tirto.id - "Hal yang nyata; yang benar-benar ada." Begitulah Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan realitas. Namun, bagaimana jadinya bila realitas yang satu berbeda dengan realitas yang lainnya?
Berkat bantuan teknologi—utamanya teknologi digital, realitas yang semestinya mutlak bisa menjadi relatif. Ia bisa menjadikan suatu realitas memiliki kesan yang berbeda bagi dua orang berbeda. Ada realitas yang berimbuh (disebut augmented reality/AR), ada yang maya (virtual reality/VR), dan ada pula yang serba bercampur (mixed reality/MR).
Lalu, apa yang membedakan ketiga macam realitas buatan itu. Realitas manakah yang punya peluang terbesar untuk jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita?
AR Bermula dari "Sebilah Pedang"
Ragam realitas yang disajikan teknologi digital tersebut memang terdengar begitu kiwari dan mutakhir. Akan tetapi, upaya untuk menghadirkan realitas artifisial sudah berbilang dekade usianya. Perangkat pertama yang memungkinkan seseorang untuk melakukan alterasi pada realitas sekelilingnya sudah diciptakan pada 1968.
Ivan Sutherland, seorang ahli komputer Amerika Serikat, adalah penemu perangkat tersebut. Dibantu sejumlah anak didiknya di Harvard University, Sutherland menciptakan sebuah perangkat yang diberi nama The Sword of Damocles atau Pedang Damocles.
Nama ini dipilih Sutherland sebagai cemoohan atas karyanya sendiri. Dalam dunia sastra, apabila ada "Pedang Damocles yang menggantung di atas kepala" seorang karakter, itu artinya karakter tersebut sedang berada dalam bahaya besar. Perangkat bikinan Sutherland itu memang tampak seperti instalasi berbahaya yang bisa membahayakan para penggunananya.
Jangan bayangkan The Sword of Damocles itu seperti perangkat elektronik yang ada di zaman sekarang. Ia memerlukan instalasi khusus yang disambungkan langsung ke komputer berukuran raksasa. Ingat, ini adalah tahun 1968. Jadi, segala yang berhubungan dengan komputer masih berukuran ekstra besar, bahkan bisa memakan satu ruangan sendiri.
Mereka yang mengenakan Pedang Damocles bikinan Sutherland bisa melihat objek-objek di sekelilingnya sebagaimana orang melihat dengan mata telanjang. Namun, si pengguna akan mendapati sebuah objek maya berbentuk kubus di antara objek nyata yang dilihatnya. Objek maya itu pun bisa "berinteraksi" dengan objek-objek nyata.
The Sword of Damocles adalah perangkat pertama yang menghadirkan augmented reality. Hingga kini, prinsip dari AR pun tidak berubah. Lewat bantuan sebuah perangkat, entah kacamata, kamera ponsel, dan lain-lain, seseorang bakal mendapati objek dan orang-orang sekitarnya sama persis dengan aslinya. Akan tetapi, software yang ditanam pada perangkat-perangkat itu dapat mengimbuhkan realitas mayanya sendiri.
Contoh paling populer dari teknologi AR adalah gim ponsel yang sempat digandrungi banyak orang beberapa tahun silam: Pokemon GO!. Gim ini menyulap dunia yang kita huni bersama ini jadi seakan-akan penuh dengan monster-monster Pokemon. Titik-titik strategis di dunia nyata pun pada akhirnya dijadikan semacam hotspot bagi monster-monster tersebut.
VR Memutus Indera dari Dunia Nyata
Teknologi virtual realitypada dasarnya berupaya menciptakan “dunia baru” di luar dunia nyata yang kita tinggali ini. Saat memasuki dunia VR, indera penglihatan dan pendengaran kita diputus dari dunia nyata.
Jika AR modern sudah cukup ringkas dengan hanya membutuhkan ponsel pintar untuk mengaksesnya, akses ke dunia VR masih membutuhkan perangkat ekstra berupa headset.
Headset tersebut dilengkapi dengan layar yang dirancang khusus untuk menampilkan film atau gim video yang didesain untuk menampilkan VR. Tak cuma itu, headset VR dilengkapi pula dengan headphone yang bakal membuat pengalaman menonton film atau memainkan gim semakin imersif. Tak cuma dari kanan dan kiri, suara dari headphone itu bisa terdengar seakan-akan datang dari segala penjuru, tergantung di mana aksi sedang berlangsung.
Teknologi VR saat ini sudah cukup lazim diimplementasikan pada gim video. Ia tak hanya dikenal di gim-gim konsol seperti Trackmania Turbo, Iron Man, atau Moss, tapi juga di perangkat-perangkat gim yang memungkinkan pemain untuk menggerakkan seluruh tubuhnya.
Saat bertandang ke Hong Kong pada 2018, saya berkesempatan mengunjungi Sandbox VR dan menjajal gim VR mereka. Tak sekadar duduk dan memainkan gim melalui konsol, saya betul-betul mesti berlari, merunduk, dan bergerak untuk menyelesaikan misi dalam gim tersebut. Intinya, saya seakan masuk ke dunia gim itu dan mesti beraksi sebagai karakternya. Lebih sulit, memang, tapi jelas sangat seru dan bikin penasaran.
Bagi saya, pengalaman VR yang sesungguhnya adalah seperti di Sandbox VR tersebut. Namun, tanpa pengawasan, ia bisa memunculkan risiko tersendiri karena headset VR benar-benar mengisolasi indera penglihatan dan pendengaran kita dari dunia nyata.
MR Menggabungkan Kedua Realitas Digital
Meta Quest 3 adalah produk pertama yang akan muncul dalam entri pencarian ketika Anda mengetik kata kunci “mixed reality”, setidaknya di tab pencarian YouTube. Sepintas, wujudnya tampak seperti headset VR. Namun, kemampuannya jauh lebih canggih.
Jika headset VR memutus (indera penglihatan dan pendengaran) pengguna sepenuhnya dari dunia nyata, tidak demikian dengan perangkat Meta Quest 3.
Bayangkan Anda tengah berada di kamar sambil mengenakan headset Meta Quest 3. Anda tetap akan melihat interior kamar sebagaimana adanya. Kasur, bantal, lemari, meja-kursi, dan perabot lainnya tetap pada tempatnya. Namun, apabila bosan dengan kamar yang begitu-begitu saja, Anda bisa dengan mudah menjadikannya arena bermain tembak-tembakan dengan alien.
Sepintas, pengalaman yang dihadirkan Meta Quest 3 itu sama dengan apa yang dilakukan AR. Perbedaannya, Anda bisa berinteraksi dengan realitas yang ditampilkan dalam MR secara real-time. Contoh lainnya, yang mungkin Anda tidak sadari sebenarnya merupakan MR, adalah filter di pelantar media sosial seperti Snapchat, Instagram, dan TikTok. Tak serumit Meta Quest 3, memang, tapi konsepnya serupa.
Mana yang Paling Berprospek?
Sebenarnya, baik AR, VR, maupun MR punya peruntukannya sendiri-sendiri dan tidak perlu saling sikut untuk berebut jadi yang paling populer. Yang jelas, seiring dengan makin berkembangnya kecerdasan artifisial, ketiga ragam realitas buatan itu bakal semakin marak penggunaannya.
Di dunia hiburan, seperti film dan gim, tak perlu lagi ditanyakan. Semakin canggih hardware dan software yang ada, semakin canggih pula AR, VR, dan MR yang bisa dinikmati. Akan tetapi, perlu diingat bahwa teknologi ini bukan cuma untuk bersenang-senang. Teknologi ini pun bisa digunakan untuk mendongkrak produktivitas.
Dalam sebuah video yang diunggah lima bulan lalu, Microsoft mendemonstrasikan bagaimana MR yang dipadukan dengan AI dapat sangat membantu para pekerja, mulai dari pekerja maintenance, insinyur, sampai pekerja pabrik. Dengan bantuan MR, AI dapat menginformasikan posisi pemasangan sebuah komponen hingga riwayat perawatan dan penggantiannya.
Prospek teknologi realitas artifisial ini juga sangat cerah di dunia kesehatan. Di masa Pandemi COVID-19 lalu, software simulasi bedah bernama Precision OS tiba-tiba saja mengalami lonjakan popularitas. Restriksi tatap muka mengharuskan para dosen kedokteran mencari cara untuk melatih mahasiswanya, salah satunya lewat bantuan VR.
Teknologi simulasi bedah dengan VR tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk melatih dokter-dokter di wilayah terpencil. Ditunjang dengan akses teknologi internet satelit seperti Starlink, demokratisasi ilmu kedokteran seharusnya bisa semakin diperluas.
Pada akhirnya, memang semua akan berkelindan. Majunya satu teknologi akan berpengaruh pada bidang-bidang lainnya. Pastinya akan ada fungsi manusia yang tergantikan dari segala proses ini. Namun, di setiap fungsi yang terganti, akan ada fungsi lain yang membutuhkan manusia lainnya. Dengan kata lain, kita sebagai manusia harus selalu beradaptasi.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi