tirto.id - Sebuah video keributan antara warga lokal dan kelompok pemuda yang disebut mahasiswa Katolik dari Universitas Pamulang ramai beredar di media sosial. Narasi video yang beredar itu menyatakan bahwa kelompok mahasiswa yang tengah melakukan ibadah doa rosario diminta menghentikan kegiatan oleh warga. Gesekan dua kelompok tersebut memanas.
Kejadian ini terjadi di sebuah indekos yang terletak di RT 007/RW 002, Kampung Poncol, Kelurahan Babakan, Setu, Kota Tangerang Selatan atau Tangsel. Mengutip unggahan akun Instagram @infotangerangkota, dua orang perempuan bercerita atas kejadian pada Minggu (5/5/2024).
Mereka mengaku sebagai teman dari mahasiswa yang melakukan ibadah doa rosario. Kala itu, mahasiswa disebut tengah berdoa, lalu datang seseorang yang disebut sebagai Pak RT. Sambil teriak, pihak RT diduga melarang para mahasiswa menyelenggarakan ibadah dan meminta segera pindah ke gereja.
Sementara itu, kuasa hukum para korban, Edi Hardum, melaporkan dugaan pengeroyokan dan penganiayaan itu ke Polres Tangsel, pada Minggu malam. Laporan tersebut terdaftar dengan nomor TBL/B/1046/V/2024/Polres Tangerang Selatan/Polda Metro Jaya. Pengakuan Edi, warga setempat terprovokasi Ketua RT 007/RW 002, Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Gang Ampera Poncol, Tangerang Selatan, bernama Diding.
Edi menyebut korban mahasiswa yang sedang beribadah doa rosario berjumlah 12 orang. Ada dua korban wanita mengalami luka sayatan senjata tajam saat kejadian dan satu orang lelaki muslim ikut terkena senjata tajam saat melerai gesekan dua kelompok ini.
“Pada pukul 19.30 massa mulai berkumpul setelah mendengar provokasi dari Ketua RT yang berteriak ‘Hei, bangsat, kalau kalian tidak bubar saya panggil warga.’ Peristiwa terjadi pada pukul 19.30 WIB,” kata Edi dalam keterangan tertulis diterima Tirto, Senin (6/5/2024).
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menyatakan, kasus dugaan pembubaran ibadah doa rosario yang dialami mahasiswa Katolik UNPAM menunjukkan intoleransi terus menjadi ancaman kebebasan beragama dan berkeyakinan. Padahal, secara konstitusional hal tersebut harus dijamin oleh pemerintah dan negara.
“Dalam kasus pembubaran rosario di UNPAM, ada dua faktor utama yang mendorong pembubaran, pertama intoleransi di kalangan masyarakat, kedua kegagalan elemen negara dalam konteks ini RT/RW sebagai elemen negara di tingkat terkecil di ranah masyarakat,” kata Halili kepada reporter Tirto, Selasa (7/5/2024).
Dari informasi yang ditemukan SETARA di lapangan atas kejadian ini, Halili menilai terdapat sentimen ketidaksukaan berdasarkan SARA. Bukan hanya soal agama, kata dia, tapi juga terkait perbedaan asal daerah.
“Tindakan semacam ini tidak dibenarkan dan tidak boleh dilakukan, termasuk dari mereka yang banyak terhadap yang sedikit, yang penduduk asli terhadap pendatang,” sambung Halili.
Kasus ini mempertegas situasi pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan [KBB] yang masih stagnan karena gangguan atas tempat ibadah dan peribadatan terus terjadi. Data SETARA Institute menunjukkan, periode 2007-2022 saja terdapat 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang terjadi di Indonesia.
Sepanjang 2023 saja misalnya, terjadi beberapa peristiwa intoleransi dan pelanggaran KBB. Contohnya, pembubaran ibadah dilakukan kelompok masyarakat terhadap jemaat Gereja Mawar Sharon (GMS) Binjai di Kota Binjai, Sumatera Utara. Selain itu, ada pembubaran ibadah di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Gihon di Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau.
Pada Mei 2023, turut terjadi pembubaran aktivitas pendidikan Agama Kristen di Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Di bulan yang sama, terjadi pembakaran Balai pengajian milik Muhammadiyah di Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen.
Halili berujar, meski polisi yang menangani kasus di Tangsel mendorong upaya berdamai pihak yang bergesekan, jangan sampai penegakan hukum diabaikan. Penegakan hukum atas kasus-kasus persekusi penting untuk dilakukan, agar mencegah perluasan persekusi serta pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan.
“Pemantauan kami selama ini, lemahnya penegakan hukum yang berkenaan dengan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dan secara umum menjadikan kelompok minoritas sebagai korban,” terang Halili.
SETARA mendorong seluruh pihak yang bergesekan di Tangsel untuk menahan diri. Narasi-narasi lanjutan terkait peristiwa yang mereproduksi kebencian dan menaikkan tensi konfliktual juga mesti dihentikan. Para pihak dan pemangku yang bertanggung jawab diharapkan melakukan upaya-upaya untuk membuat situasi kembali tentram.
“Agenda terbesarnya membangun ekosistem toleransi di tingkat masyarakat, khususnya masyarakat setempat di mana kasus pembubaran terjadi. Ekosistem toleransi mesti dibangun dengan prakarsa kepemimpinan politik; wali kota dan seluruh kepemimpinan politik mesti memberikan perhatian untuk agenda pemajuan toleransi,” jelas Halili.
Proses Hukum
Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania, Ahmad Nurcholish, menyampaikan, jalan damai memang bagus dalam kasus dugaan penyerangan mahasiswa Katolik UNPAM. Kendati demikian, dia menilai proses hukum harus terus berjalan di kepolisian. Apalagi ada dugaan mahasiswa yang terluka akibat kejadian ini.
“Di lain waktu potensi hal itu terulang masih mungkin terjadi. Karena itu proses hukum bisa dilakukan. Ini untuk memberikan efek jera bagi para pelaku sekaligus keadilan bagi korban yang terluka, baik fisik maupun psikis,” ungkap Nurcholish kepada reporter Tirto, Selasa (7/5/2024).
Nurcholish menilai, alasan warga yang merasa terganggu karena aktivitas para mahasiswa Katolik tidak bisa menjadi pembenaran untuk melakukan kekerasan. Terlebih, kata dia, ada sikap intoleransi yang memang dinarasikan provokator dalam kasus tersebut yang memantik kerusuhan dua kelompok.
“Ada yang salah dalam diri para pelaku [penyerangan] itu. Salah memahami ajaran agamanya, salah pula dalam mengekspresikan ajaran agamanya,” lanjut dia.
Selain itu, tindakan RT yang memprovokasi warga menyerang mahasiswa Katolik UNPAM dinilai memalukan dan memilukan. Tidak saja intoleran, tetapi hal tersebut masuk kategori tindakan kriminal karena menyebabkan korban terluka. Nurcholish menilai tindakan seperti ini terus berulang karena tidak ada ketegasan dari aparat keamanan.
“Ketua RT yang harusnya memberikan rasa aman pada seluruh warganya justru menjadi pelaku terhadap penggerudukan dan pembubaran tersebut. Jadi ketua RT dan masyarakat yang melakukannya itu harus dibina,” ucap Nurcholish.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, berharap kasus di Tangsel tidak terulang lagi dengan adanya penegakan hukum yang berdasarkan rasa keadilan. Menurut Romo Benny, sapaan akrabnya, kekerasan harus diputus, karena akan beranak-pinak dan menciptakan situasi masyarakat yang tidak merasa bahagia satu dengan yang lain.
“Memutus tali persoalan kekerasan hanya bisa melalui jalan penegakan hukum, mengembalikan kembali martabat kemanusiaan, dan harus ada politik will dari negara,” ujar Benny kepada reporter Tirto.
Dia menjelaskan, sesuai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri [PBM] Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006 terkait Pendirian Rumah Ibadah, pelaksanaan ibadah rosario termasuk ibadah keluarga sehingga tidak memerlukan izin. Izin kegiatan ibadah hanya diberlakukan untuk ibadah permanen seperti kegiatan di masjid, gereja, atau vihara.
“Kegiatan seperti tahlilan, doa rosario, misa keluarga, widodaren, dan kebaktian itu tidak perlu izin karena itu disebut ibadah keluarga,” jelas Benny.
Sayangnya, kata Benny, sosialisasi PBM 2006 di tingkat akar rumput memang masih lemah. Alhasil, banyak masyarakat yang salah paham dan tidak bisa membedakan antara ibadah permanen dan ibadah keluarga.
“Kita berharap upaya-upaya dari pemerintah untuk hadir. Dan negara itu harus hadir dalam memberi jaminan kebebasan beragama dan menjalankan agamanya. Sehingga tidak ada lagi merasa di dalam Republik ini tidak mendapat tempat dan perlindungan,” ujar dia.
Penanganan Polisi
Polisi sudah menetapkan empat orang tersangka kasus dugaan penyerangan terhadap para mahasiswa Katolik yang sedang menjalankan doa rosario. Keempat tersangka itu antara lain berinisial D, laki-laki berusia 53 tahun; I, laki-laki berusia 30 tahun; S, laki-laki berusia 36 tahun; dan A, laki-laki berusia 26 tahun. D merupakan RT yang disebut memprovokasi warga.
Kapolres Tangerang Selatan, AKBP Ibnu Bagus Santoso, mengatakan penetapan tersangka terhadap keempat orang itu setelah penyidik melakukan gelar perkara dan memiliki bukti cukup serta memeriksa sejumlah saksi.
“Terhadap beberapa saksi yang terlibat ditetapkan sebagai tersangka,” kata Ibnu dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (7/5/2024).
Dalam kasus ini, polisi turut menyita sejumlah barang bukti. Di antaranya, rekaman video, tiga bilah senjata tajam jenis pisau, kaos berwarna merah dan hitam. Polisi menjelaskan, D berperan meneriaki dengan suara keras dan nada umpatan disertai intimidasi kepada para korban. Hal itu dilakukan D agar rekannya turut bersama-sama menyerang korban yang dianggap mengganggu lingkungan.
Sementara S dan A, berperan membawa senjata tajam dan melakukan intimidasi terhadap para mahasiswa. Adapun I juga turut meneriaki dan mendorong para mahasiswa.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 UU Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951, Pasal 170 KUHP, Pasal 351 KUHP ayat (1), Pasal 335 KUHP ayat (1) dan Pasal 55 KUHP ayat (1) dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz