tirto.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) jadi angin segar bagi dunia pendidikan Tanah Air.
Putusan tersebut menegaskan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menggratiskan pendidikan dasar yang diselenggarakan pada satuan pendidikan SD, SMP, dan madrasah atau sederajat, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Selama bertahun-tahun, tafsiran dasar hukum itu menyempit pada wajibnya sekolah negeri membebaskan biaya pendidikan dasar. Sementara itu anak-anak yang terpaksa bersekolah swasta karena keterbatasan daya tampung atau fasilitas di sekolah negeri, seolah menjadi kehilangan hak yang sama dalam mengenyam pendidikan.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama sejumlah orang tua murid yang menggugat, kini mendapat jawaban dari ketimpangan yang terjadi dari lembaga penjaga konstitusi. Tentu, negara tak boleh abai lagi dalam memenuhi amanat untuk menyediakan layanan pendidikan dasar yang merata dan bebas biaya bagi seluruh anak Indonesia, tanpa kecuali.
Meskipun juga telah dikabulkan, JPPI menilai keputusan ini hanya sebatas kertas jika tak ada campur tangan Presiden Prabowo Subianto.
“Keuangan negara, khususnya 20 persen untuk pendidikan, sehingga perlu mendudukkan Kemenkeu, perlu mendudukkan Bappenas, perlu mendudukkan (kementerian) urusan sekolah, itu Kemendikdasmen (Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah -red), urusan Madrasah itu Kemenag (Kementerian Agama -red), urusan implementasi di daerah itu Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri -red). Dan orang yang bisa mendudukkan lintas kementerian itu hanya presiden,” kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, kepada Tirto, Rabu (28/5/2025).
“Jadi putusan MK ini bukan perintah kepada Kemendikdasmen, tapi perintah kepada Presiden,” sambungnya.
Dalam Wawancara Khusus bersama Tirto, Ubaid menceritakan mengenai bagaimana awal mula putusan MK itu dilayangkan hingga harapan besar pemerataan pendidikan bagi seluruh anak Indonesia. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana latar belakang JPPI dan wali murid melayangkan gugatan ke MK, terutama soal sekolah –terutama swasta– yang digratiskan?
Ini awalnya ada banyak aduan dari masyarakat. Mereka merasa sama-sama anak Indonesia, kok perlakuannya diskriminatif. Jadi mereka ini adalah (siswa) mendaftar di sekolah negeri, berharap supaya nanti kalau masuk negeri itu gratis. Lalu pas pengumuman, nggak lolos. Karena nggak lolos ya, mau nggak mau –pil pahit– harus masuk sekolah swasta. Mulai uang gedung, bayar, uang SPP bayar, uang pangkal bayar, tiap semester bayar, ujian bayar, dan seterusnya.
Singkat cerita mereka putus sekolah gitu, lalu mereka mengadu JPPI, 'kenapa ada perlakuan diskriminatif terhadap anak bangsa ini? Ada yang masuk negeri, ongkang-ongkang nggak usah bayar, sementara kita udah ekonomi pas-pasan tapi suruh bayar ini, bayar itu. Kenapa pelayanan pendidikan kita masih diskriminatif?'.
Dan ternyata kalau kita lihat data BPS, itu jutaan orang kayak gini. Jadi mereka putus sekolah karena soal biaya pendidikan, karena ekonomi ini jumlahnya jutaan gitu. Akhirnya kita menemukan, coba kita lihat sebenarnya kebijakannya bagaimana, ternyata nemu pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional -red). Itu bunyinya; 'pendidikan dasar itu tanpa dipungut biaya'.
Ini undang-undangnya bilang tanpa dipungut biaya, kenapa di lapangan dipungut biaya?
Akhirnya kita tanyakan ke Kementerian Pendidikan, bilangnya bahwa maksud pasal 34 ayat 2 itu untuk di sekolah negeri. Sementara versi JPPI nggak ada kata itu.
Untuk di sekolah negeri itu tafsir pemerintah, nggak ada di situ. Sehingga kita minta petunjuk ke Mahkamah Konstitusi, ini benerannya tafsiran versi pemerintah atau versi masyarakat? Kalau versi pemerintah hanya untuk (sekolah) negeri. Kalau versi masyarakat di UUD (Undang-Undang Dasar) nggak ada kata-kata (sekolah) negeri atau swasta, di undang-undang Sisdiknas (juga) nggak ada (istilah) negeri atau swasta. Jadi ini untuk anak Indonesia, di manapun dia berada gitu. Akhirnya MK mengabulkan tafsiran kita.
Apa poin tuntutan yang disampaikan ke MK?
Tuntutannya cuma satu, yaitu bahwa pasal 34 ayat (2) itu harus ditafsirkan tanpa dipungut biaya itu di sekolah negeri dan di swasta, itu saja tuntutannya. Cuma argumentasinya banyak.
Jadi yang dimaksud MK dikabulkan sebagian itu karena kita menyusun argumentasi sampai ratusan halaman, ada argumentasi yang diamini, ada argumentasi yang mungkin masih belum bisa diamini. Tapi tuntutan kita cuma satu itu saja, pasal 34 ayat (2), itu harus dimaknai di sekolah negeri dan di swasta.
Siapa yang terlibat dalam penyusunan rumusan-rumusan gugatan ke MK?
Jadi pemohonnya ini JPPI. Lalu kita menghadirkan keterangan ahli, itu yang dihadirkan di persidangan yang mendukung kami itu namanya Profesor Fasli Jalal.
Profesor Fasli Jalal itu punya hitung-hitungan, bahwa APBN kita (untuk pendidikan) itu tidak hanya cukup, tapi lebih-lebih. Jadi nggak ada alasan soal keterbatasan fiskal, nggak punya uang, nggak ada. Menurut Prof. Fasli Jalal kita lebih-lebih. Menjadi tidak gratis seperti sekarang sebelum keputusan ini, karena memang salah sasaran, salah alokasi, dan lain-lain.
Proses pendaftaran gugatan ke MK sejak kapan?
Sebenarnya kan sampai pada official pendaftaran itu 2024. Tapi prosesnya, misalnya diajukan, ditolak, segala macam itu dari 2023 sebenarnya. Tapi official sidang pertama itu baru dimulai 2024, tapi proses pendaftaran, ditolak, dan lain-lain itu dari 2023.
Pada sidang gugatan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tahun lalu Bappenas menyebut bahwa APBN yang dimiliki terbatas apabila harus menanggung pendidikan gratis negeri dan swasta. Bagaimana JPPI melihat argumentasi seperti ini?
Iya, jadi kata tidak cukup itu untuk menjelaskan bahwa anggaran pendidikan itu hanya di atas kertas. Jadi Rp665 triliun (anggaran pendidikan) di 2024 itu angka di atas kertas. Nyatanya itu nggak ada yang tau, karena itu terpisah-pisah. Ada yang di Komisi VIII, ada yang di Komisi X, ada yang di Komisi Keamanan, dan seterusnya gitu.
Jadi anggaran pendidikan itu sebenarnya nggak ada. Yang ada itu adalah, ini Kementerian Pertahanan yang ada bunyi-bunyi pendidikan kemudian dimasukkan, ditambahkan. Kepolisian yang ada bunyi-bunyi pendidikan, dimasukkan (anggaran pendidikan) gitu. Kemudian Kementerian Desa, Kementerian Sosial mana ini ada bunyi-bunyi pendidikan dimasukkan, gitu. Jadi sebenarnya anggaran pendidikan itu nggak ada.
Karena itu kalau kita patuhi Undang-Undang Dasar Pasal 31, itu minimal 20 persen. Mestinya 20 persen itu, diambil angkanya 20 persen gitu kan, baru dihitung untuk pendidikan dasar dulu sebagai prioritas. Karena ini bukan Undang-Undang Sisdiknas urusannya, ini Undang-Undang Dasar ini Pasal 31 urusannya.
Jadi diwajibkan 20 persen, dihitung dulu kebutuhan pendidikan dasar itu apa. Oh, nggak ada sekolahnya, oke, perbaiki sekolah atau pengadaan sekolah,misalnya. Oh, nggak ada gurunya, oke, pengadaan guru itu. Bukan seperti sekarang, Rp665 triliun ternyata kepolisian masuk (anggaran) di situ, pertahanan masuk di situ, BIN masuk di situ, Kemensos masuk di situ, Kemenkeu masuk di situ.
Pembagi-bagian itu yang menyalahi Undang-Undang Dasar. Perintah Undang-Undang Dasar adalah untuk pendidikan.
Hasil hitungan JPPI, menggratiskan sekolah swasta itu membutuhkan anggaran Rp84 triliun. Bagaimana penghitungannya?
Itu kita ambil data dari BPS (Badan Pusat Statistik -red). Jadi BPS itu pernah menghitung berapa biaya per kepala untuk anak SD, berapa biaya per kepala untuk anak SMP, itu pernah dihitung sama BPS. Itu saya kalikan jumlah anak yang posisi sekolahnya itu di sekolah swasta se-Indonesia, ketemunya Rp84 triliun.
Itu mencakup semua (biaya uang pangkal, SPP dan kegiatan sekolah swasta).
Mengingat hasil putusan MK adalah final dan mengikat artinya pemerintah harus mengikuti hasil putusan. Bagaimana JPPI menerima putusan ini?
Iya kita bersyukur karena dikabulkan, itu yang pertama. Yang kedua, kita juga sadar bahwa keputusan ini akan menjadi keputusan yang tidak bisa dilaksanakan di lapangan kalau nggak kita kawal. Karena itu langkah selanjutnya, ya kita advokasi bagaimana ini bisa direspon oleh Presiden. Karena kalau putusan ini dialamatkan ke Kemendikdasmen, ini bukan urusan Kemendikdasmen. Orang Kemendikdasmen saja dari (total anggaran pendidikan) Rp665 triliun itu dia hanya kelola 5 persen. Jadi kalau dialamatkan ke Kemendikdasmen salah alamat.
Dialamatkan ke yang mengurusi Madrasah, Kementerian Agama, juga salah alamat. Ini harus dialamatkan kepada presiden. Karena presiden inilah yang bisa mengatur keuangan pendidikan ini. Keuangan negara khususnya 20 persen untuk pendidikan ini, sehingga perlu mendudukkan Kemenkeu, perlu mendudukkan Bappenas, perlu mendudukkan urusan sekolah itu Kemendikdasmen, urusan Madrasah itu Kemenag, urusan implementasi di daerah itu Kemendagri, jadi ada lintas kementerian. Dan orang yang bisa mendudukkan lintas kementerian itu hanya presiden. Jadi putusan MK ini bukan perintah kepada Kemendikdasmen, tapi perintah kepada Presiden.
Jadi ini harus lintas kementerian, dan yang bisa menggerakkan lintas kementerian itu hanya presiden. Nggak ada yang lain.
MK dalam pertimbangannya, mengecualikan sejumlah sekolah swasta. Artinya ada sekolah yang masih diperbolehkan menarik biaya dari siswa. Tanggapan Anda?
Jadi ini kita sebenarnya nggak mengurusi sekolah swasta ini. Kita ini sebenarnya masa bodoh dengan sekolah swasta, enggak ada urusannya dengan kepala sekolah. Urusan JPPI dan laporan masyarakat ini adalah enggak boleh ada diskriminasi atas layanan pendidikan. Itu poinnya gitu.
Supaya enggak ada diskriminasi, maka semua anak Indonesia harus punya layanan pendidikan yang sama. Kalau kebijakan pemerintah itu tanpa dipungut biaya ya, ya semua harus tanpa dipungut ya. Jadi ini enggak ada urusannya dengan sekolah swasta.
Berhubung ya, berhubung ternyata daya tampung sekolah negeri yang tanpa dipungut biaya itu terbatas, maka pertanyaan kita adalah, ‘bagaimana nasib yang sekolah di swasta gara-gara daya tampung anak-anak ini nggak dapat kursi?’. Nah, itu baru bahas swasta, jadi swasta ini urusan belakangan ini, bukan hulunya. Hulunya adalah bagaimana negara memberikan layanan atas pendidikan ini berkeadilan untuk semua, nggak boleh diskriminasi gitu.
Jadi contoh misalnya nih, di suatu daerah kebutuhan peserta didiknya ini 1.000 yang mau masuk sekolah negeri. (Sekolah) negeri itu hanya mampu menampung 500, otomatis yang 500 ditampung di swasta kan. Lah, yang ngatur itu pemerintah, yang biaya itu pemerintah. Nah, kalau di sekolah situ ada sekolah swasta yang enggak mau, dia harus diberikan sanksi. Ini perintah negara, ini layanan pendidikan, gimana kok enggak mau gitu?
Kecuali ya, kalau misalnya di daerah situ, pemerintah daerah membutuhkan 500 kursi misalnya. Tapi sekolah swasta di situ, kursi yang tersedia di sekolah swasta ada 1.000. Ya berarti pemerintah cukup melibatkan sekolah swasta yang 500 saja. Yang 1.000 itu berarti, ya mungkin ada sekolah swasta yang aku enggak mau ikut skema pemerintah, ya monggo saja karena situasinya enggak darurat.
Tapi kalau situasinya darurat di suatu daerah, hanya ada dua sekolah misalnya. Kalau tidak melibatkan dua sekolah itu anak-anak bisa kececeran enggak sekolah, itu sekolah swasta yang enggak mau itu bisa disanksi.
Karena ini programnya wajib belajar ini. Wajib belajar itu diwajibkan gitu. Jadi kalau ada sekolah swasta yang nakal, nggak ikut skema wajib belajar, ya bisa dipermasalahkan, diberikan sanksi.
Dalam pelaksanaannya kembali melihat keadaan sekolah swasta dan negeri di tiap-tiap daerah, karena itulah butuh aturan turunan, wewenang pemerintah daerah, dan ini ya butuh pemahaman bersama gitu.
Berarti boleh ada sekolah swasta yang menarik bayaran, karena dikecualikan oleh MK? Seperti Apa Skemanya?
Jadi prinsipnya gini sebelum ke sekolah swasta ya. Jadi pemda (Pemerintah Daerah -red) itu wajib memastikan ketika penerimaan murid baru itu, berapa calon peserta didik yang mau mendaftar sekolah. Lalu pemda wajib menyiapkan bangku sekolah sejumlah peserta didik.
Katakanlah menurut data Pemerintah, yang mau masuk sekolah ada 1.000, maka tugas pemerintah adalah memastikan 1.000 anak ini masuk sekolah. Maka harus dihitung sekolah negeri bangkunya bisa menampung berapa? Oh, misal di daerah tadi sekolah negeri cuma bisa menampung 300, kan kurang 700 nih. Nah, itu harus disediakan oleh pemda bekerjasama dengan sekolah swasta.
Sekolah swasta yang seperti apa? Ya itu harus negosiasi bekerja sama dengan Pemda.
Bahwa ada sekolah swasta yang nggak mau nerima BOS, nggak mau nerima BOS Daerah, nggak mau kerja sama dengan Pemerintah, ya nggak apa-apa itu hak sekolah swasta. Artinya program sekolah tanpa pungutan biaya ini tidak dipraktikkan di sekolah swasta itu. Namun dipraktikan pada sekolah-sekolah swasta yang standarnya mengikuti Pemerintah, standar pembiayaannya mengikuti Pemerintah, kualitasnya mengikuti Pemerintah. Itu yang diajak kerja sama untuk menampung jumlah anak yang tidak tertampung di sekolah negeri.
Tapi ada sekolah swasta yang ingin kurikulum mandiri, saya ingin pembiayaan sendiri, nggak mau nerima bos, nggak mau ngikutin pemerintah, ya nggak apa-apa itu hak dia. Jadi putusan ini nggak bisa memaksa itu tadi yg mereka ingin mau punya kurikulum sendiri, guru sendiri, standar tersendiri, tidak menerima bantuan pemerintah, ya nggak bisa memaksa sekolah jenis itu untuk masuk program pemerintah.
Jadi sekolah swasta yang dibiayai oleh pemerintah adalah sekolah swasta yang bekerja sama dengan pemerintah dalam menampung bangku peserta didik yang tidak tertampung di sekolah negeri, karena daya tampung sekolah negeri yang terbatas itu.
Jadi sekolah swasta yang bekerja sama dengan pemerintah, yang bangkunya disediakan menampung sejumlah peserta didik usia sekolah untuk bisa ditampung di sekolah swasta, ya di situ yang tanpa dipungut biaya. Tapi untuk sekolah swasta yang tidak mau kerja sama, yang kurikulumnya mandiri, guru-gurunya mandiri, gak dibayar pemerintah, sertifikasi juga tidak ditanggung pemerintah, dia mau pendidikan sendiri, ala dia sendiri, ya gak masuk skema ini.
Terkait Implementasi, JPPI mendorong adanya aturan setingkat PP atau Perpres, apa Urgensinya?
Kalau nggak ada aturannya kan bingung bagaimana implementasinya. Karena itu supaya bisa dilaksanakan, harus ada aturan. Karena pemerintah daerah mau melaksanakan (mengenai) bagaimananya, ketentuan-ketentuannya, standar pembiayaannya dengan swasta itu berapa, kan harus diatur.
Bisa PP atau perpres, itu silahkan lah pemerintah bagaimana baiknya.
Apakah meminta hal ini juga diakomodir dalam UU Sisdiknas yang tengah dalam pembahasan rencana revisi DPR?
Ya termasuk itu, tapi kan kita enggak tahu itu akan disahkan kapan. Kan bisa saja melalui 10 tahun yang akan datang, kan bisa saja gitu kan, artinya semua peluang kita masuki. Sementara kekosongan hukum, ya harus lewat Perpres sama PP, bahwa nanti ada harus masuk pasal di Undang-Undang Sisdiknas versi revisi, ya itu harus. Karena ini sudah keputusan Mahkamah Konstitusi harus diakomodir ke peraturan perundang-undangan yang baru.
Apa harapan dari JPPI setelah adanya putusan MK?
Saya berharap, ini merupakan hajat hidup anak Indonesia, kebutuhan banyak orang tua dan masyarakat Indonesia. Kita berharap bahwa keputusan ini bisa cepat dieksekusi, bisa cepat disikapi, bisa cepat dilaksanakan di lapangan gitu.
Karena ini membutuhkan koordinasi antar kementerian dan seterusnya, maka kami atas nama masyarakat berharap penuh kepada Presiden untuk bisa memberikan respons. Kemudian langsung menjalankan perintah MK ini sesuai dengan yang diamanatkan oleh MK. Karena seluruh resource yang kita punya, semua kebijakan kita punya, semua anggaran kita punya, infrastruktur sampai di bawah ini kita sudah punya. Tinggal butuh perintah dan kebijakan dari Presiden, maka semua bisa dilaksanakan dengan baik.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Alfons Yoshio Hartanto