tirto.id - Sumiati pagi itu datang tergopoh-gopoh menuju tempat Sopandi nongkrong tepat di belakang Halte Ampera, Jakarta Selatan.
“Bagi duit!” ujarnya, menengadahkan tangan, kepada suaminya. Ia berkata, uang itu untuk membayar buku sekolah si bungsu, yang kelas 2 SMP.
Sopandi kaget belaka. Ia menoleh ke belakang, mungkin agak malu. Nada suara istrinya melengking dan menggerutu.
“Belum dapat narik, gimana mau dapet duit?” kata Sopandi, yang dibalas muka masam istrinya.
“Gimana sih jadi bini, enggak mau sabar dikit, kenapa sih?” Sopandi menyeringai, kawan-kawan di dekatnya tergelak.
“Lagian jangan dadakan. Kalau bilang dari semalam, kan, pagi ini gue narik,” sambung Sopandi.
Sumiati lantas melenggang sambil merongseng. Orang-orang di sekitarnya cuma bisa mesem melihat tingkah pasangan ini.
Di seberang Sopandi, sebatang Jalan Ampera riuh oleh suara knalpot sepeda motor, berbaur raungan barisan mobil yang sebentar maju perlahan, tetapi lebih sering diam macam parkiran panjang. “Saya malas kalau narik pagi-pagi gini,” katanya kepada saya, awal September lalu.
Sesudah lebaran, Sopandi sudah tak pernah lagi menggeber Isuzu TLD 56 keluaran tahun 80-an milik bosnya pada jam-jam sibuk di pagi hari.
Sebabnya, macet parah di perempatan Mampang Prapatan. Kemacetan ini disebabkan pembangunan underpass dari depan Pasar Mampang menuju Jalan HR Rasuna Said, salah satu titik macet terparah di Jakarta. Proyek Pemprov Jakarta ini diniatkan buat memecah pengendara dari dua arah berlawanan itu langsung menembus melewati bawah tanah tanpa perlu terhambat dua lampu merah.
Pembangunan ini dikritik karena jalur Mampang - Kuningan terpotong hingga setengahnya, dari lima lajur kini tinggal dua ruas jalan. Lajur khusus busway untuk proyek pun memperparah kemacetan. Bus berukuran besar itu mesti berdesakan melalui jalan yang sama dengan pengendara umum.
Sudah hampir 20 tahun Sopandi jadi supir Kopaja 612 rute Kampung Melayu - Ragunan. Apa yang terjadi di Mampang, katanya, sudah kelewat batas.
“Sejak jadi supir dari tahun 1997, enggak pernah sekesal seperti sekarang,” keluhnya.
Ia masih ingat, pekan pertama awal Juni lalu, suatu ketika ia terjebak macet di Mampang hingga tiga jam. “Saya terjebak di depan kantor BlueBird. Mau puter balik juga enggak bisa.”
Jika hendak ke Kampung Melayu, rute 612 memang harus melewati Mampang, lalu berbelok di Tendean, lantas ke Pancoran, sebelum akhirnya berbelok di Jl. Prof. Dr. Supomo. Rute yang sama ia lalui saat kembali menuju Ragunan.
Selain Mampang, kemacetan mengerikan lain dialaminya di Pancoran. Dua proyek konstruksi sekaligus, yakni pembangunan jalan layang Pancoran dan tiang pancang kereta cepat ringan (LRT), menjadi pemicunya .
Bukan untung malah buntung. Alhasil, Sopandi tak pernah mengendarai mobil pada jam sibuk di pagi hari.
“Banyak nomboknya. Kadang satu rit, bahan bakar bisa habis Rp40 ribu. Duit dari penumpang paling Rp60-70 ribu. Jangankan untuk sendiri, untuk setoran yang per hari Rp200 ribu saja susah ngejar,” ucapnya.
Baca juga: Ambisi Jokowi dan Ahok Mengebut Infrastruktur di Jakarta
Namun, ia menegaskan, bukan berarti di luar jam sibuk juga ia dapat keuntungan. Sebab, dalam beberapa bulan terakhir, pendapatannya terus menurun karena jumlah perjalanan bolak-baliknya terus berkurang. Musim macet begini, katanya, paling banter dapat empat rit.
Di dekat Sopandi, duduk Asrori, dulu sopir Kopaja. Juli lalu, Asrori beralih haluan pekerjaan jadi sopir Go-Jek. Asrori coba merayu Sopandi agar mengikuti langkahnya.
Saat jadi sopir Kopaja, ia punya cara supaya tetap menarik penumpang di tengah macet parah di rute tersebut. “Untuk akali macet di Mampang, saya biasanya belokin mobil ke Duren Tiga, langsung tembus Pancoran,” kata Asrori.
Namun, sukses mengakali macet, belum tentu juga meraup pemasukan.
“Yang ada malah enggak ada penumpang,” ujarnya. “Malasnya kalau keluar jalur sering ditilang polisi, sama diomelin petugas. Jadi harus kucing-kucingan. Macet gini mereka harusnya ngerti.”
Di tengah obrolan, ponsel Asrori berbunyi. Sebuah pesan masuk. Isinya, order mengantar penumpang. Ia diam sejenak. Ia membuka aplikasi Google Maps. Garis merah pekat yang memanjang dari Pasar Mampang hingga Kantor Imigrasi berjarak 1,8 kilometer membuatnya mantap menolak pesanan itu.
“Ini minta dianter ke Plaza Festival. Duit enggak seberapa tapi capeknya minta ampun. Meski pakai motor, tapi bisa 45 menit lewatin macet di situ,” kata Asrori.
Baca juga:
Menunggu Ajal Metromini dan Kopaja pada 2018
Cara-Cara Metromini dan Kopaja Bertahan di Jalanan Ibu Kota
Cerita Andi lain lagi. Melewati kemacetan di Mampang adalah makanan sehari-harinya. Ia dipaksa oleh pekerjaan untuk melintasi sekaligus menyumpahi macet di areal tersebut.
Andi bekerja sebagai petugas on-board alias kernet busway jurusan Ragunan - Dukuh Atas. Ia apes kalau kebagian jam kerja pagi. “Sudah stres karena macet, saya juga kadang stres hadapi penumpang,” keluhnya.
Jalur busway yang menyatu dengan jalur umum di bawah jembatan layang Tendean, mau tak mau, bikin bus TransJakarta yang melintas dari arah Warung Buncit ke Kuningan jadi terhambat. Imbasnya, sering terjadi antrean memanjang belasan TransJakarta dari Halte Mampang hingga Duren Tiga.
“Setelah dari Duren Tiga biasa stuck,” kata Andi. “Kalau mobil tidak gerak, biasanya penumpang ngamuk-ngamuk minta langsung diturunkan, sebetulnya tidak boleh, tapi ya gimana lagi?”
Irwan, seorang karyawan swasta yang bekerja di kawasan Rasuna Episentrum, sering mengalami momen menyebalkan ini. Indekosnya di Kalibata Tengah dan, untuk menuju kantor, ia biasa naik TransJakarta di halte Warung Jati Barat. Sebelum pembangunan underpass dimulai, ia biasa berangkat ke kantor jam 8-an pagi. “Sampai kantor paling telat jam 9-an,” katanya.
“Tapi sekarang saya biasa berangkat jam setengah 6. Macetnya parah! Kalau berangkat jam 8-an bisa sampai jam 10-an ke atas, sering kena omel kalau telat gini,” katanya.
Kota Macet Ketiga di Dunia
Jakarta dinobatkan oleh TomTom, sebuah perusahaan di bidang Navigasi dan GPS—sebagai kota dengan tingkat kemacetan terparah ketiga di dunia.
Indeks lalu lintas Jakarta mencapai 59 persen, di bawah Kota Meksiko (66 persen) dan Bangkok (61 persen). Maksud 59 persen artinya waktu tempuh Anda akan bertambah 59 persen saat berkendara di Jakarta dibanding waktu normal.
Jika dirata-ratakan dari seluruh pergerakan kendaraan di Jakarta, setiap rute membutuhkan waktu ekstra sebanyak 48 menit per hari atau 184 jam per tahun. Angka ini sama dengan 7,6 hari per tahun. Artinya, saban tahun, penduduk Jakarta menghabiskan umur mereka sebanyak satu minggu bermacet-macetan di jalanan.
Rerata indeks lalu lintas 59 persen ini akan meningkat jadi 63 persen pada pagi hari dan 95 persen pada petang hari. Keseluruhan total jalan di Jakarta, yang hanya 42.703 kilometer, tidak sanggup menampung lalu-lalang kendaraan yang jumlahnya mencapai jutaan per hari. Polda Metro Jaya merilis, sejauh ini, ada 69 titik rawan macet di Jakarta—angka yang sangat mungkin terlalu rendah mengingat betapa lazimnya kemacetan di ibu kota Indonesia ini.
Baca juga:
Meski Jalanan Sudah Macet, Pemerintah Terus Menambah Mobil
Orang Indonesia Paling Malas Berjalan Kaki
Membeli Mobil Hanya untuk Diparkir
Seberapa Parah Kemacetan di Mampang?
Data dari aplikasi Waze memperkirakan, rerata waktu tambahan bagi kendaraan mobil yang hendak melewati Mampang dari arah Duren Tiga, yang berjarak cuma 2 km, berkisar 20-30 menit. Data ini tidak mencakup macet parah saat jam sibuk di pagi dan petang hari. Waze mencatat, pada jam-jam sibuk itu, rerata waktu tambahan mencapai dua kali lipat, antara 45 hingga 60 menit.
Saya mencoba bereksperimen untuk mengetahui seberapa lama melewati jalur Mampang dengan tiga moda kendaraan berbeda: motor, mobil, dan busway. Eksperimen ini dilakukan saat jam sibuk di pagi hari (pkl 08.00–09.00) dan siang hari (pkl 13.00-15.00).
Rutenya, saya menyusuri sepanjang jalan Mampang hingga jalur di bawah jembatan layang Tendean dari perempatan Kemang Utara - Duren Tiga Selatan.
Entah apes atau tidak, saat menguji coba dengan motor pada pagi hari, waktu tempuh itu mencapai 32 menit. Setelah dari Halte Busway Duren Tiga, laju motor saya cenderung stagnan, tak bergerak sama sekali.
Pada siang hari, macet sedikit berkurang—waktu tempuh hanya 21 menit. Angka ini sebetulnya masih parah karena jarak yang ditempuh selama 21 menit itu hanya 2 kilometer. Artinya, kecepatan motor berkisar 5,5 km/jam. Jika Anda berjalan cepat, Anda bisa menyalip saya karena kecepatan rerata jalan cepat manusia berkisar 6 km/jam.
Jika waktu tempuh motor saja lambat, apalagi dengan mobil atau bus TransJakarta. Waktu tempuh pada pagi hari saat memakai mobil mencapai 1 jam 23 menit, sedangkan pada siang hari menghabiskan 56 menit.
Angka tersebut tak jauh berbeda dengan kendaraan busway. Pagi hari jarak tempuh dari Halte Imigrasi ke halte Mampang mencapai 1 jam 10 menit. Sedangkan siang hari waktu tempuh itu sekitar 48 menit.
Idealnya, kemacetan di Mampang bisa mendorong atau memaksa pengguna mobil atau motor memilih naik TransJakarta. Namun, imbas jalur busway yang termakan proyek bikin pikiran macam itu sulit diterapkan.
Terhambatnya pergerakan bus di Mampang otomatis berimbas penumpukan di sekitar Halte Kuningan Barat hingga Dukuh Atas.
“Untuk ke Dukuh Atas, saya pakai motor lagi. Bus dari Mampang selalu telat,” keluh Umar, seorang karyawan swasta.
Humas PT Trans Jakarta, Wibowo, menuturkan pihaknya sudah mencari solusi dengan menyiagakan petugas di bawah flyover Pancoran untuk membantu kendaraan TransJakarta masuk ke jalur umum untuk mengatasi macet.
Namun, Wibowo sadar upaya itu masih belum cukup efektif. “Sebatas yang bisa kami lakukan hanya memperlancar. Saya pikir masyarakat juga mengerti ada pembangunan masif, toh mau naik TransJakarta atau mobil sama aja,” katanya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam