Menuju konten utama

Sekolah Gratis Negeri dan Swasta, Mungkinkah Bisa Terwujud?

Implementasi pendidikan dasar gratis menjadi tantangan bagi Indonesia yang memiliki jumlah penduduk dan daerah yang luas. Mungkinkah terwujud?

Sekolah Gratis Negeri dan Swasta, Mungkinkah Bisa Terwujud?
Para siswa melaksanakan upacara bendera saat hari pertama masuk sekolah di SDN Duren Tiga 1, Jakarta, Senin (10/7). tirto.id/ANdrey Gromico

tirto.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan pemerintah wajib menjamin terselenggara pendidikan dasar gratis bagi seluruh anak Indonesia, yang berada di sekolah negeri maupun sekolah/madrasah swasta. Hal itu tertuang pada putusan MK Nomor 4/PUU-XXII/2024, yang terbit Selasa (27/5/2025). MK memutuskan bahwa pendidikan dasar merupakan tanggung jawab konstitusional pemerintah sesuai Pasal 31 Ayat (2) dan (4) UUD NRI Tahun 1945.

Dalam putusannya, MK mengabulkan untuk sebagian permohonan uji materi Pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan beberapa warga sipil. Dengan begitu, MK menegaskan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Dalam pertimbangan hukum MK yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih, Mahkamah menilai berkenaan dengan frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas, saat ini penerapannya cuma berlaku bagi sekolah negeri. Praktik demikian dinilai menimbulkan kesenjangan akses pendidikan dasar bagi peserta didik yang terpaksa bersekolah di sekolah/madrasah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri.

Negara, dalam kacamata MK, memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar. Oleh karena itu, frasa "tanpa memungut biaya”, pelaksanaannya dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapat tempat di sekolah negeri sehingga harus bersekolah di swasta dengan beban biaya yang lebih besar.

Sidang Mahkamah Konstitusi

Sidang Mahkamah Konstitusi

Dengan begitu, MK menekankan, aspek krusial dalam implementasi putusan tersebut yakni negara memastikan bahwa anggaran pendidikan benar-benar dialokasikan efektif dan adil, termasuk bagi masyarakat yang menghadapi keterbatasan akses terhadap sekolah negeri.

Dalam hal ini, negara diwajibkan menyediakan kebijakan afirmatif berupa subsidi atau bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat yang cuma memiliki pilihan untuk bersekolah di sekolah/madrasah swasta tersebab keterbatasan daya tampung sekolah negeri.

Pengamat pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, menilai bahwa putusan MK merupakan langkah positif untuk menebalkan kewajiban konstitusional negara dalam menjamin pendidikan dasar. Sebab seharusnya, kata dia, sebelum ada putusan MK pun negara seharusnya memberikan jaminan, kepastian dan pembiayaan pendidikan dasar secara gratis, tanpa memandang status sekolah.

“Itu prinsip yang berlaku universal di negara-negara manapun bahwa pendidikan dasar itu dikelola dengan tanggung jawab negara, betul-betul gratis,” kata Rakhmat kepada wartawan Tirto, Rabu (28/5/2025).

Rakhmat menilai, public school atau sekolah swasta di luar negeri sudah menerapkan kerja sama dengan pemerintah setempat, misalnya, lewat jaminan subsidi tahun ajaran baru. Hal ini juga yang semestinya dilakukan secara berkeadilan di Indonesia dengan tetap membuka kelonggaran untuk mengelola atau menjalankan opsi pembiayaan mandiri.

“Tapi secara prinsip ya negara tetap memberikan jaminan, kepastian mengenai pembiayaan adalah tanggung jawab negara,” lanjut Rakhmat.

Memang implementasi dari pendidikan dasar gratis dinilai Rakhmat menjadi tantangan bagi Indonesia yang memiliki jumlah penduduk dan daerah yang luas. Namun, jika dilihat secara kemampuan anggaran, Rahkmat menilai hal tersebut masih sangat memungkinkan.

Caranya, kata dia, dengan memprioritaskan mandatory spending biaya pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD untuk pendidikan dasar. Pasalnya, ketentuan anggaran 20 persen khusus pendidikan tersebut merupakan mandat UUD 1945, tetapi diimplementasikan secara tidak efektif.

“Jadi perlu ada refocusing anggaran yang mau tidak mau harus dilakukan. Termasuk dari anggaran-anggaran secara keseluruhan dari APBN dan APBD, anggaran-anggaran yang memang bisa difokuskan ke dalam pembiayaan pendidikan dasar,” ucap Rakhmat.

Sementara itu, pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, memandang putusan MK sebagai keberpihakan dari prinsip bahwa pendidikan adalah public goods, atau barang yang semestinya bisa diakses luas oleh masyarakat. Maka dalam konteks negara, pemerintah mestinya bertanggung jawab dalam penyelenggaraan dan pembiayaannya.

Sayangnya, semangat yang sama faktanya juga sudah menjadi dasar kebijakan pemerintah selama ini. Misalnya lewat program Wajib Belajar 9 tahun, yang artinya anak usia SD hingga SMP harus bersekolah formal. Namun fakta di lapangan tidak seindah harapan itu.

Masih ada hal-hal yang menghalangi anak-anak Indonesia mengakses layanan pendidikan dasar, terutama dari sisi biaya. Bahkan, masih terjadi pungutan liar yang dilakukan sekolah negeri terhadap siswanya.

“Di sekolah negeri pun yang sudah memperoleh BOS, siswa-siswa juga tetap keluar biaya untuk hal-hal pendukung belajar, seperti seragam, transportasi, dan lainnya,” kata Edi kepada wartawan Tirto, Rabu (28/5/2025).

Di sisi lain, dukungan BOS untuk sekolah yang semestinya digunakan bagi keperluan siswa, justru belum sepenuhnya mendukung upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Hal ini juga yang mesti dibenahi pemerintah, sebab bantuan BOS pada sekolah/madrasah swasta juga ada yang dapat meski terdapat perbedaan nominal dengan sekolah negeri.

Menurut Edi, putusan MK ini perlu dikawal hingga tingkat operasional pelaksanaan. Misal, soal konsekuensi hukum bagi pemerintah pusat dan daerah yang perlu diperjelas. Termasuk alokasi anggaran pendidikan yang akan dapat betul-betul menggratiskan pendidikan dasar.

“Jangan sampai karena ego sektoral antarkementerian, membuat bagian Kemendikdasmen anggaran pendidikannya lebih sedikit dibanding kementerian atau lembaga lain yang punya layanan pendidikan,” ujar Edi.

Di Indonesia, anggaran pendidikan 20 persen dari APBN memang tak sepenuhnya dikelola oleh kementerian bidang pendidikan dasar dan menengah serta kementerian dalam bidang pendidikan tinggi. Anggaran dipecah-pecah untuk sejumlah kementerian/lembaga lain yang juga mengalokasikan biaya pendidikan. Jika dirinci, terdapat 22 K/L yang mendapat bagian anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, termasuk daerah.

Hal ini yang sering dikritik para pemerhati kebijakan pendidikan, sebab anggaran pendidikan jadi dinilai tidak berfokus pada pembiayaan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang dikelola oleh Kemdikdasmen, Kemdiktisaintek, dan Kementerian Agama.

Anggaran sebesar 20 persen dari total anggaran negara maupun daerah harus difokuskan penuh pada urusan pendidikan.

Tahun ini misalnya, anggaran Kemdikdasmen cuma sebesar Rp33,7 triliun (4,63%) dari total 20 persen anggaran pendidikan yang dialokasikan Rp724,2 triliun dari APBN. Anggaran di Kemdiktisaintek juga hanya Rp57,7 triliun atau 7,96 persen. Sementara Kementerian Agama mendapat Rp65,9 triliun (9,10 persen).

Sisanya, anggaran pendidikan di kementerian/lembaga yang juga menyelenggarakan biaya pendidikan, dialokasikan sebanyak 14,42 persen atau Rp105,1 triliun. Padahal, apabila hal ini disoroti proporsional, Kemendikdasmen memiliki tanggung jawab memastikan mandat pendidikan dasar sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 UUD 1945 untuk menjalankan program Wajib Belajar 9 tahun. Kini bahkan sudah disepakati wajib belajar 13 tahun.

Realisasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN ini juga belum maksimal. Tahun 2020 lalu, anggaran pendidikan terealisasi mencapai 93,09 persen, namun turun jadi 87,2 persen pada 2021. Setahun berikutnya turun lagi menjadi 77,3 persen di 2022. Sementara di tahun 2023 meningkat tipis jadi 79,56 persen.

Tahun lalu, anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sebanyak Rp621,28 triliun, namun yang berhasil terealisasi Rp513,38 triliun atau cuma 16,45 persen dari APBN. Ada sekitar Rp111 triliun yang tidak terealisasi, padahal sudah dimandatkan konstitusi 20 persen APBN.

Tidak Dipukul Rata

Sementara itu, dalam pertimbangan hukumnya, MK tidak memukul rata agar semua sekolah swasta digratiskan. MK memberikan ruang bagi sekolah/madrasah swasta tertentu tetap bisa memungut biaya dari peserta didik asalkan sesuai dengan prinsip undang-undang.

Sekolah swasta tertentu yang dimaksud MK masih diperbolehkan memungut biaya, antara lain, sekolah swasta yang menawarkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional dan sekolah swasta yang selama ini tidak menerima bantuan anggaran dari pemerintah.

MK dalam hal ini menyoroti sejumlah sekolah swasta yang menerapkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional, seperti kurikulum internasional atau keagamaan, yang merupakan kekhasan dan dijadikan sebagai nilai jual atau keunggulan sekolah tersebut.

Sebab, sekolah swasta seperti itu dipengaruhi tujuan peserta didik mengenyam pendidikan dasar. Mereka yang memilih bersekolah di sekolah swasta dengan kurikulum tersendiri tidak sepenuhnya didasarkan atas ketiadaan akses terhadap sekolah negeri, melainkan lebih kepada alasan preferensi.

Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai pengecualian sudah tepat dilakukan MK. Menurutnya, memang tak seluruh sekolah swasta bisa dipukul rata. Dalam hal pembiayaan oleh negara, sebetulnya beberapa sekolah swasta juga sudah menerima bantuan BOS dan bantuan lainnya.

“Nah sekolah ini juga ada kata kunci dari MK yakni 'selektif' dan 'afirmatif'. Jadi tidak bisa dipukul rata,” kata Iman kepada wartawan Tirto, Rabu (28/5/2025).

Secara kemampuan, ungkap Iman, tidak semua sekolah swasta memiliki kemampuan yang sama. Ada sekolah swasta yang memang mahal, dan biasanya diisi oleh siswa dari keluarga yang berkemampuan. Di sisi lain, ada pula sekolah swasta yang kekurangan mutu sebab tak memiliki dukungan biaya.

Agar efektif, pemerintah perlu membantu sekolah swasta yang memang membutuhkan. Hal ini agar sekolah swasta yang memang tidak membutuhkan bantuan pemerintah, tidak harus dipaksakan.

Pasalnya, sekolah swasta yang menengah bawah dan kekurangan itu berdampak juga pada kesejahteraan guru. Pemerintah perlu selektif memberikan izin sekolah swasta agar tidak membiarkan pendirian sekolah yang gagal menjamin kesejahteraan guru dan tidak urgensi didirikan sebab sudah ada banyak sekolah di daerah tersebut.

“Yang disebut sebagai sekolah swasta itu adalah sekolah yang membantu penyelenggaraan pendidikan ketika jumlah sekolah negeri kurang. Nah sekolah begini yang mesti diapresiasi Pemerintah misalkan dalam bentuk bantuan,” ucap Iman.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, setuju dengan prinsip pengecualian yang diputuskan MK bagi sekolah swasta tertentu. Teknisnya, kata dia, putusan MK membuat Pemda wajib memastikan jumlah penerimaan calon murid baru. Usai muncul angkanya, Pemda wajib menyediakan bangku sekolah sejumlah dengan calon peserta didik.

Misal, kata dia, dalam suatu daerah ada 1.000 calon peserta didik baru. Maka, Pemda wajib menjamin 1.000 peserta didik tersebut masuk sekolah, baik itu negeri maupun swasta.

“Maka harus dihitung sekolah negeri bangkunya bisa menampung berapa? Oh, misal di daerah tadi sekolah negeri cuma bisa menampung 300, kan kurang 700 nih. Nah itu harus disediakan Pemda bekerjasama dengan sekolah swasta,” ucap Ubaid kepada wartawan Tirto, Rabu (28/5).

Maka bagi sekolah swasta yang memang punya kurikulum dan pembelajaran sendiri, tidak dipaksa untuk bekerja sama dengan pemerintah. Namun, ini yang harus digarisbawahi, saat di suatu daerah ada sekolah swasta yang sebetulnya dibutuhkan menampung calon peserta didik karena tidak mendapatkan kursi di sekolah negeri, tapi menolak bekerja sama dengan pemerintah, sekolah tersebut perlu disanksi.

“Ya kalau ada begitu [kasusnya] disanksi dong, dia mencegah akses pendidikan yang sudah diputus oleh MK dan sesuai UU Sidiknas,” kata Ubaid menegaskan.

Menurut Ubaid, Presiden Prabowo Subianto harus segera mengambil sikap tegas dengan menerbitkan kebijakan konkret usai adanya putusan MK. Ini menjadi kesempatan emas bagi Presiden menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dan mewujudkan keadilan pendidikan yang telah lama dinantikan.

Ubaid menegaskan, putusan ini tidak bisa hanya dialamatkan ke Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah semata, tapi juga perlu peran Presiden selaku Kepala Negara. JPPI menilai angaran pendidikan 20 persen APBN sudah lebih dari cukup untuk menggratiskan pendidikan dasar di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta.

Namun, selama ini, anggaran tersebut terpecah dan dikelola oleh puluhan kementerian dan lembaga yang tidak terkait langsung dengan pendidikan, menyebabkan inefisiensi dan salah sasaran. Presiden adalah otoritas tertinggi yang mampu mereformasi tata kelola anggaran.

“Implementasi putusan MK memerlukan payung hukum turunan yang kuat seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Proses pembentukan regulasi ini berada di bawah kendali Presiden sebagai kepala pemerintahan. Tanpa arahan tegas dari Presiden, regulasi ini bisa tertunda atau tidak efektif,” tutur Ubaid.

Hasan Nasbi

Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Minggu (20/10/2024). tirto.id/Irfan AMin

Menanggapi hal ini, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenanan, Hasan Nasbi, mengatakan pihaknya masih mempelajari putusan MK yang memerintahkan pendidikan dasar dijamin negara. Hasan juga mengaku belum menerima salinan resmi putusan tersebut dan belum membaca secara rinci materi putusannya.

“Coba cek juga dulu ke Kementerian Pendidikan Dasar [dan] Menengah. Kita juga belum baca putusannya. Saya baru dengar saja kemarin dari berita,” kata Hasan usai membuka acara Public Diplomacy di Jakarta Pusat pada Rabu (28/5/2025).

Setelahnya, kata Hasan, jika sudah mendapatkan salinan dan memahami isi putusan, pihak Istana akan langsung meminta pentunjuk dan arahan langsung Presiden Prabowo Subianto.

“Nanti kita tentu minta petunjuk dan arahan dari Presiden,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH GRATIS atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang