tirto.id - Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Ekaprasetia Pancakarsa merupakan panduan mengenai pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara di Indonesia. P4 yang kini mengandung 45 butir diterapkan pada masa Orde Baru.
Awal pembentukan P4 adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa yang memaparkan 5 asas dalam Pancasila. Saat itu, butir-butir pengamalan Pancasila berjumlah 35 butir dan diharapkan dapat menjadi pedoman praktis dalam kehidupan.
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 memutuskan serta menetapkan P4 atau Ekaprasetia Pancakarsa melalui 6 pasal. Berikut ini isi dari ke-6 pasal dalam keputusan dan ketetapan P4 oleh MPR yang ditandatangani oleh Adam Malik sebagai Ketua MPR kala itu beserta para wakil ketua:
Pasal 1
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar Negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya.
Pasal 2
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dituangkan dalam rumusan yang sederhana, jelas dan mudah dipahami maknanya, disusun dengan tata urutan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan;
BAB II : Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetia Pancakarsa);
BAB III : Penutup.
Pasal 3
Pedoman sebagaimana tersebut dalam pasal 1 beserta penjelasannya terdapat dalam Naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Ketetapan ini.
Pasal 4
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.
Pasal 5
Menugaskan kepada Presiden sebagai Mandataris atau Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengusahakan agar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dapat dilaksanakan sebaik-baiknya dengan tetap berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6
Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Doktrin Pancasila Orde Baru Gagal?
Dikutip dari buku Menggali dan Menemukan Roh Pancasila Secara Kontekstual (2020) karya I Gusti Ngurah Santika, penerapan P4 oleh pemerintah Orde Baru dianggap sebagai kegagalan total dalam menanamkan pemahaman Pancasila.
Sebagian kalangan masyarakat bahkan memandang penerapan kebijakan P4 atau Ekaprasetia Pancakarsa merupakan bentuk pemaksaan ideologi dari pemerintah sekaligus strategi Soeharto untuk memperkuat kekuasaannya.
Samsuri melalui tulisan bertajuk “Civic Virtues dalam Pendidikan Moral dan Kewarganegaraan di Era Orde Baru” yang terhimpun di Jurnal Civics (2004) memaparkan, faktor penyebab gagalnya penataran P4 yaitu pelaksanaannya yang cenderung formal, doktriner, kuantitatif (semisal dengan penataran model 100 jam), dan koersif.
Setelah Orde Baru tumbang oleh gerakan Reformasi 1998, Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 dicabut dengan Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR No. I/MPR/2003.
Kendati begitu, butir-butir yang terkandung dalam Pancasila yang memiliki 5 Sila tetap dipertahankan, bahkan dalam perjalanannya jumlah butir-butir tersebut ditambah, dari yang semula 36 butir menjadi 45 butir.
Berikut ini contoh penjabaran 45 butir dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Ekaprasetia Pancakarsa:
Sila 1 – Ketuhanan Yang Maha Esa (7 Butir)
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Sila 2 – Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (10 Butir)
- Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
- Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
- Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
- Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
- Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
- Berani membela kebenaran dan keadilan.
- Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Sila 3 – Persatuan Indonesia (7 Butir)
- Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
- Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
- Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
- Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
- Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
- Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sila 4 – Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan (10 Butir)
- Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
- Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
- Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
- Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
- Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
- Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
- Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
- Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
- Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan.
Sila 5 – Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (11 Butir)
- Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
- Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
- Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Menghormati hak orang lain.
- Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
- Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
- Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
- Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
- Suka bekerja keras.
- Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
- Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Editor: Yantina Debora