tirto.id - Debat kelima pada Sabtu, 13 April 2019 memperlihatkan kontras fokus bidang ekonomi Jokowi-Amin dengan Prabowo-Sandiaga. Joko Widodo-Ma’ruf Amin membidik isu pengembangan ekonomi digital, sedangkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyasar isu swasembada pangan.
Kontras tersebut terlihat ketika memasuki segmen debat terbuka. Jokowi membuka debat dengan pertanyaan kepada Prabowo-Sandiaga mengenai pengembangan ekonomi digital, utamanya pada pengembangan e-sports seperti Mobile Legends: Bang Bang.
Sandiaga menimpali bahwa dua hal utama yang ia dan Prabowo lakukan adalah pengembangan entrepreneurship dan memfasilitasi generasi muda untuk mengembangkan e-sports melalui inisiasi Rumah Siap Kerja yang sudah mereka luncurkan.
Menjawab Sandiaga, Jokowi kemudian ‘memamerkan’ bagaimana pemerintahannya telah menempatkan fokus pada infrastruktur digital untuk menopang pengembangan ekonomi digital. “Baik broadband dengan kecepatan tinggi, Palapa Ring, 4G sehingga anak-anak muda kita memiliki infrastruktur dalam mengembangkan profesinya sebagai gamers,” katanya.
Namun, Prabowo kemudian menegaskan bahwa bagi ia dan Sandiaga yang paling utama bukanlah ekonomi digital semata, tetapi bagaimana mereka akan melakukan swasembada pangan.
“Saya memfokuskan nanti kebijakan-kebijakan saya dalam hal-hal yang mendasar yang menjawab kebutuhan pangan rakyat Indonesia,” sebut Prabowo. “Digital-digital itu bagus, tapi rakyat kita butuh swasembada pangan. Pangan dalam harga terjangkau, kita harus turunkan harga, rakyat kita sedang susah, kita harus jaga kekayaan Indonesia. Itu yang akan saya fokus.”
Sandi kemudian menambahkan, masih terkait pengembangan sektor pangan, bahwa mereka akan fokus “menciptakan” pengusaha di bidang teknologi yang memberikan perhatian kepada industri pertanian.
“Kita harus mampu. Anak-anak muda ini dengan teknologi digital, teknologi yang berkaitan dengan pertanian, mekanisasi, mereka bisa meningkatkan produktivitas daripada sektor pertanian kita,” jelas Sandi. “Jangan terus kita akhirnya harus dibulan-bulani dengan harga bahan pokok yang mahal, tapi kita juga pada suatu saat harus bermimpi bahwa kita bisa mengekspor pangan.”
Jokowi "Digital-Digital", Prabowo "Kerakyatan"
Jika menilik visi-misi serta program-program ekonomi dari kedua capres dan cawapres, retorika debat yang digunakan kedua pasangan untuk meraih simpati masyarakat semalam bisa disebut konsisten dengan ide awal program-program ekonomi aksi yang diusung keduanya.
Dilaporkan Detik, pada kubu petahana Joko Widodo-Ma’ruf Amin, pengembangan ekonomi berbasis digital memang menjadi salah satu prioritas program ekonomi pemerintahan Jokowi jika kelak ia kembali menjabat sebagai presiden. Hal ini masuk ke dalam program ketiga (dari total enam program): mempersiapkan Indonesia untuk menyongsong revolusi industri 4.0.
Kendati demikian, pengembangan ekonomi digital ini tidak hanya terpusat pada program ketiga. Pada program kedua terkait infrastruktur, misalnya, terdapat poin pengembangan infrastruktur digital untuk menyokong perkembangan ekonomi digital. Lebih lanjut, pada program keempat terkait pengembangan sektor ekonomi baru, terdapat poin memfasilitasi perkembangan ekonomi digital, termasuk transportasi daring.
Sementara itu, dilaporkan CNBC Indonesia, Prabowo-Sandiaga memiliki 36 program aksi ekonomi. Sebagian besar fokus dari program tersebut adalah pengembangan ekonomi “kerakyatan.”
Terdapat pula sejumlah poin yang fokus pada infrastruktur, tata kelola migas dan tambang, penciptaan lapangan pekerjaan, serta penghentian kebocoran kekayaan negara. Dari 36 program, hanya tiga program terkait ekonomi digital: program ke-5, ke-20 serta ke-21.
Program kelima merupakan program yang berkaitan dengan ekonomi digital di bidang pangan. Program itu berbunyi: “Meningkatkan kesejahteraan petani melalui penerapan inovasi digital farming untuk meningkatkan produktivitas dan sekaligus mendorong minat generasi muda dalam bidang pertanian.”
Program itu jelas selaras dengan apa yang dikatakan oleh Sandiaga, bahwa ia dan Prabowo akan fokus pada pengembangan sektor pangan dengan memanfaatkan teknologi digital melalui pengusaha-pengusaha muda.
Program ke-20, sementara itu, hanya menyebutkan bahwa Prabowo-Sandiaga akan mendorong pertumbuhan industri rintisan berbasis inovasi. Lebih lanjut, program ke-21 lebih terkait pada regulasi transportasi online.
Populis dan Sangat Populis
Melihat retorika Prabowo soal swasembada pangan dan 36 program kerja yang menyebut "rakyat" berkali-kali, pantas jika sebutan populis dialamatkan kepada pasangan calon Prabowo-Sandiaga. Prabowo juga kerap merujuk "elite" sebagai pihak yang berlawanan dengan aspirasi yang sedang diperjuangkannya.
Sementara itu, Sandiaga sering menyebut nama orang biasa dalam kesempatan debat. Bu Lis dari Sragen disebut pada debat ketiga, 17 Maret, untuk mengantarkan topik obat yang ditanggung BPJS Kesehatan. Pada debat terakhir, Sandiaga menyebut nama Nurjanah dari Langkat, Sumatera Utara untuk berbicara soal pentingnya penyediaan lapangan kerja. Bu Mia juga disebutnya kala hendak berbicara soal harga listrik yang terus naik.
Octavia Bryant dan Benjamin Moffitt dalam artikel mereka yang dimuat The Conversation menyebut ada dua prinsip inti populisme, yakni mengklaim berbicara atas nama rakyat atau orang biasa, dan orang biasa ini berada di posisi yang berlawanan dengan elite.
Apakah hanya Prabowo yang bermain dengan retorika populis?
Menurut Haryo Aswicahyono, peneliti bidang ekonomi di Center for Strategic and International Studies (CSIS), sesungguhnya kedua pasangan calon bermain di wilayah populisme.
“Di Indonesia, sebetulnya to some extent dua-duanya juga appeal to that [populisme],” sebutnya kepada Tirto. Namun, dalam catatannya, tingkat populisme kedua pasangan agak berbeda.
Ia mengatakan tawaran kebijakan populis dari Jokowi-Ma’ruf dalam program ekonomi mereka masih “lebih rasional” dibandingkan pasangan Prabowo-Sandiaga. Pasangan tersebut, menurut Haryo, masih menggunakan perhitungan-perhitungan yang terukur di tingkat makro dan ditopang teknokrasi bidang ekonomi yang sebagian besar didukung oleh ekonom dengan latar belakang pendidikan dari Universitas Indonesia.
Haryo tak meleset. Dalam debat terakhir, sisi populis Jokowi muncul tatkala ia membanggakan "kemandirian ekonomi" dalam sumber daya alam strategis yang tadinya dikuasai "asing". Jokowi lantas menyebut kepemilikan Indonesia di Blok Mahakam, Blok Rokan, juga Freeport.
Namun, Jokowi juga menunjukkan sisi teknokratnya saat ia menimpali kasus-kasus partikular—Jokowi menyebutnya dengan "ibu ini, ibu itu"—yang disebut Sandiaga dengan menjawab bahwa pengambilan keputusan harus didasari perhitungan secara makro.
Sementara itu, kubu Prabowo-Sandiaga, lanjutnya, dalam retorikanya beberapa kali kedapatan “tidak memperhatikan data.” Haryo merujuk pada retorika “kita dikuasai asing” yang kerap digunakan oleh kubu Prabowo-Sandiaga. Dalam konteks ini, Haryo merujuk pada isu tenaga kerja asing menguasai Indonesia yang kerap digunakan oleh kubu Prabowo-Sandiaga dalam retorika kampanye mereka.
Dalam laporan Tirto, Indonesia memiliki rasio perbandingan tenaga kerja asing yang lebih kecil (0,05 persen) dibandingkan Thailand (3,01 persen) dan Singapura (37,41 persen).
Dalam konteks debat, retorika ini muncul, misalnya, dalam segmen debat terbuka, ketika Prabowo menanyakan kepada Jokowi terkait kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Ini yang kami sangat risau, bahwa BUMN kita ... selalu dikalahkan dengan perusahaan asing. Kenapa bisa swasta lebih hebat daripada Garuda? Padahal, air space itu adalah aset bangsa kita,” sebut Prabowo.
Cas Mudde dan Cristobal Rovira Kaltwasser dalam buku berjudul Populism: A Very Short Introduction menuliskan bahwa meski pemimpin yang populis dapat memiliki ragam bentuk pendekatan dan retorika, semua memiliki satu kesamaan (Hlm. 20): “secara berhati-hati membangun citra bahwa mereka mewakili suara rakyat (vox populi).”
Kendati demikian, populisme biasanya diinisiasi oleh pemimpin yang memiliki citra kuat yang dalam “perilaku dan pidatonya, menampilkan diri mereka sebagai vox populi.”
Masih dari Mudde dan Kaltwasser, dalam populisme, untuk menggerakkan “masyarakat umum” memang dibutuhkan musuh yang memang sudah ditentukan sejak awal. Dalam konteks visi misi ekonomi Prabowo-Sandiaga, isu asing inilah yang kerap didengungkan oleh pasangan calon nomor urut 02 tersebut.
Lebih lanjut, sejumlah akademisi menilai bahwa dalam debat pamungkas kemarin, Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga terjebak teori dan retorika belaka.
Dilansir The Conversation Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, peneliti dan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menilai “Jokowi-Ma’ruf terjebak dalam perdebatan teoretis mengenai konsep makro dan mikro ekonomi dan agak minim dari sisi substansi.”
Sementara itu, Trissia Wijaya, peneliti kajian politik ekonomi sekaligus kandidat doktor Murdoch University di Austrlia, menuliskan bahwa Prabowo-Sandiaga menggunakan retorika usang yang telah mereka dengung-dengungkan sebelumnya seperti "langkah salah, ekonomi bocor, swasembada pangan, kewirausahaan".
Ia menilai Prabowo sesungguhnya dapat tampil lebih baik apabila ia membahas lebih detail terkait isu deindustrialisasi yang dikemukakan pada sesi pertama.
Editor: Maulida Sri Handayani