tirto.id - Kebijakan pengadaan rumah subsidi untuk profesi wartawan memang dapat dibaca sebagai perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan insan pers. Dari sisi itu, 1.000 rumah subsidi yang disediakan pemerintah lewat Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menggandeng Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) patut diapresiasi. Namun, hal itu membuka diskursus soal potensi upaya kooptasi negara terhadap kerja-kerja pers lewat pemberian fasilitas khusus bagi profesi wartawan.
Di sisi lain, persoalan backlog perumahan alias kesenjangan rumah terbangun dengan yang dibutuhkan warga masih tinggi. Angka backlog perumahan di Indonesia memperihatinkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2023 angkanya mencapai 12,7 juta unit. Naik dari 2022 yang saat itu berada di level 11 juta unit. Angka ini menunjukkan kebutuhan hunian yang layak dan terjangkau untuk masyarakat berpotensi meningkat jika tak dilakukan intervensi pemerintah.
Banyaknya kebutuhan perumahan bagi warga, menimbulkan pertanyaan, apakah wartawan memang perlu diutamakan di bandingkan profesi atau kelompok warga lainnya? Tak heran akhirnya urgensi kebijakan ini banyak dipertanyakan, bahkan oleh organisasi profesi jurnalis sendiri. Jangan sampai, maksud baik pemerintah menjadi salah sasaran dan punya maksud lain yang ditutup-tutupi.
Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai kebijakan 1.000 rumah subsidi bagi wartawan berpotensi memantik opini negatif dari publik terhadap kerja-kerja media pers. Padahal, rumah subsidi itu tidak diberikan cuma-cuma. Artinya, tidak ada bedanya dengan skema subsidi rumah untuk masyarakat pada umumnya.
Namun, Kunto melihat opini publik yang terbangun seakan kebijakan 1.000 rumah subsidi ini adalah ‘hadiah’ dari pemerintah. Itulah mengapa urgensi kebijakan 1.000 rumah subsidi bagi wartawan patut dipertanyakan.
“Artian subsidinya kan paling dari soal cicilan banknya saja. Wartawan tetap harus bayar. Tapi kemudian seakan ini jadi hadiah pemerintah sehingga opini publiknya ini jadi negatif kepada insan pers secara keseluruhan,” kata Kunto kepada wartawan Tirto, Senin (21/4/2025).
Kunto menilai, jika tidak ada perbedaan antara kebijakan subsidi wartawan dan masyarakat pada umumnya, untuk apa hadir kebijakan tersebut. Apapun profesinya, kata Kunto, ketika sudah memenuhi syarat mengakses perumahan subsidi, semestinya negara menyediakan.
Kesannya kebijakan pemerintah menyediakan 1.000 rumah subsidi dibingkai untuk privilese bagi profesi wartawan. Menurut Kunto, apabila pemerintah serius mendorong kesejahteraan bagi wartawan, akan lebih baik membuat kebijakan tunjangan profesi bagi insan pers. Hal ini bisa dilengkapi dengan jaminan keamanan dan kebebasan pers dalam menjalankan tugas.
“Keamanan atau security wartawan dalam bekerja juga harus dijamin. Jangan ada teror, intimidasi, hingga kekerasan terhadap wartawan lagi,” ucap Kunto.
Diberitakan sebelumnya, Menteri PKP Maruarar Sirait, mengatakan kebijakan rumah subsidi bagi wartawan mulai diserahkan di bulan depan. Namun, jumlahnya baru 100 unit dan lokasi perumahannya masih akan dibahas lebih lanjut.
"Jadi, (tanggal) 6 Mei 2025 pukul 16.00 WIB akan serah terima 100 kunci untuk wartawan yang lokasinya akan dibicarakan lagi nanti," kata menteri yang akrab disapa Ara tersebut dalam konferensi pers di Kementerian PKP, Jakarta Pusat, Selasa (8/4/2025).
Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman bersama Kementerian Komunikasi dan Digital, BPS, BP Tapera, serta BTN yang akan menjalankan program pengadaan 1.000 unit rumah subsidi bagi wartawan. Rumah tersebut akan direalisasikan pada tahun ini di seluruh wilayah Indonesia dengan jumlah berbeda-beda.
Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa pemberian rumah kepada wartawan akan mengacu Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). BPS sendiri, kata dia, menggolongkan batasan wartawan yang laik memiliki rumah murah ini termasuk ke dalam desil delapan.
Menteri Komdigi, Meutya Hafid menambahkan, wartawan yang berminat bisa mendaftarkan diri ke pihaknya. Nantinya, akan diklarifikasi ke Dewan Pers untuk memastikan keabsahan wartawan. Setelah diverifikasi oleh Dewan Pers, kata Meutya, data akan dicocokan dengan kelaikan penerima berdasar DTSEN. Selain itu, syaratnya yang disertakan pun berdasar gaji wartawan tiap bulannya.
"Kalau untuk yang sudah menikah, maksimal gaji Rp13 juta dan yang belum menikah Rp12 juta per bulan,” ujar Meutya dalam kesempatan yang sama.
Ia menekankan, kebijakan ini tidak dilakukan agar kritik terhadap pemerintah surut. Justru, ia berharap kebijakan ini mendorong wartawan membuat berita yang benar dan bukan hoaks.
“Program ini bukan berarti wartawan tidak lagi boleh mengkritik, silakan mengkritik, tetap diterima. Tapi ini untuk mendukung berita yang benar, jangan berita salah atau hoaks,” tutur Meutya.
Penjelasan yang disampaikan pemerintah soal program ini justru menimbulkan pertanyaan dan keraguan baru. Pertama, kebijakan 1.000 rumah subsidi untuk wartawan tampak dikejar cepat, bahkan ketika lokasinya masih belum jelas. Kedua, dorongan terhadap insan pers memproduksi berita yang benar juga tidak diperlukan, karena itu sudah kewajiban wartawan. Maka dari itu, ketika pemerintah menyebut agar media tidak membuat ‘berita salah’, hal itu malah menimbulkan pertanyaan: apakah pemerintah ingin insan pers terus sejalan dengan narasi mereka?
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Nany Afrida, menyatakan apabila wartawan mendapat rumah subsidi, tidak bisa terelakkan muncul opini publik bahwa jurnalis tidak kritis lagi. Maka sebaiknya, kata Nany, program rumah subsidi untuk wartawan dihentikan saja oleh pemerintah. Pasalnya, wartawan masih bisa mendapatkan rumah subsidi dengan jalur seperti masyarakat pada umumnya seperti lewat bank atau Tapera.
Bantuan rumah subsidi mestinya mengincar warga negara yang kurang mampu. Terutama, kata Nany, bagi masyarakat yang memang tidak punya akses perumahan. Kebijakan rumah murah tidak harus berdasarkan profesi, yang penting diberikan kepada warga tidak mampu sepanjang memenuhi persyaratan.
“Karena itu persyaratan kredit rumah harus berlaku untuk semua warga negara tanpa harus membedakan profesinya,” ucap Nany.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif LBH Pers, Mustafa Layong, menilai kebijakan 1.000 rumah subsidi bagi wartawan menunjukan adanya maksud tertentu bagi pemerintah kepada insan pers. Ia menilai, ada kesan seperti ingin menekan daya kritis wartawan lewat adanya kebijakan rumah murah bagi insan pers. Padahl, kata dia, bukan wartawan saja yang butuh rumah murah.
“Kalau memang mau diberikan harusnya tidak perlu ada label-label atau tidak perlu ada persyaratan khusus. Jadi dibuka saja secara umum, luas, jadi semua lapisan masyarakat atau setiap warga negara memenuhi persyaratan itu bisa diakses,” ucap Mustafa kepada wartawan Tirto, Senin (21/4/2025).
Jamin Kesejahteraan dan Keamanan Jurnalis
Bagi Mustafa, ada hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk mendukung kerja-kerja insan pers: menjamin upah dan keamanan wartawan. Ia menilai, upah jurnalis masih banyak yang di bawah standar kelayakan, termasuk di bawah UMP. Bahkan, masih banyak jurnalis yang dirundung ketidakpastian status pekerjaan. Misal, badai PHK yang menggulung media pers.
Selain itu, Mustafa menilai negara masih lemah dalam menjamin keamanan dan kebebasan pers. Kasus teror dan serangan siber terhadap jurnalis bahkan baru-baru ini terjadi. Seperti yang menimpa Tempo dan Suara.com yang mengalami serangan siber dan teror.
Pada akhirnya kebijakan 1.000 rumah subsidi bagi wartawan terkesan seperti gimik semata. Hal ini tidak membenahi persoalan kesejahteraan dan kebebasan pers yang masih loyo.
“Upah minimum saja misalnya itu sebenarnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan operasional wartawan. Yang mana kita ketahui wartawan itu mobilitasnya sangat tinggi,” ujar Mustafa.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai bantuan rumah subsidi semestinya hanya mengincar warga negara yang kurang mampu. Hal itu sudah menjadi kewajiban negara yang dimandatkan konstitusi. Tak perlu ada pengkotak-kotakan kebijakan rumah murah khusus untuk profesi tertentu.
Alhasil, kebijakan 1.000 rumah subsidi bagi wartawan justru melahirkan ketidakadilan baru di tengah masyarakat. Kesejahteraan jurnalis memang perlu didukung. Namun, kata dia, itu bisa diwujudkan dengan menjamih upah dan keamanan insan pers dalam meliput suatu isu.
Terutama, saat wartawan mengerjakan laporan jurnalistik mengkritisi kebijakan pemerintah. Hal ini tidak bisa dipandang sebagai perbuatan mengancam negara atau upaya menghasut publik.
Lewat keterangan tertulis, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, menyatakan bahwa pihaknya menghargai pemerintah yang memberikan bantuan subsidi perumahan kepada wartawan. Namun, semua proses hendaknya memakai skema standar sebagaimana masyarakat yang butuh perumahan pada umumnya. Dewan Pers menyarankan pihak-pihak yang memerlukan pengajuan secara teknis mengenai data-data wartawan agar berhubungan langsung dengan media atau perusahaan pers tempat wartawan bekerja.
Selain itu, Dewan Pers mempersilakan Komdigi dan Kementerian PKP untuk menggunakan data sebatas yang tersedia di laman Dewan Pers. Ninik menambahkan, Dewan Pers hanya akan berfungsi memberikan verifikasi akhir tentang keabsahan perusahaan pers.
“Jika para pihak memerlukan data media/wartawan, Dewan Pers hanya bisa mengeluarkan setelah ada persetujuan dari organisasi wartawan/organisasi media. Dewan Pers tidak akan ikut menyerahkan 100 nama wartawan pertama yang akan menerima kunci perumahan,” kata Ninik.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang