tirto.id - Pemilihan capres dan cawapres telah berlangsung Rabu (17/4). Hasil hitung cepat beberapa lembaga survei menunjukkan kemenangan kubu 01, tapi kubu 02 juga punya hitungan sendiri yang menyatakan kemenangannya.
Terlepas dari perbedaan tersebut, hasil final mengacu pada perhitungan KPU. Pemenang pilpres secara resmi baru diketahui pada Juni mendatang. Paslon yang menang tentu sudah menyiapkan tim masing-masing termasuk tim ekonomi. Pada masa kampanye lalu, tiap paslon punya tim ekonomi, dengan latar dan fokus programnya sendiri.
Bila menilik pada penjelasan tim ekonomi dari kedua paslon pada masa kampanye, maka terdapat beberapa tema besar yang diangkat oleh masing-masing kubu. Pada kubu petahana Jokowi-Ma’ruf Amin, pengembangan ekonomi berbasis digital, misalnya, menjadi salah satu prioritas program ekonomi pemerintahan Jokowi jika kelak ia kembali menjabat sebagai presiden.
"...Kita masuk industri 4.0, isu-isu big data, itu semua adalah basis dan bangunan ekonomi yang dimunculkan dari perdebatan ide dan pendidikan,” jelas anggota tim ekonomi Jokowi-Ma’ruf cum politikus PDIP Arif Budimanta, pada Oktober 2018.
Pengembangan ekonomi digital hanya salah satu tema besar. Selebihnya ada penyelenggaraan sistem ekonomi nasional yang berlandaskan Pancasila, terkait infrastruktur, pengembangan sektor ekonomi baru, reformasi struktural dan fiskal, dan ketenagakerjaan.
Sementara itu, kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, seperti dilansir CNBC Indonesia, kubu memiliki jumlah program aksi ekonomi yang masif: 36 program. Sebagian besar fokus dari program tersebut adalah pengembangan ekonomi “kerakyatan”. Selain itu terdapat pula sejumlah poin yang fokus pada infrastruktur, tata kelola migas dan tambang, serta penghentian kebocoran kekayaan negara.
Anggota tim ekonomi Prabowo-Sandiaga, Sudirman Said pernah mengatakan akan fokus pada isu teknokrasi. Mereka akan mengawali pelaksanaan visi ekonomi dengan penempatan mereka yang ahli di bidangnya pada pos-pos krusial pemerintahan.
Go Illini di Tim Ekonomi Jokowi
Isu kehadiran para teknokrat dalam tim ekonomi pemerintahan sudah jadi perhatian cukup lama, dahulu pada Orde Baru ada istilah "Mafia Berkeley", yang merujuk pada para teknokrat yang jadi menteri bidang ekonomi lulusan University of California, Berkeley, Amerika Serikat (AS). Kehadiran para teknokrat ini memengaruhi arah kebijakan ekonomi Orde Baru kala itu.
Dalam konteks kini, pada program-program ekonomi Jokowi-Ma’ruf misalnya, soal pengembangan industri digital, memiliki keterkaitan dengan karakteristik tim ekonomi yang berada di kubu mereka.
Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali dalam situs pribadi miliknya, Rumah Perubahan, menuliskan bahwa warna kebijakan ekonomi Jokowi memang sedikit banyak dipengaruhi oleh kelompok ekonom lulusan University of Illinois Urbana-Champaign yang ia sebut sebagai kelompok “Go Illini”. Go Illini, menurut Rhenald merujuk pada kelompok ekonom yang kini membantu kabinet Jokowi-Jusuf Kalla.
Dalam konteks kampanye Pilpres lalu, pihak Jokowi sendiri belum pernah secara detail mengungkapkan siapa saja anggota tim ekonominya. Namun, seperti diungkapkan oleh Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Arsul Sani, dilansir Liputan 6, tim ekonomi Jokowi-Ma’ruf antara lain dari para menteri Kabinet Kerja.
Jika menilik menteri-menteri yang bergerak di bidang ekonomi, maka setidaknya ada tujuh menteri: Darmin Nasution (Menko Perekonomian), Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Ignasius Jonan (Menteri ESDM), Amran Sulaiman (Menteri Pertanian), Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan), Bambang Brodjonegoro (Kepala Bappenas), dan Rini Soemarno (Menteri BUMN). Dari tujuh figur tersebut, Sri Mulyani dan Bambang Brodjonegoro merupakan lulusan Illinois.
Selain para menteri itu, lanjut Sani, terdapat pula tim penasihat ekonomi yang salah satunya beranggotakan Sri Adiningsih (Ketua Dewan Pertimbangan Presiden) dan Ahmad Erani Yustika (Staf khusus presiden bidang ekonomi). Adiningsih sendiri juga merupakan lulusan Illinois.
Selain nama-nama yang disebutkan tergabung di dalam tim ekonomi tersebut, ada tiga nama yang saat ini tergabung di dalam pemerintahan Jokowi yang juga merupakan lulusan University of Illionis: Wimboh Santoso (Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan) serta Denni Puspa Purbasari (Deputi III Kantor Staf Presiden Bidang Ekonomi). Rhenald Kasali sendiri juga merupakan lulusan Illinois.
Kasali mengatakan, kelompok ekonom “Go Illini” ini merupakan ekonom yang banyak dipengaruhi oleh ilmu ekonomi berbasis sumber daya manusia (human capital economy). “Banyak ekonom Indonesia yang studi di sana ketika itu mendalami teori ini, mungkin karena pemberantasan kemiskinan merupakan hot topic di tanah air,” tulisnya.
Selain itu, karakter tangkas (agility), lanjutnya, juga menjadi warna para ekonom “Go Illini”. Ini karena tantangan baru mulai bermunculan di berbagai penjuru dunia, termasuk tantangan ekonomi digital.
Kubu Prabowo yang Campur-Campur
Sementara itu, kubu Prabowo-Sandiaga lebih terbuka pada siapa saja yang menjadi anggota dari tim pakar ekonomi mereka. Dilansir CNBC Indonesia dan Detik, nama-nama seperti Burhanuddin Abdullah (mantan Gubernur Bank Indonesia), Sudirman Said (mantan menteri ESDM), hingga Edhy Prabowo (Ketua Komisi IV DPR RI) masuk di dalamnya. Namun, dibandingkan dengan tim ekonomi Jokowi-Ma’ruf, latar belakang tim ekonomi Prabowo-Sandiaga jauh lebih beragam.
Burhanuddin Abdullah, misalnya, setelah menamatkan pendidikan di Universitas Padjajaran jurusan Fakultas Pertanian, ia kemudian menyelesaikan gelar master-nya di bidang ekonomi di Michigan State University, Amerika Serikat. Sudirman Said, sementara itu, menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Ia kemudian mendapatkan gelar master administrasi bisnis dari George Washington University, AS.
Mantan menteri koordinator kemaritiman Rizal Ramli yang menjadi penasihat ekonomi Prabowo sendiri setelah menamatkan pendidikannya di departemen Fisika di Institut Teknologi Bandung kemudian mendapatkan gelar master-nya di bidang ekonomi dari Boston University, AS.
Teknokrasi dan Populisme
Peneliti Ekonomi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Haryo Aswicahyono menilai bahwa warna kebijakan ekonomi dari Jokowi selama masa pemerintahannya lebih condong diwarnai oleh karakter ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), utamanya untuk kebijakan ekonomi makro.
“Bu Sri Mulyani, kemudian Pak Darmin [Nasution], kemudian Pak Bambang [Brodjonegoro] itu lebih ke UI kan ... hingga ke Pak Chatib Basri,” sebutnya kepada Tirto.
“Terutama untuk makro, makro-nya sangat prudential, dan itu bagus untuk Indonesia untuk memberikan disiplin fiskal, moneter, dsb itu sudah tradisinya ekonomi UI.”
Haryo menambahkan, dengan latar belakang disiplin ekonomi yang konsisten, kelompok ekonom dari UI itu sudah dapat dimasukkan dalam kategori teknorat.
Sebaliknya, ia kesulitan untuk menemukan benang merah dari setiap anggota tim ekonomi Prabowo-Sandiaga. “Jadi tidak ada satu paradigma yang sama tapi lebih ke, misalnya, isunya adalah populisme yang kadang-kadang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip prudential yang disokong oleh teknokrat,” jelasnya.
Namun, ia tidak menampik bahwa kedua kubu sama-sama menggunakan pendekatan yang populis.
“Di Indonesia sebetulnya to some extent dua-duanya juga appeal to that [populisme],” sebutnya. Hanya saja yang membedakan, lanjut Haryo, adalah sejauh mana kedua kubu membawa kebijakan populisme tersebut dalam program ekonominya.
Ia mengatakan bahwa dalam kasus Jokowi-Ma’ruf kebijakan populis yang mereka terapkan dalam ekonomi masih “lebih rasional”, menggunakan perhitungan-perhitungan yang terukur di tingkat makro dibandingkan pasangan Prabowo-Sandiaga. Ini karena latar belakang teknokrat yang menyokong pemerintahan Jokowi.
Sementara itu, kubu Prabowo-Sandiaga, lanjutnya, beberapa kali dalam retorika kampanye kedapatan “tidak memperhatikan data”. Dalam konteks ini, Haryo merujuk pada retorika “kita dikuasai asing” yang kerap digunakan oleh kubu Prabowo-Sandiaga dalam isu tenaga kerja asing yang cukup marak dalam beberapa bulan terakhir.
Terlepas dari kritiknya terhadap kebijakan ekonomi yang populis, Haryo melihat bahwa kubu Jokowi-Ma’ruf bukannya tanpa kekurangan. Ia menilai, reformasi ekonomi masih belum berjalan sepenuhya dalam pemerintahan Jokowi 4,5 tahun terakhir, utamanya pada regulasi-regulasi yang masih memberatkan dunia usaha.
“Implementasinya masih banyak yang mempertanyakan,” katanya.
Editor: Suhendra