tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi kuartal I-2024 sebesar 5,11 persen secara year on year (yoy) atau tahunan. Pertumbuhan ini menjadi tertinggi sejak 2015, sebelumnya pada kuartal I-2014 ekonomi domestik pernah tumbuh di 5,12 persen.
“Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2024 merupakan tertinggi sejak 2015," kata Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/5/2024).
Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ini didorong oleh konsumsi rumah tangga dan Lembaga non-profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) tumbuh masing-masing 4,9 persen dan 24,3 persen (yoy). Pertumbuhan ini didukung oleh terkendalinya inflasi, meningkatnya aktivitas ekonomi selama Ramadan, kenaikan gaji ASN, pemberian THR, serta berbagai aktivitas terkait Pemilu 2024.
Disaat yang sama hampir seluruh sektor mengalami pertumbuhan kecuali sektor pertanian yang mengalami kontraksi sebesar 3,54 persen yoy karena efek El Nino. Sementara itu, sektor administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib telah mencatatkan pertumbuhan tertinggi sebesar 18,88 persen yoy.
Jika dilihat secara spasial, tren pertumbuhan positif terjadi di semua wilayah Indonesia. Pulau Jawa sebagai kontributor utama perekonomian, tumbuh relatif kuat di level 4,8 persen (yoy). Kemudian untuk kawasan Sulawesi dan Maluku-Papua tumbuh masing-masing 6,4 persen dan 12,2 persen (yoy) diikuti pertumbuhan ekonomi di Kalimantan sebesar 6,2 persen (yoy).
Capaian pertumbuhan positif tersebut, tentu disambut gembira pemerintah. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan perekonomian Indonesia kembali tumbuh kuat di tengah stagnasi ekonomi global dan gejolak pasar keuangan. Capaian pertumbuhan tersebut, bahkan diklaimnya telah berdampak positif terhadap penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT).
"Kualitas pertumbuhan juga meningkat signifikan tercermin dari penciptaan lapangan kerja yang cukup tinggi, sehingga mampu menurunkan TPT ke level di bawah prapandemi,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan resminya, Senin (6/5/2024).
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, mengamini capaian pertumbuhan tersebut termasuk cukup tinggi. Dia menilai hal itu bisa menjadi basis yang baik untuk target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang ditargetkan di kisaran 5,2 persen.
"Itu jadi basis baik untuk pertumbuhan Indonesia 2024. Kemarin pemilu berkontribusi besar karena kita lihat angka konsumsi rumah tangga cukup tinggi," kata Suahasil di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/5/2024).
Efek Lebaran
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, meminta kepada pemerintah tidak berpuas diri. Alasannya, melihat capaian pertumbuhan tersebut menyusul pergeseran Ramadhan atau bulan puasa dari kuartal kedua di tahun sebelumnya ke kuartal pertama di tahun ini. Selama Ramadan, konsumsi makanan biasanya meningkat sehingga mendukung pertumbuhan PDB yang lebih kuat.
“Tren musiman ini dibuktikan dengan pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman yang tercatat 4,32 persen yoy, meningkat dari 2,56 persen yoy di kuartal IV-2023,” ujar Josua kepada Tirto, Senin (6/5/2024).
Selain itu, peningkatan konsumsi rumah tangga juga didukung oleh pemberian tunjangan hari raya (THR). Pertumbuhan yang lebih kuat sejalan dengan beberapa indikator ekonomi, dengan indeks kepercayaan konsumen (IKK) dan penjualan ritel pada kuartal I-2024 menunjukkan pertumbuhan yang meningkat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
“Hal ini mengindikasikan berlanjutnya pemulihan konsumsi rumah tangga,” ujar Josua.
Lebih lanjut, pertumbuhan konsumsi rumah tangga belum kembali ke tingkat rata-rata sebelum pandemi yaitu sekitar 5 persen yoy. Faktor utama yang menghambat pertumbuhan ini adalah efek El Nino, yang telah menyebabkan melonjaknya inflasi makanan.
Tak Sebanding Capaian Pertumbuhan
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai jika dilihat angka capaian pertumbuhan kuartal I-2024 tentu saja membuat terlena. Tapi, bisa jadi pertumbuhan ekonomi tersebut sifatnya masih semu karena tidak berdampak massal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
“Kalau kita lihat penciptaan lapangan kerja masuk dari investasi tidak begitu banyak,” ujar Tauhid saat dihubungi Tirto, Senin (6/5/2024).
Faktanya, jika merujuk data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) realisasi investasi kuartal pada I-2024 mencapai Rp 401,5 triliun. Realisasi investasi ini hanya menyerap 547.419 tenaga kerja baru di Indonesia.
Dari 547.419 tenaga kerja baru tersebut, paling banyak berasal dari investasi Penyertaan Modal Asing (PMA) sebanyak 328.073 tenaga kerja. Realisasi investasi yang berasal dari PMA sebesar Rp204,4 triliun, tumbuh 15,5 persen YoY. Kemudian, sebanyak 219.346 tenaga kerja berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Nilai investasi dari PMDN realisasinya mencapai Rp 197,1 triliun, tumbuh 29,7 persen yoy.
“Kalau dilihat saya kira memang multiplier effect tidak sebesar sebelumnya. Penyerapan angka tenaga kerja kecil setiap 1 persen pertumbuhan hanya 300 ribu [tenaga kerja],” ujar Tauhid Ahmad.
Sejalan dengan penyerapan tenaga kerja yang rendah, pertumbuhan ekonomi tersebut juga masih punya pekerjaan rumah (PR) lainnya. Dua diantaranya adalah masalah penurunan angka pengangguran dan tingkat kemiskinan di Tanah Air.
Berdasarkan survei angkatan kerja nasional (Sakernas) dilakukan BPS pada Februari 2024, angka pengangguran di Indonesia tercatat mencapai 7,2 juta jiwa. Sementara angka kemiskinan nasional pada 2023 dicatat BPS mencapai 9,36 persen.
Sementara itu, Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyoroti kualitas angkatan kerja Indonesia. Terlihat pada Februari 2024, penduduk yang bekerja pada kegiatan informal masih mendominasi sebanyak 84,13 juta orang (59,17 persen), sedangkan yang bekerja pada kegiatan formal sebanyak 58,05 juta orang (40,83 persen).
Untuk diketahui, penduduk yang bekerja di kegiatan formal mencakup mereka dengan status berusaha dibantu buruh tetap dan dibayar serta buruh, karyawan pegawai. Sedangkan sisanya dikategorikan sebagai kegiatan informal (berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja keluarga, tidak dibayar, bebas, keluarga hingga tidak dibayar).
“Kalau kita bicara indikator ketenagakerjaan seperti misalnya pekerja yang bekerja di sektor formal itu angkanya belum sesuai atau sama dengan kondisi pra pandemi. Artinya saat ini mereka yang masih berada pada kategori pekerjaan sifatnya informal itu relatif masih besar,” kata Yusuf saat berbincang dengan Tirto, Senin (6/5/2024).
Dia menjelaskan pekerja di sektor informal kerap kali sangat rentan terhadap guncangan perekonomian. Guncangan tersebut, pada akhirnya juga bisa berdampak terhadap tingkat kesejahteraan mereka.
Lebih lanjut, dia menilai, tingginya kemiskinan juga tidak terlepas dari beberapa evaluasi yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Seperti masalah data dari penyaluran bantuan sosial yang kerap kali masih ditemukan error dalam penyalurannya. Serta beberapa komponen bantuan atau belanja pemerintah yang sifatnya untuk menurunkan tingkat kemiskinan optimalisasinya berkurang.
“Sehingga tentu ini akan menjadi pekerjaan rumah tambahan bagi pemerintah baru jika ingin menurunkan tingkat kemiskinan di kemudian hari,” ujar Yusuf.
Selain itu, jika bicara bansos selama ini diberikan dalam proporsi yang relatif sama antara satu daerah dengan daerah yang lain. Padahal pemerintah paham tingkat kemiskinan antara satu daerah dengan daerah yang lain itu berbeda.
“Dan seharusnya tentu ada pendekatan lain yang perlu dilakukan untuk menyasar perbedaan tingkat kemiskinan tersebut,” ujar Yusuf.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin