Menuju konten utama

Benarkah Tenaga Kerja Asing Mudah Masuk Indonesia?

Isu tenaga kerja asing (TKA) mencuat setelah Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres tentang penggunaan tenaga kerja asing (TKA).

Benarkah Tenaga Kerja Asing Mudah Masuk Indonesia?
Buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Batam melakukan aksi demo di depan Kantor Walikota Batam, Kepulauan Riau, Senin (6/2). Aksi ratusan buruh tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap tenaga kerja asing yang tidak memiliki keahlian serta menolak Peraturan Pemerintah (PP) No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. ANTARA FOTO/M N Kanwa/ama/17

tirto.id - "We are waiting for you to come to Indonesia, we are waiting for you to invest in Indonesia."

Jokowi berbicara tanpa teks di acara APEC CEO Summit pada 10 November 2014—beberapa pekan setelah dilantik jadi presiden. Pesan penting Jokowi, ia mengundang banyak investor asing menanamkan modal di Indonesia.

Undangan ini memang bukan basa basi, beberapa regulasi dan proses perizinan investasi dibenahi. Hasilnya di atas kertas realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) melesat, pada 2014 hanya Rp307 triliun, sedangkan tahun lalu sudah menembus Rp430 triliun. Investasi asing yang masuk tak terpisahkan dengan teknologi dan sumber daya manusianya, khususnya persoalan tenaga kerja asing (TKA).

Persoalan TKA di Indonesia memang sangat sensitif, saat ada lonjakan investasi dan proyek-proyek perusahaan Cina di Indonesia beberapa tahun lalu, isu "serbuan" TKA asal Cina sempat jadi kontroversi.

Presiden Jokowi masih terus berupaya merangkul aliran investasi, kali ini dengan melonggarkan perizinan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing pada 26 Maret 2018. Salah satu pertimbangan Perpres ini adalah upaya peningkatan investasi.

Contoh kelonggaran antara lain pemberi kerja (perusahaan) tidak wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) apabila TKA merupakan pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau anggota dewan komisaris pada pemberi kerja TKA, TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah, dan pegawai di kantor perwakilan negara asing. Bandingkan dengan Pasal 43 ayat 3, UU No 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan, yang mengatur RPTKA tidak wajib apabila untuk kepentingan instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.

Selain itu, pemberi kerja juga tidak harus melaporkan pelaksanaan penggunaan TKA setiap enam bulan sekali. Dalam aturan yang baru, pelaporan oleh pemberi kerja dilaksanakan setiap satu tahun sekali kepada Menteri Ketenagakerjaan.

Upaya melonggarkan ketentuan aturan terhadap TKA mendapat respons kontroversial dari masyarakat. Mereka menilai kemudahan tenaga kerja asing itu bakal mengancam tenaga kerja lokal dalam mencari pekerjaan. Politikus di DPR menilai TKA berpotensi mempersulit penciptaan lapangan kerja bagi warga Indonesia.

“Yang baik itu jika investor asing datang dan merekrut pekerja lokal. Mereka dapat untung dengan usahanya, kita untung dengan lapangan kerja yang diciptakan,” tutur Saleh Partaonan Daulay, Wakil Ketua Komisi IX DPR kepada Tirto.

Perdebatan soal sentimen TKA seolah tak relevan bila dikaitkan dengan posisi Indonesia dan sembilan negata ASEAN lainnya tergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara efektif berlaku 2015. Tujuan dari MEA antara lain untuk membuka jalan perdagangan barang dan jasa antarnegara; mengurangi biaya antarnegara; dan mempermudah iklim investasi. MEA juga diharapkan dapat mempermudah perpindahan tenaga kerja ahli.

Bagaimana aturan perizinan TKA di negara-negara ASEAN, seperti Indonesia, Singapura, dan Thailand?

Di Indonesia, visa kerja untuk TKA yang bekerja dan tinggal di Indonesia terdiri dari dua jenis, yakni Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) dan Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap). Kartu ini diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Untuk mendapatkan Kitas, proses yang harus dilalui TKA cukup panjang. Pertama-tama, perusahaan yang menggunakan jasa TKA harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pemerintah.

Selain itu, pemberi kerja juga harus menyerahkan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), di mana akan menjadi dasar untuk penerbitan Kitas. Untuk mendapatkan RPTKA, sebanyak delapan dokumen harus diserahkan kepada Kementerian Tenaga Kerja.

Setelah RPTKA, langkah selanjutnya adalah mendapatkan rekomendasi visa (TA01) dan izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Untuk mendapatkan izin IMTA itu, sebanyak 12 dokumen harus disiapkan pemberi kerja.

Selanjutnya, pemberi kerja harus mendapatkan izin Visa Tinggal Terbatas (Vitas), atau surat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Setelah itu, TKA mulai memenuhi seluruh syarat dan ketentuan untuk mendapatkan Kitas.

Dokumen yang harus disiapkan untuk mendapatkan Kitas mencapai 19 dokumen, yang terdiri dari 13 dokumen berasal dari pemberi kerja, dan enam dokumen dari TKA. Secara keseluruhan, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan Kitas mencapai 2-3 bulan.

Infografik Tenaga Kerja Asing di ASEAN

Berbeda dengan di Indonesia, pemberian izin bagi TKA di Singapura lebih rinci dengan proses yang kompleks. Izin kerja bagi setiap TKA bisa berbeda-beda, tergantung keahlian yang dimiliki.

Untuk TKA yang bekerja sebagai eksekutif, manajer atau ahli profesional wajib memiliki izin kerja berupa Employment Pass (EP). Untuk mendapatkan EP, minimal gaji bulanan TKA sebesar 6.000 dolar Singapura.

Biasanya, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan EP ini mencapai sekitar lima pekan. Namun bisa lebih cepat menjadi tiga pekan, apabila diproses secara online. Adapun, EP hanya bisa diajukan oleh pemberi kerja atau agen tenaga kerja.

Untuk keahlian menengah, TKA wajib memiliki S Pass. Minimum gaji bulanan untuk S Pass sebesar 2.000 dolar Singapura. Proses yang dibutuhkan untuk mendapatkan S Pass memakan waktu sekitar tiga pekan.

Dokumen yang harus disiapkan pemberi kerja untuk mendapatkan EP dan S Pass bagi TKA-nya tidak banyak, yakni sekitar tiga dokumen antara lain seperti data pribadi yang termuat di paspor, profil perusahaan/pemberi kerja, dan detail akademik TKA.

Di Thailand, proses tahapan pemberian izin kerja bagi TKA, termasuk cepat ketimbang negara-negara di ASEAN lainnya. Kementerian Tenaga Kerja Thailand membutuhkan waktu rata-rata tujuh hari dalam menerbitkan izin kerja TKA.

Namun, dokumen yang harus disiapkan pemberi kerja dan TKA cukup banyak, yakni mencapai 11 dokumen. Selain itu, pemberi kerja juga harus menyerahkan dokumen tambahan yang mencapai 9 dokumen.

Pemerintah Thailand juga memiliki empat syarat khusus bagi pemberi kerja, di antaranya seperti pemberi kerja harus memiliki empat pekerja lokal untuk setiap satu TKA, dengan jumlah maksimal TKA sebanyak lima pekerja.

Melihat tahapan proses perizinan di atas, bisa dikatakan proses perizinan TKA di Singapura dan Thailand lebih cepat ketimbang Indonesia. Dokumen yang disiapkan kedua negara itu pun juga jauh lebih sedikit.

Dari ketiga negara tersebut, Indonesia memang yang memiliki rasio perbandingan TKA dengan total tenaga kerja paling kecil, yakni 0,05 persen. Disusul, Thailand dengan rasio sebesar 3,01 persen, dan Singapura sebesar 37,41 persen.

Bank Dunia rupanya memiliki pandangan lain soal perizinan TKA. Mereka menilai izin kerja bagi TKA yang lebih longgar dapat meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja, sekaligus memperdalam ekonomi regional yang terintegrasi.

Saat ini, MEA memang sudah mengatur perpindahan tenaga kerja asing. Aturan yang dibuat MEA hanya mencakup profesi tertentu, seperti doktor, insinyur, arsitek, dan lainnya, atau menyumbang 5 persen dari total pekerjaan di Asia Tenggara.

Padahal, pekerja dengan keahlian rendah—biasanya bekerja di sektor konstruksi, perkebunan dan jasa—memiliki peluang untuk mendapatkan gaji besar. Sayangnya, mereka tidak bisa mengambil peluang dari MEA tersebut.

“Dengan kebijakan yang tepat, negara pengirim [tenaga kerja] dapat memetik manfaat ekonomi. Bagi negara penerima, pekerja asing dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tutur Chief Economist World Bank untuk wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Sudhir Shetty dikutip dari situs resmi Bank Dunia.

Berdasarkan simulasi Bank Dunia, pertumbuhan PDB di Malaysia dapat tumbuh 1,1 persen apabila jumlah TKA dengan keahlian rendah meningkat 10 persen. Sementara di Thailand, tanpa kehadiran TKA di sana bisa berpotensi mengoreksi PDB hingga 0,75 persen. Ini berkebalikan dengan anggapan bahwa keberadaan TKA di satu negara cenderung merugikan.

Dalam konteks Indonesia, sebaiknya pemerintah fokus menerima TKA yang punya kemampuan yang tinggi dan ada upaya transfer teknologi. Isu TKA memang sangat sensitif di tengah angka pengangguran di Indonesia saat ini juga masih tinggi, ada 7,04 juta orang, dan jumlah pekerja informal yang besar.

Baca juga artikel terkait TENAGA KERJA ASING atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra