tirto.id - Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) ditengarai semakin merosot dalam kesibukan transisi pemerintahan. SETARA Institute mencatatnya dalam laporan mengenai situasi KBB 2024 di Indonesia yang baru-baru ini dirilis. Kondisi KBB di 2024 menunjukkan sinyal kuat regresi atau kemunduran pada penghujung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Sepanjang 2024, SETARA Institute mencatat terjadi 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran KBB. Jumlah ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan 2023, yakni terjadi 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran KBB. Persoalan lainnya, sebanyak 159 tindakan tersebut dilakukan aktor negara, sementara 243 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara.
Data KBB disusun berdasarkan hasil pemantauan terhadap berbagai pelanggaran KBB yang terjadi sepanjang tahun. SETARA Institute menapis data melalui laporan korban dan saksi, jaringan pemantau di berbagai wilayah, serta triangulasi dengan pemberitaan media. Laporan 2024 yang baru dirilis tahun ini juga menandai aktivitas pemantauan kondisi KBB oleh SETARA Institute yang telah berlangsung selama 18 tahun.
“Tingginya kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan selama 10 tahun terakhir menjadi gambaran kegagalan negara dalam memastikan terbangunnya ekosistem toleransi,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, dalam keterangannya kepada Tirto, Selasa (27/5/2025).

SETARA Institute memantau bahwa transisi pemerintahan menuju kepemimpinan Presiden Prabowo juga belum sepenuhnya menunjukkan tanda komitmen kuat dalam pemajuan KBB. Masih ditemukan beberapa peristiwa pelanggaran KBB setelah lahirnya kepemimpinan baru.
Menurut Halili, hal ini menunjukkan pemerintah saat ini belum serius dalam mewujudkan visi dan misi Asta Cita dalam komitmen meningkatkan toleransi antarumat beragama. Salah satu faktor dugaan peningkatan jumlah pelanggaran KBB pada 2024 adalah dinamika politik nasional, khususnya pelaksanaan Pemilihan Presiden dan anggota legislatif pada 14 Februari, serta Pilkada serentak pada 27 November.
Meski politik identitas berbasis agama tak terjadi masif seperti 2014 dan 2019, tetapi temuan SETARA menunjukkan politisasi agama masih muncul di sejumlah daerah. Selain itu, perhatian pemerintah terhadap isu KBB juga cenderung menurun menjelang akhir masa kepemimpinan Presiden Jokowi.
“Fokus pemerintah yang lebih tertuju pada agenda transisi kekuasaan menyebabkan isu pemajuan kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi kurang mendapat perhatian,” ujar Halili.
Sementara itu, aktor negara sebagai pelaku pelanggaran KBB tercatat masih cukup tinggi. Tindakan diskriminatif oleh aktor negara pada 2024 mencapai 50 kasus, sementara untuk tindakan toleransi oleh masyarakat tercatat 73 kasus. Angka ini mengalami lonjakan cukup signifikan dibandingkan dengan tindakan intoleransi masyarakat (26 kasus) dan diskriminatif aktor negara (23 kasus) 2023.

Tahun lalu, angka penggunaan pasal penodaan agama turut meningkat menjadi 42 kasus dibandingkan tahun 2023 dengan 15 kasus. Di antaranya, terdapat kasus pendakwaan (7) dan penetapan tersangka penodaan agama (7) dilakukan oleh aparat negara. Juga tercatat 29 kasus pelaporan penodaan agama oleh masyarakat.
Di sisi lain, meskipun jumlah gangguan rumah ibadah menurun dari 65 kasus pada 2023 menjadi 42 kasus pada 2024, angka ini dinilai SETARA masih menunjukkan permasalahan pendirian tempat ibadah yang belum terselesaikan secara sistemik.
Dari total 159 tindakan pelanggaran KBB yang dilakukan aktor negara, sebagian besar berasal dari institusi pemerintah daerah (50 tindakan), diikuti kepolisian (30), Satpol PP (21), serta masing-masing 10 tindakan oleh TNI dan Kejaksaan, dan enam oleh Forkopimda.
Pelanggaran dari aktor non-negara justru menunjukkan pola mengkhawatirkan. Pelanggaran terbanyak dilakukan ormas keagamaan (49 tindakan), disusul kelompok warga (40), individu warga (28), Majelis Ulama Indonesia atau MUI (21), ormas umum (11), individu (11), serta tokoh masyarakat (10). Jika dibandingkan dengan tahun 2023, kontribusi pelanggaran oleh ormas keagamaan meningkat signifikan.
“Ini menunjukkan kecenderungan menguatnya konservatisme ruang keagamaan yang kerap kali ditandai oleh penyempitan cara pandang terhadap keberagaman agama dan keyakinan,” ujar Halili.
Pemerintah Baru Perlu Bertindak
Peneliti KBB dari SETARA Institute, Ahmad Fanani Rosyidi, menilai kondisi KBB ini menjadi ujian krusial bagi kepemimpinan nasional baru di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Hal ini sekaligus menjadi kesempatan strategis untuk membalikkan tren negatif tersebut melalui kepemimpinan yang menjadikan pemajuan KBB sebagai agenda prioritas pemerintah.
Pemerintahan sebelumnya, kata Fanani, cenderung abai terhadap isu-isu kebebasan sipil demi berfokus pada agenda ekonomi-politik. Masalahnya, hal itu justru yang memperburuk persepsi publik terhadap keberpihakan negara dalam isu hak asasi manusia.
Tren tersebut sebaiknya tidak berulang pada pemerintahan baru. Fanani menilai, untuk bisa mewujudkannya membutuhkan langkah yang konkret. Seperti mereformasi regulasi dengan revisi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 dan moratorium pasal penodaan agama.
Selain itu, perlu dilakukan penguatan kapasitas birokrasi dan aparat penegak hukum dalam menangani kasus KBB secara adil. Negara harus menunjukkan kepemimpinan moral dan sosial yang tegas dalam mendorong budaya toleransi di seluruh lapisan masyarakat, bukan sekadar simbolisme politik.
“Presiden Prabowo Subianto penting untuk menyelaraskan agenda pemajuan KBB dan toleransi menjadi bagian agenda prioritas pembangunan negara di Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2024-2045 dan RPJMN 2024-2029,” ucap Fanani.

Peristiwa pelanggaran terhadap KBB pada tahun lalu sampai di awal transisi pemerintahan Prabowo-Gibran memang beberapa kali mencuat dan menjadi sorotan. Misalnya, kasus penyerangan mahasiswa Katolik di Tangsel pada Mei tahun lalu. Di bulan yang sama, juga ramai terkait narasi kontra terhadap kejadian rombongan biksu Thudong yang singgah dan mendoakan masyarakat di Masjid Baiturrohmah Bengkal, Temanggung.
Sementara di awal kepemimpinan Presiden Prabowo, mencuat peristiwa penolakan ibadah Natal di perumahan kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat pada Desember 2024. Selain itu, di bulan yang sama juga muncul larangan pemerintah Kabupaten Kuningan atas pertemuan tahunan Jalsah Salanah Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Desa Manislor.
Pada Februari 2025, terjadi pemasangan spanduk penolakan warga terkait pendirian gereja, yang terpampang di depan kompleks perumahan Polda, di wilayah Biringkanaya, Makassar. Selain itu, pada Rabu 15 April 2025, Forum Komunikasi Warga Arcamanik Berbhineka turut bersurat kepada Kapolsek Arcamanik Bandung untuk aksi penolakan penggunaan Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik sebagai tempat ibadah Misa bagi Jemaat Persatuan Gereja Amal Katolik (PGAK) Santa Odilia.
Sebelumnya, warga juga melakukan penolakan terhadap ibadah Rabu Abu yang merupakan awal permulaan masa Paskah umat Katolik di GSG Sukamiskin, Arcamanik, Kota Bandung. Aksi penolakan digelar pada tanggal 5 Maret 2025.
Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menilai bahwa konteks tahun politik dan masa transisi kekuasaan sepanjang 2024-2025 awal, menciptakan dua kondisi yang mempengaruhi KBB. Pertama, naiknya sentimen identitas untuk mobilisasi dukungan politik.
Kedua, ditambah lemahnya perhatian negara terhadap isu-isu HAM, termasuk KBB. Dalam banyak kasus, kata Felia, pemerintah cenderung menghindari kebijakan sensitif yang bisa menimbulkan resistensi publik atau kelompok mayoritas seperti wacana evaluasi PBM 2006 meskipun dengan Koalisi KBB sudah sempat dibahas akan dinaikkan ke dalam Perpres.
Menurut hasil riset TII tahun lalu, persyaratan administratif pembangunan rumah ibadah dalam PBM 2006 masih menyulitkan penganut agama dan kepercayaan minoritas. Pemerintah daerah dan aparat belum melakukan pendekatan pemenuhan hak asasi manusia dalam penyelesaian konflik pendirian rumah ibadah. Sementara, masih ada cara pikir dominasi mayoritas di masyarakat.
“Setelah transisi ke pemerintahan Prabowo-Gibran, kita melihat bahwa toleransi memang tercantum dalam Asta Cita 8, namun hingga kini belum ada langkah konkret yang mencerminkan komitmen ini,” ucap Felia kepada wartawan Tirto, Selasa (27/5/2025).

Menurut Felia, kasus pelanggaran KBB terus berulang karena akar permasalahannya belum disentuh secara serius, yakni regulasi yang diskriminatif (PBM 2006) masih berlaku. Sebab dalam praktiknya sering menjadi alat legitimasi penolakan terhadap kelompok minoritas.
“Fakta bahwa PBM ini masih digunakan meskipun sudah seringkali dikritik, menunjukkan negara belum memiliki kemauan politik yang cukup untuk menjamin hak konstitusional warga dalam menjalankan ibadah,” sambung Felia.
Di sisi lain, kepala daerah dan aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak warga, justru seringkali tidak memiliki perspektif hak asasi manusia. Alih-alih menyelesaikan konflik secara adil, mereka kerap memperkeruh suasana dengan memilih tunduk pada tekanan mayoritas atau menggunakan pendekatan keamanan yang represif.
Situasi ini semakin diperparah oleh kondisi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di banyak daerah yang tidak berfungsi optimal. Dengan begitu, Felia mendorong revisi aturan pendirian rumah ibadah yang diskriminatif, termasuk penghapusan syarat 90/60 kewajiban rekomendasi FKUB. Selain itu, diperlukan pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa yang mengikat, peningkatan perspektif HAM bagi aparat keamanan, dan penguatan FKUB serta perangkat daera.
“Berkaitan dengan ini, harus beserta kepala daerahnya, edukasi publik soal toleransi serta kolaborasi multipihak untuk memfasilitasi pendirian rumah ibadah dan memberikan bantuan hukum bagi komunitas yang terdampak,” tegas Felia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id


































