tirto.id - Kemajuan teknologi tak terelakkan. Para ahli terus berinovasi menciptakan perkakas yang dapat mempermudah kehidupan manusia. Kenyataan itu juga terjadi di sektor perbankan. Munculnya perusahaan-perusahaan rintisan (startup) di bidang finansial, atau kini akrab disebut fintech, akhirnya memecut perbankan untuk tampil lebih digital—demi menggaet nasabah yang memang punya karakter lebih akrab dengan teknologi.
Awal Agustus lalu, Bank Commonwealth Indonesia mendapat rekor dunia dari Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI), karena mengeluarkan sebuah mesin pembuatan ATM tercepat di dunia. Ia bisa memangkas waktu pembuatan rekening dan pengaktifan layanan mobile banking serta internet banking cuma sampai 10 menit saja. Padahal biasanya, proses tersebut baru selesai sejam-dua jam atau bahkan seminggu. Hebatnya lagi, ukurannya lebih kecil dari mesin ATM. Ia dinamai Tyme Digital.
Kehadirannya diharapkan jadi solusi untuk proses berbelit-belit perbankan yang makan banyak waktu.
Baca juga:Selamat Datang Era Digital Layanan Perbankan
Di bulan yang sama tahun sebelumnya, Bank Tabungan Pensiun Negara (BTPN) malah meluncurkan sebuah aplikasi yang memungkinkan seseorang membuat rekening bank dari ponsel pintarnya, bernama Jenius. Hal itu mereka lakukan untuk memudahkan para calon nasabah dan nasabah agar tak perlu lagi mengunjungi kantor bank, atau bahkan mesin ATM.
Menghemat waktu administratif bank memang perlu. Menurut Survei Marketing Research Indonesia (MRI) 2016-2017, seorang nasabah membutuhkan waktu minimal 1 jam untuk membuka rekening bank, dari mulai mengisi formulir, fotokopi data pribadi berupa KTP dan NPWP, menunggu pencetakan kartu ATM, aktivasi IB dan MB hingga mendengarkan informasi penawaran produk dan layanan.
Belum lagi, untuk di kota-kota besar, seperti Jakarta, waktu tempuh ke lokasi bank pun sangat lama. Untuk jarak 5 km, menurut Badan Pusat Statistik 2015, diperlukan minimal 1 jam untuk mencapai tujuan. Renovasi jalan besar-besaran di Jakarta bahkan membuat seseorang membuang umurnya seminggu di jalanan tiap tahun.
Baca juga:Di Jakarta, Orang Buang Umur Seminggu di Jalanan Tiap Tahun
Urusan perbankan yang mengharuskan ke kantor bank jelas sudah tidak efisien. Bank harus mendigitalisasi diri agar seimbang dengan zaman. Masalahnya, sebuah kemudahan selalu datang diiringi dengan tantangan.
Digitalisasi perbankan tak cuma memangkas arus administrasi bank. Sejumlah pekerjaan yang biasanya dikerjakan manusia, kini diselesaikan mesin dan piranti lunak dengan waktu yang lebih cepat dan efisien.
Hal itu diakui sendiri oleh BTPN. Kemudahan teknologi yang mereka kembangkan, misalnya aplikasi Jenius dan WOW, akan mengurangi relevansi kantor cabang. “Ada perubahan tuntutan kerja dan penyesuaian organisasi,” kata Anika Faisal, Direktur Kepatuhan BTPN kepada Tirto. “Kita kan harus mengikuti perubahan bisnis. Seiring dengan perubahan bisnisnya, tentu ada perubahan komposisi organisasinya.”
Perubahan yang dimaksud termasuk hilangnya sejumlah pekerjaan lama, dan munculnya beberapa jenis pekerjaan baru. Pekerjaan-pekerjaan lama yang hilang adalah yang terkait dengan penutupan sejumlah kantor cabang. Sementara pekerjaan-pekerjaan baru yang muncul adalah sejumlah slot teknisi yang akan membantu mengembangkan produk teknologi bank mereka.
“Misalnya kita butuh yang teknologi, (untuk) coding," katanya.
Para pekerja baru itu umumnya memiliki perilaku yang berbeda dengan karyawan bank pada umumnya. Bank-bank harus terus bisa beradaptasi dengan slot pekerja baru ini. "Mereka ini kan biasanya kerjanya beda, bukan tipikal yang loyal dan kerja bertahun-tahun kan. Biasanya tiga-empat tahun. Karakter pekerjanya sendiri kan sudah berubah juga,” tambah Anita.
Akan Memakan Pekerjaan "Back Office"
Hal yang dilakukan BTPN selaras dengan hasil riset Citigroup. Mantan Bos Citigroup Vikram Pandit bilang pada Bloomberg, 30 persen pekerjaan di bank akan hilang sampai 5 tahun mendatang. Perbankan akan semakin banyak menggunakan kinerja robot untuk melakukan berbagai pekerjaan, terutama dari kecerdasan buatan (AI). Teknologi tersebut akan menggantikan tenaga manusia di back office.
“Semua yang dilakukan kecerdasan buatan, robot, dan natural language processing (kemampuan komputer memahami bahasa manusia)—akan membuat banyak proses jadi lebih mudah,” kata Pandit. “Hal-hal itu yang akan mengubah back office.”
Di Amerika, menurut catatan Citigroup, angka penurunnya sampai 770 ribu. Sementara di Eropa sampai angka 1 juta.
Di Indonesia tren ini belum terlalu terlihat. Dari laporan tahunan beberapa bank besar, jumlah pekerjanya memang meningkat setidaknya sejak 2010 hingga 2016. Maryono, Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) bahkan mengatakan sejauh ini bank-bank Indonesia justru masih akan merekrut pekerja baru untuk beberapa tahun ke depan. Menurutnya, pengurangan sumber daya manusia belum bisa dipastikan, sebab perbankan masih harus melihat ekpansi bisnis ke depannya.
“Masih perlu dikaji lagi,” ungkapnya.
Kartika Wirjoatmodjo, Presiden Direktur dan CFO Bank Mandiri, juga punya opini serupa. “Kalau dalam jangka panjang, 10–20 tahun ke depan, mungkin akan ada (pengurangan SDM perbankan). Tapi kalau lima tahun ke depan, masih belum,” kata Tiko. Ia juga menilai sejumlah bank justru masih akan merekrut pegawai besar-besaran.
Bank Mandiri sendiri, kata Tiko, menyiasati masalah pengurangan tenaga manusia dengan sistem rekrutmen dan pensiun. “Di bank saya sendiri (Mandiri), alur masuk (rekrutmen) dan alur pensiunnya itu yang diatur. Jadi tidak dikurangi sekali banyak,” ungkap Tiko.
Bank Commonwealth yang punya Tyme Digital juga menganggap perkembangan teknologi tak semata-mata melenyapkan kebutuhan pada tenaga manusia. “Sentuhan manusia itu masih perlu. Justru kita bikin Tyme Digital ini supaya karyawan kita tidak lagi dipersulit masalah-masalah sederhana begitu (administrasi pembuatan rekening baru),” kilah Rian Kislan, Head of Corporate Strategy & Digital Solutions Bank Commonwealth, 2 Agustus 2017.
Sementara Anika melihat digitalisasi perbankan sebagai keniscayaan. Perubahan itu pasti akan terjadi, tinggal masalah waktu. “Karena sekali instal sebuah teknologi kan penggunaannya akan lebih lama,” ungkap Anika.
Menurutnya, digitalisasi perbankan adalah perkara visi masa depan. “Yang kita lakukan bukan untuk tahun depan, tahun 2020, tapi ini jangka panjang. Perbankan yang digitalisasi duluan memang tidak dapat dampaknya langsung sekarang, tapi untuk nanti di masa depan. Ya istilahnya, mesti sakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian,” tutup Anika.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti