalisasi industri padat karya dan mendesain kebijakan-kebijakan yang pro dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan.

“Kalau pemerintah fokus dengan program jangka pendek sekaligus jangka panjang, pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi pada kuartal I 2025 bisa menjadi pondasi untuk pertumbuhan ekonomi selanjutnya yang lebih baik,” jelas Ajib.

Sebaliknya, jika seluruh kondisi tetap sama—dalam istilah ekonomi disebut ceteris paribus, di mana hanya satu variabel yang diasumsikan berubah sementara faktor lainnya tetap dan tidak ada kebijakan terobosan dari pemerintah, maka akan sulit bagi Indonesia untuk mencatat pertumbuhan ekonomi agregat di atas 5 persen pada akhir tahun.

Ajib juga mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 berada jauh di bawah target yang dijadikan acuan pemerintah dalam kerangka ekonomi makro, yakni sebesar 5,1-5,5 persen.

“Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih eskalatif, pemerintah Indonesia harus mendorong low cost economy. Kebijakan-kebijakan yang didorong bisa menduplikasi yang dilakukan oleh pemerintah Cina dalam mendorong ekonomi domestik dan industri manufakturnya mempunyai daya saing yang tinggi,” papar Ajib.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana