tirto.id - Sidang perdana kasus perundungan mahasiswa mengungkap sejumlah fakta yang menunjukkan kebobrokan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi Universitas Diponegoro (Undip).
Dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5/2025), Jaksa Penuntut Umum membeberkan adanya sistem kasta junior-senior hingga praktik pemerasan yang diwajarkan pejabat kampus.
"Terdapat hierarki atau sistem kasta yang berlaku di lingkungan PPDS Undip," ujar Jaksa Shandy Handika saat membaca surat dakwaan terdakwa perundungan.
Terdapat tujuh macam kasta mahasiswa atau dokter residen PPDS Undip. Masing-masing kasta memiliki julukan hingga rincian tugas-tugasnya selama menjalani proses pendidikan dokter spesialis.

Kasta pertama adalah "Kuntul". Kuntul merupakan julukan bagi mahasiswa PPDS Anestesi tingkat pertama. Sebagai residen paling junior, kasta ini wajib melayani dan loyal ke senior semua tingkatan di atasnya.
Secara spesifik, tugas Kuntul antara lain menyiapkan administrasi, menyiapkan ruang operasi jam pertama, menyiapkan makan prolong atau makan malam untuk seluruh senior dan dokter yang lembur.
Kuntul juga bertugas menyediakan logistik di ruang bunker anestesi, menyiapkan atau booking tempat olahraga, menyiapkan transportasi untuk kegiatan senior maupun yang akan digunakan untuk melayani tamu.
"Kuntul juga diwajibkan mengerjakan tugas ilmiah para senior atau membayar jurnal tugas senior. Bahkan juga membayar iuran di luar biaya pendidikan untuk keperluan senior," beber Jaksa.
Kasta kedua dalam PPDS adalah "Kambing" akronim dari kakak pembimbing. Kambing merupakan julukan bagi mahasiswa PPDS Anestesi Undip tingkat dua.
Kambing bertugas membimbing dan mendidik junior Kuntul yang melekat sampai semester akhir. Ia wajib melayani senior serta dosen dengan fasilitas dan biaya dari Kuntul.
Kasta ketiga dijuluki Middle Senior. Yaitu senior mahasiswa PPDS tingkat tiga dan empat. Ia bertugas membimbing junior satu tingkat di bawahnya.
Mahasiswa kasta ini bertugas monitoring pasien yang sedang operasi, melaporkan pasien yang akan operasi besok, dan melayani senior serta dosen dengan fasilitas dan biaya dari Kuntul.
Kasta keempat adalah Senior. Jaksa membeberkan, kasta ini diduduki mahasiswa PPDS tingkat lima. Mereka bertugas membimbing junior satu tingkat di bawahnya dan dibimbing oleh senior satu tingkat di atasnya.
Dalam praktiknya di rumah sakit, Kasta Senior bertugas membius pasien di ruang operasi jika dosen berhalangan dan bertanggung jawab terhadap junior di ruang operasi. Mereka juga wajib melayani dan serta dosen dengan biaya dari Kuntul.

Kasta kelima yakni COC singkatan dari Chief of Chief. Kasta ini ditempati mahasiswa PPDS tingkat 6 dan 7. Mereka secara bergiliran setiap 15 hari mengendalikan seluruh dokter residen dari tingkatan Kuntul sampai Senior.
"Kasta ini juga menentukan jadwal kuliah praktik, menentukan menu makanan, dan perizinan tingkatan Kuntul sampai dengan Senior," ungkap Jaksa.
Kasta keenam adalah Dewan Syuro, julukan untuk mahasiswa PPDS tingkat delapan atau tingkat akhir yang telah selesai menjalankan tugas sebagai COC.
Dewan Syuro bertugas mendidik junior satu tingkat di bawahnya. Serta melayani dokter yang menjadi dosen, pelayanan dilakukan dengan fasilitas dan biaya dari kasta Kuntul.
Kasta tertinggi disematkan kepada dokter penanggung jawab pelayanan atau DPJP. DPJP merupakan dosen sekaligus dokter yang menangani pasien di rumah sakit pendidikan.
Aturan yang Menindas Junior
Jaksa Sandhy mengungkap, sistem kasta antar-tingkatan itu bukan sebatas julukan, melainkan benar-benar dipraktikkan dalam proses pendidikan di PPDS Anestesi Undip.
"Struktur kasta bukan secara simbolik, tetapi dijalankan secara sistematik," katanya.
Dalam praktiknya terdapat ancaman kekerasan fisik dan psikologis. "Setiap bentuk pembangkangan dan ketidakpatuhan dapat berdampak pada evaluasi akademik dan pengucilan dari kegiatan pembelajaran," beber Jaksa.
Sistem kasta yang menindas junior ini diberlakukan secara turun-temurun dan dikuatkan melalui doktrin. Bahkan, di PPDS Anestesi Undip terdapat aturan yang secara eksplisit menempatkan junior sebagai objek perundungan.
Jaksa mengatakan, mahasiswa junior PPDS wajib menaati seniornya dan menjalankan aturan yang disebut sebagai Pasal Anestesi dan Tata Krama Anestesi.
Pasal Anestesi berisi: "Senior selalu benar. Bila senior salah, kembali ke pasal satu. Hanya ada 'ya' dan 'siap'. Yang enak hanya untuk senior. Jangan pernah mengeluh, karena semua pernah mengalami. Jika masih mengeluh, siapa suruh masuk anestesi.

Tata Krama Anestesi berisi perintah yang wajib ditaati junior. Mulai dari izin bila bicara dengan senior, semester nol hanya bisa bicara dengan semester satu, dilarang bicara dengan semester di atasnya, harus senior yang bertanya langsung.
Menurut Jaksa Sandhy, senioritas di PPDS merupakan bentuk intimidasi tidak manusiawi karena menumbuhkan atmosfer relasi kuasa absolut yang membuat junior terpaksa, takut, cemas, hingga stres.
Dalam suatu kesempatan, senior PPDS Undip memarahi juniornya yang dianggap tidak disiplin dan melakukan kesalahan berulang. Senior melontarkan kata-kata kasar seperti "goblok", "lelet", "payah", "bangsat".
Senior PPDS Undip, kata Jaksa, bahkan memberikan hukuman kepada juniornya berupa berdiri sesuai perintah senior. "Hukuman berdiri kurang lebih selama 1 jam dan difoto," ujarnya.
Setelah hukuman berdiri, para junior dipersilakan duduk untuk dilakukan evaluasi dari pukul 02.00 sampai 03.00 WIB di tempat praktik, yakni Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) Dr Kariadi, Semarang.
Tradisi Pemerasan
Sistem kasta dan pengkultusan pada senior diperparah dengan adanya fakta mahasiswa junior PPDS Anestesi Undip menjadi korban pemerasan, dipaksa iuran di luar biaya resmi pendidikan.
Mahasiswa junior wajib menyetor iuran yang mulanya dikumpulkan di bendahara angkatan. Hasil iuran ada yang digunakan untuk keperluan senior, ada pula yang disetor ke pejabat Prodi Anestesi Undip.
Dalam sidang dakwaan, Jaksa mengungkap mahasiswa PPDS angkatan 76 ditarik iuran hingga ratusan juta untuk memenuhi kebutuhan senior seperti makan saat lembur, transportasi senior, dan membayar jasa joki tugas senior.
Jaksa menemukan bukti transfer dana untuk keperluan makan lembur senior selama kurang lebih 6 bulan mencapai ratusan juta. "Dana untuk makan prolong sebesar Rp766 juta," jelasnya.
Jaksa juga menemukan bukti pembayaran joki tugas senior dalam dua tahap, masing-masing Rp77,2 juta dan Rp20,8 juta. "Total uang untuk membayar joki tugas sebesar Rp98 juta," ungkapnya.
Di luar pemenuhan kebutuhan senior, mahasiswa junior PPDS masih harus menyetor iuran kepada pejabat Prodi. Jaksa menganggap penarikan iuran oleh pejabat kampus ini sebagai bentuk pemerasan atau pungutan liar (pungli).

Jaksa menyebut Taufik Eko Nugroho selaku Kaprodi Anestesiologi dibantu Sri Maryani selaku Staf Administrasi Prodi Anestesiologi, mewajarkan dan turut menarik manfaat dari praktik pemerasan.
Secara konsisten, Kaprodi mewajibkan mahasiswa PPDS membayar iuran ilegal yang dinamai biaya operasional pendidikan (BOP). Besaran iuran per masing-masing mahasiswa bisa mencapai Rp80 juta.
"Mahasiswa residen wajib membayar iuran sampai Rp80 juta per orang," ungkap Jaksa.
Dalam kurun waktu 2018--2023, terdakwa Sri Maryani atas perintah Kaprodi, mengumpulkan dana BOP hasil iuran mahasiswa PPDS lintas angkatan sejumlah Rp2,4 miliar. Uang ditampung dalam rekening atas nama Sri Maryani.
"Tercatat terdakwa Sri Maryani menerima dana hasil pungli dengan jumlah total Rp2,4 miliar," kata Jaksa Sandhy. Hasil pungli tidak pernah dilaporkan kepada institusi Undip.
Dana BOP tersebut diklaim untuk memenuhi keperluan pendidikan, seperti ujian CBT, proposal tesis, konferensi nasional, jurnal reading, publikasi ilmiah, serta kegiatan lainnya yang berkaitan dengan akademik.
Dana juga digunakan untuk kegiatan lain, seperti uang lembur sekretariat, uang saku penilai dan pembimbing tesis, konsumsi rapat, dan berbagai pengeluaran lain yang seharusnya tidak menjadi tanggungan mahasiswa PPDS.
Berdasarkan ketentuan, mahasiwa PPDS Anestesi Undip hanya dibebani biaya resmi berupa Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) Rp15,5 juta per semester dan Iuran Pendaftaran (IPI) sekali sebesar Rp25 juta.
Jaksa menyatakan, pejabat Prodi melanggengkan praktik pungli karena mereka juga menikmati hasilnya. Setidaknya, terdakwa Taufik selama menjabat Kaprodi menerima jatah Rp177 juta.
"Total dana BOP yang telah diterima terdakwa Taufik selama menjabat Kaprodi sebesar Rp177 juta," ungkap Jaksa Sandhy.
Sementara terdakwa Sri Maryani mendapat honor Rp400 ribu per bulan yang diambilkan dari hasil pungli. "Total terdakwa Sri Maryani menerima kurang lebih Rp24 juta," imbuhnya.
Junior Meregang Nyawa
Tradisi pemerasan di lingkungan PPDS Anestesi Undip sangat merugikan mahasiswa. Jaksa mendapat informasi bahwa mahasiswa lintas angkatan sebenarnya merasa keberatan, tertekan, dan khawatir atas iuran BOP. Namun, mereka tidak berdaya menolak.
"Kaprodi menciptakan persepsi bahwa kepesertaan dalam ujian dan kelancaran proses pendidikan sangat ditentukan oleh ketaatan membayar iuran BOP," bebernya.
Derita mahasiswa junior lebih berat. Pasalnya, mereka masih harus diperbudak dengan adanya sistem relasi kuasa antara junior ke senior dan aturan yang sangat tidak manusiawi.
"Aturan yang ada di lingkungan PPDS berupa Pasal Anestesi dan Tata Krama Anestesi, secara eksplisit menempatkan mahasiswa baru dalam posisi tunduk tanpa pilihan terhadap senior," jelasnya.
Implementasi Pasal Anastesi dan Tata Krama Anastesi serta rangkaian ancaman dari senior tersebut berdampak pada hilangnya nyawa seorang mahasiswa junior PPDS bernama Aulia Risma Lestari.
Tindakan senior, kata Jaksa, berdampak buruk pada kondisi psikologis juniornya. Aulia Risma diketahui sampai depresi hingga memutuskan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.
"Faktor utama yang ditemukan pada almarhum dokter Aulia Risma adalah hilangnya rasa kepercayaan diri, frustrasi, ketakutan yang mendalam, hilangnya kemampuan untuk bertindak berkontrol serta penghayatan ketidakberdayaan," ujar Jaksa.
"Dampak ini menjadi masalah psikologis yang serius, mengarah pada gangguan suasana hati, depresi yang berujung pada tindakan mengakhiri hidupnya sendiri," imbuhnya.
Kamatian almarhumah Aulia Risma inilah yang menjadi pemicu pengungkapan kasus perundungan di lingkungan PPDS Anestesi Undip.
Kini, senior almarhum, Zara Yupita Azra dan dua pejabat Prodi Anestesi, Taufik Eko dan Sri Maryani, tengah diuji pertanggungjawabannya di muka persidangan. Mereka didakwa dengan pasal berlapis.

Perlu Perombakan Sistem
Keluarga almarhumah Aulia Risma berharap tiga tersangka (kini terdakwa) dijatuhi hukuman penjara maksimal serta sanksi tambahan berupa pemecatan sebagai dokter maupun akademisi kampus.
"Ya, kan, nggak pantas lagi mereka berkarir di dunia kedokteran maupun dunia pendidikan," ujar Misyal Achmad, kuasa hukum keluarga almarhumah, saat dikonfirmasi pasca pelimpahan perkara perundungan di kejaksaan, Kamis (15/5/2025).
Keluarga korban berharap agar para pelaku dihabisi karirnya. Permintaan menghabisi karir tentunya bukan dengan cara-cara premanisme, melainkan melalui prosedur hukum yang berlaku.
"Saya menganggap mereka sakit secara mental, tega membully, memeras, mengancam. Sehingga tidak layak lah, bagaimana nanti pasiennya, bagiamana nanti mahasiswanya," kritik Misyal.
Sementara itu, psikolog Soegijapranata Catholic University, Indra Dwi Purnomo turut menyoroti kasus perundungan di PPDS Undip, terlebih ada fakta sidang mengenai sistem kasta senioritas dan aturan yang menindas junior.
Dia menganggap lumrah istilah junior-senior, termasuk di lingkungan pendidikan. Namun, Indra mengaku prihatin ketika hierarki junior-senior menjadi kasta sosial patologis yang dimanfaatkan oleh oknum.
"Sistem itu mempermudah senior untuk melakukan eksploitasi, karena korban enggak lagi dipandang sebagai seorang manusia yang setara, melainkan objek yang dieksploitasi," kata Indra ketika dihubungi wartawan di Semarang, Selasa (27/5/2025).
Siklus perundungan hingga kekerasan akan berdampak pada psikologis korban. Hal itu menyebabkan pelaku tidak peka terhadap orang lain. Padahal dalam kasus ini, pelaku merupakan tenaga medis yang berhubungan langsung dengan pasien.
Wakil Dekan III Fakultas Psikologi tersebut mendorong perlunya perombakan sistem pendidikan kedokteran. Indra menekankan pentingnya membongkar sistem tak tertulis yang memungkinkan praktik kekerasan terjadi.
"Perlu merombak bagaimana sistem pengawasannya, pengecekan kesehatan mentalnya, pendampingannya supaya mereka bisa menjalani pendidikan dengan baik," ucapnya.
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id


































