Menuju konten utama

Potret Dunia Kerja Indonesia Kini: Beban Tinggi, Gaji Rendah

Lonjakan pekerja yang digaji di bawah upah minimum bukanlah kebetulan statistik semata. Apa yang salah dengan negara kita?

Potret Dunia Kerja Indonesia Kini: Beban Tinggi, Gaji Rendah
Ilustrasi Buruh Karyawan. foto/istockphoto

tirto.id - Kondisi ekonomi Indonesia yang kini tak menentu membuat banyak anak muda tak punya pilihan selain segera masuk ke dunia kerja demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Dalam laporan terbarunya bertajuk “Mengupas Tuntas Pengangguran dan Kerja Layak” Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memetakan secara mendalam kondisi ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya dinamika pengangguran dan menurunnya kualitas pekerjaan yang tersedia.

Laporan tersebut menyebut bahwa kelompok muda masih mendominasi angka pengangguran di Indonesia. Tak hanya menganggur, sebagian besar dari mereka juga belum memiliki pengalaman kerja yang cukup untuk membuka jalan ke pekerjaan yang lebih baik di masa depan.

Sebagai informasi, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) sebelumnya mencatat adanya tambahan jumlah pengangguran sebanyak 0,08 juta orang atau sekitar 83.450 orang hingga per Februari 2025. Dengan tambahan itu, maka jumlah angka pengangguran di Indonesia tercatat sebanyak 7,28 juta pengangguran.

“Dibandingkan dengan Februari 2024, per Februari 2025 jumlah orang yang menganggur meningkat sebanyak sekitar 0,08 juta orang atau sekitar 83.000 orang, yang naik kira-kira 1,11 persen,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers Rilis BPS, di Kantor BPS, Senin (5/5/2025).

Amalia Adininggar Widyasanti

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Maret 2025, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus sebesar USD4,33 miliar atau naik sebesar USD1,23 secara bulanan (month to month/mom). Angka itu lebih tinggi dibandingkan Februari 2025, sebesar USD3,12 miliar. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Gedung BPS, Jakarta, Senin (21/4/2025). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

Sementara itu, pada periode yang sama tingkat pengangguran terbuka (TPT) tercatat sebesar 4,76 persen, lebih rendah jika dibandingkan Februari 2024 yang sebesar 4,82 persen dan dibanding Agustus 2024 yang sebesar 4,91 persen. Jika dilihat lebih jauh, TPT untuk perempuan mengalami penurunan, dari yang sebelumnya 4,60 persen di Februari 2024 menjadi 4,41 persen di Februari 2025.

“Sedangkan tingkat pengangguran terbuka laki-laki mengalami peningkatan sebesar 0,02 persen basis poin (bps),” imbuhnya.

Upah di Bawah Standar Layak

Di sisi lain, kualitas pekerjaan yang tersedia juga menunjukkan tren penurunan. Berdasarkan olahan data dari Sakernas, CELIOS menemukan bahwa proporsi pekerja yang menerima upah di bawah Upah Minimum Regional (UMR) melonjak dari 63 persen pada 2021 menjadi 84 persen pada 2024. Artinya, delapan dari sepuluh pekerja Indonesia kini digaji di bawah standar penghidupan layak.

“109 juta pekerja diupah di bawah UMR. 25 juta bekerja lebih daripada 48 jam,” tulis CELIOS dalam keterangan resminya yang diterima Tirto.

Kondisi ini diperburuk oleh dominasi sektor informal dan pekerjaan bergaji rendah dalam penciptaan lapangan kerja. Menurut CELIOS, sektor-sektor ini mungkin menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, tetapi justru memperpanjang kerentanan ekonomi pekerja. Fenomena ketimpangan juga tercermin dalam durasi kerja.

Data CELIOS menunjukkan bahwa dua kelompok paling terdampak dengan upah rendah adalah mereka yang bekerja terlalu sedikit (underworked: ≤30 jam per minggu) dan mereka yang bekerja berlebihan (overworked: ≥48 jam per minggu). Artinya, baik mereka yang kekurangan kerja maupun mereka yang bekerja terlalu keras sama-sama belum mendapatkan imbalan upah yang layak.

TOLAK UPAH MURAH DAN PHK

Aktivis buruh yang tergabung dalam SPN (Serikat Pekerja Nasional) menggelar spanduk saat berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Serang, di Serang, Banten, Selasa (8/8). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

Kondisi overworked paling banyak ditemukan di sektor transportasi, pertambangan, dan penyediaan akomodasi. Di ketiga sektor ini, rata-rata jam kerja mencapai 48 jam per minggu. Sebaliknya, sektor real estate dan pertanian menunjukkan tingkat pekerja underworked tertinggi, dengan rata-rata jam kerja hanya sekitar 30– 31 jam per minggu.

Sementara itu, jumlah pekerja yang tidak dibayar juga terus meningkat, terutama di sektor pertanian, perdagangan, dan akomodasi. Menurut CELIOS, tren ini menunjukkan kegagalan struktural dalam menciptakan pekerjaan layak dan memperkuat ketimpangan sosialekonomi.

Temuan lain mengungkap sektor-sektor padat karya seperti perdagangan dan pertanian tetap mendominasi korban PHK dan bangkrut, menunjukkan lemahnya daya tahan struktural terhadap guncangan ekonomi.

“Walaupun PHK yang terjadi tidak sebanyak saat krisis Covid-19 di 2021 angka PHK di industri pengolahan menunjukan angka yang similar,” tulis CELIOS dalam keterangan resmi.

Beban Berat Pekerja Informal

Sebagai informasi, per Februari 2025 BPS mencatat bahwa mayoritas tenaga kerja Indonesia masih bergantung pada sektor informal. Jumlahnya mencapai sekitar 86,58 juta orang—atau setara dengan 59,40 persen dari total penduduk yang bekerja.

Laporan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkap realitas kerja yang berat di sektor informal berbasis platform digital, khususnya pada profesi pengemudi ojek online (ojol). Meskipun sering dianggap sebagai solusi atas keterbatasan lapangan kerja formal, data menunjukkan bahwa pekerja di sektor ini menghadapi beban kerja yang signifikan.

Rata-rata jam kerja pengemudi ojol tercatat mencapai 54,5 jam per minggu—jauh melampaui rata-rata jam kerja pekerja nasional yang berada di angka 41,5 jam per minggu. Dari sisi pendapatan, gaji bulanan ojol secara rata-rata memang hampir setara dengan pekerja formal, yaitu sekitar Rp2,84 juta. Namun jika dilihat dari jumlah waktu kerja yang diinvestasikan, terdapat ketimpangan yang cukup mencolok. Median jam kerja ojol mencapai 56 jam per minggu, sementara median pekerja non-ojol hanya 42 jam per minggu.

Temuan CELIOS ini juga selaras dengan survei yang dilakukan oleh Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada 2023. Dalam studi tersebut, IDEAS mewawancarai 225 pengemudi ojol di sepuluh titik simpul transportasi di wilayah Jabodetabek.

Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan kotor bulanan para pengemudi ojol masih berada di bawah Upah Minimum Kota (UMK). Sebagai contoh, di Kota Bekasi, pendapatan kotor bulanan responden ojol tercatat sebesar Rp3,9 juta atau hanya sekitar 79 persen dari UMK yang ditetapkan sebesar Rp5 juta.

Pendapat Pakar

Lonjakan pekerja yang digaji di bawah upah minimum bukanlah kebetulan statistik semata. Menurut Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, ada sejumlah faktor struktural dan kebijakan yang berperan besar dalam menciptakan tren ini. Pertama, sekaligus yang menjadi faktor utama, adalah banyak pekerja menerima upah di bawah UMR karena mereka tidak punya pilihan lain.

Menurut Bhima, keterbatasan lapangan kerja membuat sebagian besar tenaga kerja, terutama yang muda dan baru lulus, terpaksa menerima pekerjaan dengan kondisi upah yang tak ideal, bahkan jauh di bawah standar minimum yang telah ditetapkan.

“Jadi mereka terpaksa bekerja di bawah upah minimum itu karena ketersediaan lapangan kerjanya semakin terbatas,” ujarnya kepada Tirto, Senin (2/6/2025).

Lebih jauh, ia juga mencatat saat ini ada pergeseran signifikan dari sektor formal ke informal dalam tiga tahun terakhir, terutama setelah banyak pekerja mengalami PHK. Mereka yang sebelumnya bekerja di sektor formal mau tak mau kini berpindah ke sektor informal seperti membuka usaha kecil, menjadi kurir, atau pengemudi ojek online.

Sayangnya, di sektor ini, jam kerja cenderung lebih panjang, tapi upahnya justru lebih rendah dibandingkan pekerjaan formal sebelumnya. “Ternyata mereka bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang tapi upahnya lebih rendah dari pada pekerjaan formal sebelumnya,” sambungnya.

Faktor lain yang memperburuk situasi adalah minimnya penegakan hukum terhadap pelanggaran upah minimum. Berdasarkan pengamatan Bhima dan CELIOS banyak pekerja di Indonesia yang menerima upah di bawah minimum, disebabkan hukum ketenagakerjaan khususnya terkait pengupahan tidak berpihak pada mereka.

“Jadi sanksi kepada perusahaan yang memberikan upah di bawah minimum itu seringkali tidak dilakukan. Imbasnya, banyak pengusaha yang nakal dan memanfaatkan situasi ekonomi sekarang untuk merepresi upah pekerja,” ujarnya.

Bhima juga menyoroti maraknya praktik union busting, yakni upaya perusahaan untuk membatasi atau bahkan melarang keberadaan serikat pekerja yang belakangan marak terjadi di sejumlah perusahaan.

Dalam beberapa kasus, pekerja yang bergabung dengan serikat menghadapi intimidasi hingga ancaman dari perusahaan. Akibatnya, isu-isu mendasar seperti upah layak dan kondisi kerja manusiawi pun kerap tidak pernah benar-benar dibahas atau diperjuangkan secara kolektif.

“Jangankan mengeluh soal upah, untuk membentuk serikat pekerja saja mereka sering kali tidak diizinkan,” ujarnya.

Lebih parah lagi, Bhima mencatat adanya tren normalisasi upah di bawah standar minimum di sejumlah wilayah, terutama di basis-basis industri padat karya seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta.

“Jadi normalisasi ini dilakukan secara marak gitu di (daerah) basis-basis padat karya. Tanpa ada penegakan aturan lagi dari Dinas Ketenagakerjaan dan Kementerian Ketenagakerjaan,” katanya.

Lalu, apa dampak kondisi ketenagakerjaan seperti ini terhadap Indonesia jika terus berlarut-larut?

Ancaman Bagi Bonus Demografi

Menurut Bhima, jika situasi ini dibiarkan berlarut, dampaknya bukan hanya menimpa individu pekerja, tapi juga akan menghantam fondasi ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

“Dampak jangka panjang berarti kualitas pendapatan masyarakat semakin menurun. Banyak masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup seperti pengeluaran rumah tangga, makanan, minuman. Kemudian kebutuhan yang sifatnya semakin mendasar seperti sewa rumah, biaya pendidikan semakin tidak terjangkau karena upah yang relatif rendah," jelasnya.

Lebih dari itu, kondisi ini bisa menjadi ancaman serius bagi bonus demografi. Setiap tahun ada tambahan sekitar 3 juta angkatan kerja baru. Tapi jika tidak ada pekerjaan yang layak, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana sosial. Ketimpangan pendapatan pun akan semakin melebar. Mereka yang berada di kelompok rentan akan terperangkap dalam kemiskinan struktural, sementara kelompok elite terus menikmati akumulasi kekayaan.

“Jadi yang kaya semakin kaya, sementara banyak mereka yang kesulitan mendapatkan upah layak akan menjadi miskin secara struktural,” tambahnya.

Kondisi kerja yang tak layak tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga membawa konsekuensi serius terhadap kesehatan mental, terutama bagi generasi muda. Menurut Bhima Yudhistira, generasi yang baru lulus kuliah kerap dihadapkan pada kenyataan pahit: ekspektasi terhadap dunia kerja tak sebanding dengan tekanan yang mereka alami.

Imbasnya, banyak anak muda yang mengalami stres berkepanjangan, hingga rentan mengalami depresi dan gangguan psikologis lainnya. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memicu berbagai persoalan sosial, seperti meningkatnya angka kriminalitas, perceraian, hingga krisis kesehatan mental di kalangan usia produktif.

“Jadi banyak yang akan stress bahkan memicu kriminalitas, memicu perceraian dan masalah-masalah yang terkait dengan kerentanan secara psikologis. Nah itu akan jadi ancaman serius juga di bagian generasi-generasi muda,” sambungnya.

Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi situasi ketenagakerjaan seperti ini?

Bhima Yudhistira menegaskan bahwa, dalam menghadapi memburuknya situasi ketenagakerjaan, negara tak bisa lagi bersikap pasif. Diperlukan intervensi kebijakan yang lebih serius dan terstruktur untuk mengatasi situasi ketenagakerjaan seperti ini.

Prioritas pertama, kata Bhima, adalah membuka lebih banyak lapangan kerja formal. Menurutnya, di sektor formal, regulasi ketenagakerjaan cenderung lebih mudah ditegakkan dibandingkan sektor informal yang selama ini mendominasi pasar tenaga kerja.

"Karena di lapangan kerja formal yang terbuka, idealnya aturan ketenagakerjaan bisa lebih mudah ditegakkan dibandingkan sektor informal,” ujarnya kepada Tirto.

Bhima juga menyoroti pentingnya peran negara dalam mengatur sektor gig economy, terutama bagi pekerja platform digital seperti ojol. Ia menilai perlu ada tekanan terhadap perusahaan aplikator untuk memanusiakan pekerja mereka, termasuk memastikan upah yang layak dan pembatasan jam kerja agar tidak terjadi eksploitasi terselubung.

“Jam kerjanya juga harus ada pembatasan, tidak boleh overwork,” tegasnya.

Tak kalah penting, Bhima menekankan perlunya penegakan sanksi tegas terhadap pengusaha yang melanggar ketentuan upah minimum. Meskipun sanksi administratif sebenarnya telah diatur, praktiknya di lapangan masih lemah dan tidak memberikan efek jera.

Sebagai langkah lanjutan, pemerintah juga didorong untuk lebih aktif mendorong belanja negara ke sektor-sektor usaha formal. “Dari sisi belanja pemerintahnya juga harus didorong ya untuk menstimulus sektor-sektor usaha yang formal sehingga lebih banyak lapangan kerja terbuka,” ujarnya.

Pemerintah sendiri dikabarkan sudah memiliki beberapa strategi untuk mengatasi masalah ketenagakerjaaan di Indonesia. Pada April lalu misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tengah menyiapkan aturan terkait pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK), yang nantinya tertuang melalui Instruksi Presiden (Inpres).

Tak hanya itu, baru-baru ini, Kemnaker juga menerbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja. Diskriminasi tersebut mencakup pembatasan usia kerja, berpenampilan menarik, status pernikahan, tinggi badan, suku, hingga warna kulit.

“Surat edaran ini diterbitkan untuk mempertegas komitmen pemerintah terhadap prinsip non-diskriminasi sekaligus memberikan pedoman yang jelas agar rekrutmen kerja dilakukan secara objektif dan adil,” kata Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli dalam konferensi di kantor Kemnaker, Jakarta, Rabu (28/5/2025).

Baca juga artikel terkait UPAH MURAH atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang