Menuju konten utama
Mozaik

Beasiswa untuk Pelajar Indonesia dari Masa ke Masa

Sepanjang sejarah, beasiswa kerap menjadi alat kepentingan legitimasi pemerintah dan organisasi politik tertentu.

Beasiswa untuk Pelajar Indonesia dari Masa ke Masa
Ilustrasi Beasiswa. foto/istockphoto

tirto.id - Publikasi sumber wacana historiografi "beasiswa" yang pertama kali barangkali adalah karya monumental J. E. Sandys, A History of Classical Scholarship (1903-1908). Meskipun agak muskil disebut karya sejarah, setidaknya buku ini memuat beberapa catatan penting. Cendekiawan-cendekiawan klasik dari Romawi Kuno atau Abad Pertengahan Yunani dan Latin, kebanyakan lahir lewat inisiasi hibah pendidikan yang dinamakan "scholarship".

Bagi Rudolf Pfeiffer, penulis History of Classcical Scholarship from 1300 to 1850 (1976: 3), kala beasiswa klasik perdana muncul, dan sejak saat itu berkembang, tak pernah betul-betul berdiri sebagai entitas independen. Sebagaimana yang dia jabarkan, di Aleksandria, Renaisans Italia, dan Jerman abad ke-14, para penyair seperti Callimachus, Petrarch, dan Winckelmann yang kritis terhadap Kekristenan perlu referensi berupa teks sastra dan wacana klasik. Referensi itu sebagai basis konter narasi atas dogma dan patronasi Gereja.

Oleh karenanya, perlu modal besar untuk mendapat akses menuju ke sana. Cara efektif mendapat modal membiayai cendekiawan belajar sejarah ilmu pengetahuan dan dunia modern adalah melalui beasiswa.

Pemahaman tentang pentingnya "beasiswa" terhadap cendekiawan di dunia pendidikan kian berkembang dari masa ke masa. Sementara itu, pemodal yang memberi sumbangsih beasiswa melirik metode ini dapat dikehendaki sebagai sebuah ajang agitasi dan propaganda. Cendekiawan pemerintah jadi corong legitimasi.

Misalnya dalam pengakuan iman "confession of faith" seorang pengusaha asal Inggris, Cecil John Rhodes (waktu itu masih berusia 23 tahun), terpikir bahwa salah satu cara menempuh kebaikan dalam hidup ialah dengan berguna bagi negaranya. Karenanya, dalam biografi Cecil Rhodes (1976: 248) yang ditulis John Flint, dia menginisiasi sebuah perkumpulan rahasia untuk dedikasi dan perluasan British Empire.

Dalam wasiatnya, Cecil Rhodes menulis bahwa seluruh hartanya dipersembahkan untuk pembiayaan pendidikan bagi, "koloni muda di salah satu universitas di UK guna perluasan pandangan mereka untuk instruksi dalam kehidupan dan tata krama dan penanaman pemikiran, [sementara itu] keuntungan bagi koloni serta UK untuk mempertahankan kesatuan kekaisaran," sebagaimana dikutip dari "History of the Scholarship" yang ditulis Colette Gunn-Graffy dalam biodata Rhodes Project.

Kini, Cecil Rhodes dikenal sebagai bapak pendiri Rhodesia, sebuah nama yang merujuk pada koloni kulit putih Britania Raya di Afrika yang meraup keuntungan besar pada pertambangan di sana. Keuntungan bisnisnya dipergunakannya sebagai modal pembentukan "Beasiswa Rhodes".

Sebabnya, kebanyakan gagasan beasiswa diinisiasi oleh koloni atau organisasi filantropi di Eropa yang melihat peluang ekspansionisme atau aneksasi jajahan. Mereka tak hanya memodali sekolah para kutu buku, tetapi hamba sahaya yang siap mengabdi kepada kepentingan politis negara.

Begitu pula praksis negara-negara Eropa dalam kebijakan koloninya di negara dunia ketiga. Pemberian beasiswa acap kali digunakan sebagai investasi legitimasi dan dominasi kekuasaannya.

Ilustrasi Beasiswa

Ilustrasi Beasiswa. foto/istockphoto

Politik Etis, Awal Beasiswa di Indonesia

Hal di atas tak jauh berbeda dengan gagasan awal program beasiswa pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Artikel pertama dan paling beken "Een eereschuld", yang menyorot kebijakan pendidikan koloni di Hindia Belanda dikenal sebagai sebuah kritik atas "utang kehormatan" Belanda terhadap pribumi. Embrio beasiswa bagi kaum bumiputra tidak benar-benar didedikasikan atas dasar akomodasi pendidikan yang mencerdaskan, melainkan ajang kebutuhan politik etis.

Conrad (Coen) Th. van Deventer yang menerbitkan tulisannya di jurnal De Gids pada 1899 mengkritik pemerintah Belanda terhadap eksploitasi berlebihannya kepada pribumi tanpa diimbangi balas budi yang setimpal. Akibatnya, penderitaan dan kemiskinan jadi momok paling menohok yang menghantui rakyat. Sumber daya alam dan manusianya dikuras habis tanpa balasan santunan moral, khususnya atas sumbangsih kekayaan Nusantara kepada Belanda.

Gagasan itu diperjelas oleh Marteen Kuitenbrouwer dalam Dutch Scholarship in the Age of Empire and Beyond (2014). Apa yang dipersoalkan oleh van Deventer berbalas sebuah pengakuan langsung oleh Ratu Belanda, meski kritiknya baru mendapat tanggapan hampir dua tahun sejak dia bersama istrinya, Elisabeth M. (Betsy) Maas, bahu-membahu menulis "Een eereschuld".

"Sebagai negara Kristen, Belanda harus menanamkan seluruh kebijakan pemerintah dengan pemahaman bahwa kita memiliki kewajiban moral terhadap penduduk di wilayah ini," tulis Kuitenbrouwer dari pernyataan Ratu Belanda, Wilhelmina, yang dinukil Abraham Kuyper pada pembukaan parlementer tahun 1901 (hlm. 96).

Rupanya, van Deventer menaruh perhatian besar terhadap kesempatan berpendidikan bagi rakyat koloni Hindia Belanda. Dia terpengaruh oleh R.A. Kartini, penulis perempuan pertama dari Indonesia sekaligus termuda yang artikelnya diterbitkan di jurnal ilmiah Bijdragen, lumrah dikenal sebagai BKI.

Artikel berjudul "Het huwelijk bij de Kodja’s" (BKI 1899: 695-702) itu ditulis mengatasnamakan R.M.A.A. Sosroningrat, Bupati Jepara. Namun dalam keterangan penulis, tertera pernyataan bahwa artikel ini ditulis oleh putrinya yang masih berumur 20 tahun. Kartini muda menyoroti tradisi kawin kontrak di Jawa—khususnya keluarga bangsawan—yang menyudutkan dan membatasi hak-hak perempuan berpendidikan di tanah kelahirannya.

"Terpengaruh oleh perjuangan R.A. Kartini, Coen, Betsy, dan teman-temannya mengumpulkan dana untuk membangun empat yayasan, Yakni Yayasan Kartini, Yayasan Van Deventer, Yayasan Tjandi, dan Yayasan Max Havelaar. Semuanya bertujuan mempromosikan pendidikan Indonesia," tulis Abdul Kahar dalam Meretas Batas Impian dengan Beasiswa (2022: 43).

Yayasan Van Deventer yang bekerja sama dengan Yayasan Kartini memelopori beasiswa untuk perempuan Indonesia di jenjang sekolah menengah. Sementara Yayasan Max Havelaar dan Yayasan Tjandi berfokus pada tunjangan dan bantuan bagi pribumi yang mengalami kesulitan ekonomi. Mereka memberikan dukungan berupa pinjaman bebas bunga agar kaum bumiputra berkesempatan melakoni pendidikan di Belanda.

Ada sekitar 50 pemuda Indonesia yang berhasil berlabuh di Belanda. Sebagian besar dana beasiswanya bersumber dari donatur dan subsidi yang digelontorkan pemerintah. Karena itu dalam praktiknya, tidak semua kalangan berhak mendapat beasiswa ini (berkebalikan dari ide mulanya). Hanya anak-anak pegawai negeri atau bangsawan dan priyayi yang mendapat santunan layak dari Belanda.

Penerapan pendidikan dalam politik etis ini pernah disinggung oleh Ernest Douwes Dekker, sebab kebijakan kolonial dalam membuka akses beasiswa dinilai terlalu eksklusif. Kesempatan beasiswa dan berpendidikan mayoritas hanya dimiliki oleh kaum menengah ke atas, yang seharusnya merata untuk seluruh penduduk asli Hindia Belanda. Kritiknya itu ditulis dalam karya fenomenal Max Havelaar dengan nama samaran Multatuli.

Di samping itu, riwayat lain menyatakan bahwa awalnya, dukungan beasiswa ke Belanda untuk perempuan berhasil diperoleh Kartini. Keinginannya menempuh pendidikan di Negeri Kincir Angin terkabul lewat perkenalannya dengan Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Diketahui bahwa Abendanon menerima proposal pengajuan beasiswa yang dimohonkan Kartini.

Namun lantaran pernikahan ningrat yang mengikat tradisi keluarganya, Kartini justru menanggalkan beasiswanya dan mengalihkannya kepada Agus Salim yang waktu itu menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI).

Namun niat baik Kartini ditolak oleh Agus Salim. Dia berpendapat, pemberian semacam itu tak layak disebut sebagai penghargaan lantaran diperoleh atas rekomendasi orang lain, bukan atas jerih payah sendiri.

Kakak kandung Kartini, R. M. P. Sosrokartono boleh jadi merupakan orang pertama yang menerima beasiswa dari Yayasan Van Deventer. Disusul oleh Iso Reksohadiprodjo, yang kelak menjadi ahli ekonomi pertanian, juga pelukis kenamaan Basoeki Abdullah. Selain itu, ada juga nama-nama besar lain seperti Moh. Hatta, Tjondronegoro (guru besar sosiolog IPB), yang juga menerima beasiswa politik etis ini.

Kini, Yayasan van Deventer telah bernama Yayasan Van Deventer-Maas Indonesia (VDMI) dan berlokasi di Yogyakarta. Laporan yang dimuat di laman resmi vandeventermaas.or.id menyatakan bahwa setiap tahun, VDMI menyediakan beasiswa bagi 800 muda-mudi berbakat dari Indonesia dengan beragam latar belakang keluarga dan ekonomi. Beasiswa itu membiayai pendidikan calon mahasiswa di 35 universitas serta satu sekolah menengah di Belanda.

Ilustrasi Beasiswa

Ilustrasi Beasiswa. foto/istockphoto

Beasiswa Jepang dan Narasi Legitimasi

Jika politik etis merupakan landasan pendidikan Pemerintah Hindia Belanda, maka beasiswa yang digelontorkan oleh Jepang ketika menduduki Indonesia dilatarbelakangi oleh legitimasi Pan-Asia atau Persemakmuran Rakyat Asia Merdeka. Lewat propaganda Gerakan 3A (Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia), Jepang menghendaki agar para penerima hibah beasiswa dapat menjadi perpanjangan tangan mobilisasi kampanye pendudukan Negeri Matahari Terbit.

"Jepang optimistis dengan kampanye itu setelah mengawali kemenangannya atas Rusia dalam perang Tsushima tahun 1904-1905. Jepang mengundang para pemuda Indonesia untuk belajar di Jepang dengan biaya murah, bahkan disubsidi sepenuhnya," tulis Abdul Kahar (hlm. 47).

Guna memuluskan legitimasi dan kampanyenya, Jepang mengonsolidasi para penerima hibah beasiswa di Belanda agar segera cabut dan putar balik memilih Jepang. Selain itu dari pihak masyarakat, Jepang lebih diminati lantaran kendala biaya hidup di Belanda yang lebih tinggi.

Warsa 1943, Jepang meluncurkan program Nampo Tokubetsu Ryugakusei (Mahasiswa Luar Biasa dari Daerah Selatan) yang berisi pemuda-pemuda dari Asia Tenggara yang negaranya diduduki Jepang. Termasuk di dalamnya Indonesia, Malaysia, dan Burma (Myanmar).

Memoar atas perjalanan beasiswa di Jepang dihimpun para alumni program Nampo Tokubetsu Ryugakusei dalam buku Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang Sekitar Perang Pasifik 1942-1945. Jumlah mahasiswa yang mengikuti program ini selama 1942-1945 kira-kira 95 orang.

Harus diakui, pemuda Indonesia yang memperoleh beasiswa ke Jepang dimanfaatkan untuk menggalang propaganda Jepang melawan Hindia Belanda dalam urusan menduduki Indonesia. Salah satunya adalah Muhamad Djuli, pemuda asal Batu Sangkar, Sumatra Barat, yang belajar pembuatan keramik di Kota Seto, Provinsi Aichi.

Dia dikenal sebagai penyiar radio nasional pada 1941-1942. Sebagian besar berita yang disiarkannya menyerukan agar rakyat Indonesia mengakui Jepang sebagai bangsa pembebas, bukan penjajah.

Sekalipun begitu, beberapa mahasiswa penerima beasiswa yang memilih menolak tunduk terhadap legitimasi Jepang juga tak sedikit. Misalnya Oemarjadi Njotowijono yang berhasil memperoleh gelar bisnis di Universitas Hitotsubashi. Dia tak segan-segan memimpin Syarikat Indonesia di Jepang dalam gerakan demonstrasi yang mencela Dai Nippon tak ada bedanya dengan Hindia Belanda (dalam urusan penjajahan).

Beasiswa Setelah Kemerdekaan

Kecondongan politik Sukarno yang memihak Blok Timur saat periode Perang Dingin membuat pemerintahan yang baru merdeka itu memilih negara-negara komunis sebagai labuhan. Misalnya dalam Beasiswa Ikatan Dinas, Duta Ampera yang pesertanya diperuntukkan sebagai calon pegawai negeri sipil, dikirim ke Rusia, Ceko, dan negara Blok Timur lainnya.

Namun beasiswa semacam itu segera mendapat reaksi negatif setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September.

Kendati berseberangan dengan dikotomi liberalisme, Orde Sukarno tak benar-benar menutup program beasiswa dari Amerika Serikat. Berkat kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB), sejak 1952-1958 Indonesia mengirim delegasi pelajar untuk menerima Beasiswa Ford Foundation dari USA.

Dalam buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013) yang ditulis Wijaya Herlambang, para penerima hibah beasiswa ini mayoritas di masa selanjutnya menjadi penganut paham humanisme universal, yang justru menentang tabiat politik Sukarno.

Congres Cultural for Freedom (CCF) mewadahi mahasiswa seperti Subroto, Mohamad Sadli, Ali Wardhana, Ali Budiarjo dan istrinya Miriam Budiarjo (saudara perempuan Soedjatmoko), Widjojo Nitisastro, dan Emil Salim. Mereka dikirim ke universitas terbaik di AS seperti MIT, Cornell, Berkeley, dan Harvard.

"Di AS, para sarjana Indonesia ini bekerja erat dengan kepala Proyek Indonesia Modern dari Cornell, George Kahin, Guy Pauker dari RAND Corporation (orang yang sangat berpengaruh dalam militer Indonesia), dan para ekonom seperti Ben Higgins, Charles Kindleberger, dan Paul Samuelson,” tulis Wijaya Herlambang (hlm. 64).

Kelak, orang-orang yang memotori arsitek kebijakan ekonomi Orde Soeharto kerap diejek oleh sebagian orang kiri dengan julukan Mafia Berkeley. Mereka termasuk para simpatisan PSI macam Sutan Sjahrir, Sumitro Djojohadikusumo, dan Soedjatmoko.

David Hill dalam tesisnya, Mochtar Lubis: Author, Editor, Political Actor (1988: 12) menambahkan, turut pula penulis dan sastrawan muda seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, Wiratmo Soekito, Rosihan Anwa, P. K. Ojong, dsb., penerima beasiswa yang menjalin kontak dengan institusi serta tokoh-tokoh Barat.

Lagi-lagi pola yang sama berulang, beasiswa menjadi alat kepentingan legitimasi pemerintahan dan organisasi politik tertentu.

Baca juga artikel terkait BEASISWA atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - News
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi