tirto.id - Ketika Jepang dilingkupi baburu keiki atau gelembung ekonomi pada akhir 1980an, Koichi Matsumoto lulus dari sekolah mekanik dan mulai bekerja di bengkel mobil. Belasan tahun kemudian, tepatnya pada 2005, dia mendirikan Tenga. Nama itu berarti “yang ditata dengan baik dan elegan”. Produk pertama Tenga adalah alat sedot penis yang mirip termos kecil dan dinamai Tenga Cup. Dalam setahun, benda itu terjual lebih dari satu juta unit.
April yang lalu, Tenga dan beberapa perusahaan Jepang lainnya memperkenalkan kostum bernama Illusion VR. Kostum itu terdiri dari peranti-kepala realitas maya atau virtual reality headset, pakaian putih ketat penuh sensor, serta mesin seukuran tas punggung untuk dikenakan di badan bagian depan. Pada mesin itu terdapat sepasang payudara tiruan dan sebuah Tenga Cup yang dilengkapi sistem pompa.
Sebuah video yang dirilis The Daily Mirror menampilkan seorang pria Asia yang mengenakan Illusion VR. Dia berbaring dan memijit-mijit tetek karet pada mesin yang ditumpangkan di atas perutnya. Mulutnya membentuk huruf o. Sebuah Tenga Cup ajek naik-turun di antara kedua pahanya. Adegan itu mungkin menerbitkan jijik sekaligus iba bagi sebagian penonton, tapi si pemakai kostum tidak peduli. Dia sedang menikmati urusannya dengan himpunan piksel dalam bentuk perempuan berambut biru.
Sejauh ini Illusion VR memang hanya melayani kebutuhan pria-pria penyuka kartun, tetapi kelak sistem itu boleh jadi lebih kaya daripada seks sungguhan, terutama dalam hal pilihan pasangan. “Merancap adalah seks dengan orang yang kucintai,” kata Alvy Singer, karakter utama film Annie Hall. Dan Illusion VR, alat bantu rancap paling canggih saat ini, dijual seharga 400 dolar Amerika Serikat atau 5,4 juta rupiah belaka.
Teknologi realitas maya terdiri dari empat bagian: konten atau model tiga dimensi yang ditayangkan; peranti penyaji tayangan; perangkat lunak; dan sistem yang menghubungkan aksi di kenyataan dengan reaksi dalam tampilan dan sebaliknya. Pada 2014, secara keseluruhan industri tersebut menghasilkan 90 juta dolar Amerika Serikat. Setahun kemudian, dengan pengguna yang mencapai 5,8 juta orang, jumlah itu berlipat ganda sampai 25 kali menjadi 2,3 miliar dolar atau 31,3 triliun rupiah.
Seks swalayan tentu bukan satu-satunya bidang yang berkembang bersama teknologi realitas maya. Perangkat canggih itu digunakan pula dalam simulasi latihan militer, video game, arsitektur, perancangan tata kota, terapi psikologis, dan banyak urusan lain. Di Inggris, misalnya, proyek senilai 140 ribu pound atau sekitar 2,8 miliar rupiah sedang dijalankan Staffordshire University untuk menguji penerapan teknologi tersebut di pengadilan. Salah satu kegunaannya adalah “mengantarkan” anggota-anggota juri ke tempat kejadian perkara untuk menyaksikan rekonstruksi kejahatan secara langsung dan lengkap. Menurut Kementerian Hukum Inggris, hal itu berpeluang menghemat biaya sekaligus meningkatkan mutu peradilan.
Contoh lainnya: badan sepakbola Eropa, UEFA, telah memberi izin pemasangan kamera-kamera 360 di stadion-stadion tempat kompetisi EURO 2016 akan digelar. Tidak hanya di lapangan, tapi juga di lorong pemain dan ruang konferensi pers. Dengan begitu, orang dapat menyaksikan pertandingan seolah-olah hadir di stadion minus kerepotan dan biaya perjalanan. Nokia, pembuat Nokia OZO—kamera seharga 42 ribu pound atau 480 juta rupiah yang bakal digunakan—menyatakan bahwa itu akan menjadi pengalaman realitas visual yang benar-benar menghanyutkan bagi para penonton.
Namun, tidak semua sorak-sorai berarti dukungan. Nury Vittachi, seorang jurnalis dan pengarang Hong Kong, menulis: “Aku punya mesin realitas maya di dalam kulkasku, yaitu pai banoffee. Ketika aku memakannya dua potong dalam gelap sambil mendengarkan White Album The Beatles, aku berada jauh, jauh sekali di planet lain, tanpa bantuan alat sama sekali. Tetapi industri teknologi dunia tidak mengerti hal itu, maka bersiaplah, tahun ini bermacam-macam peranti-kepala akan berjajar di rak-rak toko, mulai dari bikinan Oculus (milik Facebook), Samsung, Sony, HTC, hingga Google.”
Tulisan Vittachi itu berjudul “Sepuluh Kesalahan Gawat yang Dibikin Perusahaan-perusahaan Realitas Maya.” Terlepas dari lima pokok dalam subjudul “berita baik” yang disampaikan secara malu-malu di bagian akhir, tulisan itu menunjuk beberapa hal yang lazim dianggap sebagai keunggulan realitas maya, menyebut anggapan itu keliru, dan berusaha membuktikan bahwa perangkat terbaik untuk hal-hal tersebut sudah dimiliki oleh manusia. Imajinasi lebih baik ketimbang keterlibatan menyeluruh atau total immersion, pengalaman yang dijalani bersama manusia lain lebih baik daripada yang dirasakan sendirian, dan sebagainya, seolah-olah hal-hal pada kedua sisi itu mustahil berjalinan.
Ada kesamaan dalam sebagian besar kritik terhadap teknologi: peringatan atas bahaya laten dehumanisasi atau penghilangan “unsur x” yang menjadikan manusia sebagai manusia—berbeda dari capung, pohon alpukat, dan botol kecap. Dua hal yang lazim dianggap sebagai bagian dari unsur tersebut adalah imajinasi dan kapasitas emosional dalam hubungan antar manusia.
Sebagaimana bahaya laten dan hantu-hantu, dehumanisasi adalah bahan cerita yang menarik tetapi kerap kali didukung bukti yang meragukan. “'Fakta' yang ditunjuk untuk membuktikan keberadaannya adalah 'fakta' yang hanya terlihat oleh orang-orang yang tidak menginginkan penjelasan lain,” tulis Ilkka Vuorikuru dari Institute for Ethics and Emerging Technologies. “Pengadilan mana pun pasti akan menolak bukti semacam itu.”
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti