Menuju konten utama

Ambisi Jokowi dan Ahok Mengebut Infrastruktur di Jakarta

Proyek infrastruktur di Jakarta bikin belantara kemacetan kian parah saja. Tak peduli Anda naik kendaraan pribadi atau transportasi umum sekalipun.

Kemacetan lalu lintas di Jalan MT Haryono dari arah Cawang akibat penyempitan ruas jalan untuk proyek pembangunan LRT Jabodetabek. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Seorang perempuan tua mengacungkan tangan. Dengan nada kesal ia menggerutu dan mengadu kepada Gubernur DKI Jakarta ke-17, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. "Pak, itu kok di Pancoran macet banget sih sekarang? Proyeknya enggak bisa dikerjakan satu-satu, ya?" keluh si ibu.

Saat itu, 14 April 2017, Ahok diundang grup musik Slank untuk berkunjung ke markas mereka di Gang Potlot, Kalibata. Ahok hadir untuk berkampanye putaran dua Pilgub DKI Jakarta. Sebelum menjawab pertanyaan si ibu, Ahok menganggukkan kepala seakan-akan membenarkan keluhan tersebut.

Ahok menceritakan musabab keputusan membangun jalan layang Pancoran, yang berbarengan dengan konstruksi proyek kereta cepat ringan (LRT). Proyek light rail transit Jabodetabek digarap pemerintah pusat lewat BUMN PT Adhi Karya. Dua proyek itu acap kali memicu kemacetan mengular hingga 2-3 kilometer dari Jalan MT Haryono sampai Universitas Kristen Indonesia. Sebabnya, konstruksi kedua proyek itu memakan hingga separuh lajur jalan.

Ahok menyampaikan, syahdan seorang konsultan datang kepadanya memberi pilihan terkait proyek infrastruktur underpass dan jalan layang di Jakarta.

“Kalau Bapak bangun (jalan layang) sekaligus, macetnya bisa (bertambah) 80 persen. Kalau Bapak pilih satu-satu (bangun jalan layang), macetnya 30 persen. Bapak pilih yang mana?” ucap si konsultan seperti ditirukan Ahok.

“Saya pilih potong sekaligus. Macetnya enggak apa-apa jadi 80 persen,” jawab Ahok. “Orang Jakarta juga sudah biasa mengalami kemacetan. Yang penting dua tahun selesai, jadi plong. Pembangunan LRT juga sama, kami tidak mau tunda,” katanya, lagi.

Baca juga: LRT yang Terlambat Datang di Jakarta

Sejak 2015, proyek infrastruktur sarana transportasi di Jakarta digenjot habis-habisan secara serempak. Baik oleh pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta.

Dua tahun terakhir, Pemprov Jakarta membangun jalur busway melayang Tendean-Ciledug dan dua jalan layang Kuningan Selatan, Permata Hijau, serta simpang susun Semanggi. Empat proyek ini sudah selesai.

Sementara proyek yang dibangun pemerintah pusat, selain LRT Bekasi-Cawang dan LRT Cibubur-Cawang, adalah angkutan cepat terpadu (MRT) koridor I Lebak Bulus - Bundaran HI, tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu), dan Tol Antasari - Depok.

Baca juga:

Riset Mandiri Tirto: Desain MRT, Kepala Jangkrik atau Futuristik?

Ular Besi di Bawah Tanah Jakarta

Tol Becakayu, Setitik Harapan untuk Para Pelaju Bekasi

Di saat megaproyek ini belum rampung, proyek baru langsung digeber Jokowi tahun ini lewat konstruksi LRT Cawang - Dukuh Atas, Tol layang Jakarta-Cikampek, dan ruas tol dalam kota Sunter-Pulo Gebang yang digarap oleh Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat.

Peningkatan jumlah proyek juga dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Tahun ini saja setidaknya ada 7 proyek besar: 3 jalan layang di Bintaro Permai, Cipinang Lontar, dan Pancoran; 3 underpass di Jalan Kartini, Matraman, dan Mampang-Kuningan; serta proyek LRT Jakarta yang digarap PT Jakarta Propertindo (Jakpro) rute Kelapa Gading-Velodrome.

Baca juga:

Mempertanyakan Efektivitas Tol Layang Cikampek

Tol Jakarta-Cikampek Sudah Capek dan Jenuh

Kembalinya Sosrobahu di Tol Layang Jakarta-Cikampek

Proyek-proyek yang digagas pemerintah pusat ditargetkan selesai dan bisa beroperasi sebelum 2019, baik itu tol penghubung ke Jakarta, tol dalam kota, MRT maupun LRT. Target ini diakui PT Adhi Karya (persero) Tbk.

Direktur Utama PT Adhi Karya, Budi Harto, mengatakan pihaknya memang dituntut Jokowi untuk menyelesaikan LRT Jabodetabek sesuai rencana awal, yakni menyelesaikan konstruksi fisik pada akhir 2018, dan bisa beroperasi pada 2019, tepat ketika pemerintahan Jokowi berakhir—jika tidak terpilih lagi.

Sementara Pemprov Jakarta menargetkan proyek pengembangan simpang jalan bisa selesai akhir tahun ini. “Progres pembangunan flyover dan underpass saat ini sekitar 60-an persen. Kami berupaya untuk bisa selesai akhir tahun,” kata Heru Suwondo dari Dinas Bina Marga DKI Jakarta.

Adapun proyek LRT Jakarta ditarget bisa beroperasi sebelum pelaksanaan Asian Games, yang rencananya digelar 2 Agustus - 18 September tahun depan.

“Persiapan konstruksi LRT Jakarta terus berjalan, dan sekarang kontraktor sudah mulai menebang pohon, penanaman kembali pohon di BKT, pengupasan jalur hijau, pemasangan pagar proyek, perataan tanah dan sebagainya. Kami terus bergerak, dan masih on-schedule. Tanggal 6 Agustus 2018 ditarget bisa beroperasi,” ungkap Presiden Direktur PT Jakarta Propertindo, Satya Heragandhi.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/09/22/Proyek-Pengembangan-Infrastuktur-Transportasi-di-Jakarta--INDEPTH--Mojo-01.jpg" width="860" alt="Infografik HL Indepth Kerja Kerja Kerja" /

Bikin Jalan Raya Makin Menyempit

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pengerjaan proyek pada tahun ini berdampak signifikan terhadap kemacetan di Jakarta, yang memang sudah parah akibat volume kendaraan lebih tinggi ketimbang penambahan jalan raya.

Baca juga: Sadar Darurat Macet tapi Penjualan Mobil Terus Digenjot

Musababnya, lokasi proyek seringkali berdekatan, atau bahkan berada di jalan sama. Misalnya, pengerjaan berbarengan LRT Jakarta Kepala Gading - Velodrome dengan Tol Sunter - Pulo Gebang di Jalan Boulevard Timur dan Barat, Jakarta Utara.

Di titik ini, selain ada proyek dari pemerintah pusat dan Pemprov Jakarta, pihak swasta lewat Agung Sedayu Group—salah satu pengembang properti terbesar di Indonesia—pun menggarap proyek infrastruktur lewat jembatan layang dari Jalan Boulevard Timur, yang tembus ke Cakung Tipar. Proyek ini dibangun sejak 2014, sempat mangkrak, tetapi direncanakan beroperasi bulan depan.

“Saya sebetulnya sudah malas kalau pagi dan sore lewat sini. Saya saja yang pakai motor bisa habiskan waktu sampai setengah jam sendiri dari La Piazza ke Mall Of Indonesia,” gerutu Irvan, seorang sopir Go-Jek, menyebut dua lokasi berdekatan yang normalnya bisa ditempuh dalam 10-an menit.

“Ya gimana enggak macet? Ini lajur jalan hampir dihabisin proyek. Nyalip pakai motor pun susah. Belum lagi seringkali truk proyek parkir seenaknya,” tambah Irvan.

Kontraktor Tol Sunter - Pulo Gebang, PT Jakarta Tollroad Development dan PT Jakpro selaku pembangun LRT Jakarta berkilah pihaknya sudah berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengurai kemacetan.

Namun, fakta di lapangan, lajur jalan yang sempit mau tak mau membuat kemacetan parah itu sulit terhindar.

“Enggak apa-apa sekarang sedikit macet, tapi 5-6 tahun lagi, Jakarta akan lebih baik,” ucap Dirut PT Jakarta Tollroad Development Frans S. Sunito.

Apa yang terjadi di Kelapa Gading tentu tidak separah di Cawang - Pancoran - Kuningan. Keluhan kesemrawutan di sana bahkan dilontarkan langsung oleh Presiden Joko Widodo.

“Saya kemarin ketemu Pak Jokowi. Dia ngeluh, 'Pancoran macet!'” kata Ahok meniru ucapan Jokowi pada April lalu. “Kan, keputusan itu kita ambil sama-sama, Pak,” jawab Ahok, menjelaskan keputusan menggeber proyek infrastruktur tersebut saat Jokowi masih menjabat Gubernur Jakarta.

Di sepanjang Cawang - Pancoran - Kuningan terdapat konstruksi LRT Jabodetabek, yang pembangunan tiang pancangnya menghabiskan hampir 2 lajur atau separuh badan jalan.

Data dari Google Traffic, setiap Senin jam 8-9 pagi, pengendara dari Tol Cililitan hingga Taman Mini Indonesia Indah terkena dampak macet, yang jaraknya 12 kilometer dari Cawang.

Sementara kendaraan dari arah Bekasi via Tol Cikampek, dampak kemacetannya meluber hingga pintu Tol Jatiwaringin. Penyebabnya, usai keluar dari tol, mobil harus bersempit-sempitan melalui jalan MT Haryono yang hanya disiapkan 2-3 lajur dari semula 4 lajur.

Setiap hari Aep Saefullah, supir travel Bandung – Jakarta, mesti melalui jalur panas ini. Tiap hari ia mesti mengantar penumpang dari Pasteur ke pul travel di Pancoran.

“Saya sudah minta ganti rute ke bos, sudah enggak tahan lewat jalur ini. Bayangin, ini bukan di jam sibuk, dari Bandung ke Cawang paling 2 jam. Dari Cawang ke Pancoran bisa 2,5 jam sendiri. Siapa yang enggak stres?” katanya pada satu siang. Jarak Bandung dan Cawang sekitar 144 km, sementara jarak Cawang dan Pancoran cuma 5 km. Perbedaan ini besar sekali.

“Bagaimana enggak macet? Semua kendaraan tumplek jadi satu. Yang pakai motor, mobil, dan TransJakarta harus dipaksa lewati jalan ini, jadi lebih sempit. Hari biasa saja sudah macet, apalagi kalau jalannya dibikin sempit,” ujar Bripda Andi, seorang Polantas yang berjaga di dekat Halte BNN, Cawang.

Bermacam siasat diklaim sudah dilakukan Dishub, Dirlantas Polda, dan kontraktor untuk meminimalisir kemacetan dengan mengalihkan arus lalu lintas agar bisa mengurangi volume kendaraan. Namun, sejauh ini, hasilnya belum efektif.

Apa Benar Bisa Rampung pada Akhir 2018?

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menilai bahwa pelaju sudah telat jika mangeluh macet akibat konstruksi infrastruktur tersebut. “Yang dibutuhkan sekarang adalah kepastian. Berapa lama dan kapan proyek-proyek ini selesai, 2018 atau 2019? Sehingga bisa menyiasatinya,” ucapnya.

Data terbaru dari PT Adhi Karya, yang diterima reporter Tirto, menggambarkan sampai Agustus lalu, progres pembangunan LRT Jabodebek fase I baru mencapai 18,9 persen, dengan progres masing-masing lintas layanan yang berbeda-beda: Cawang-Cibubur 36,7 persen, Cawang-Bekasi Timur 20,2 persen, dan Cawang-Dukuh Atas 4,9 persen.

Dari data di atas, artinya capaian tiap proyek masih belum 50 persen.

Pertanyaannya: Apa mungkin target akhir 2018 bisa tercapai? Terlebih selama bulan-bulan ke depan bakal dilalui musim hujan, biasanya antara November - Januari, yang dapat mengganggu kelancaran proyek.

Begitupun soal pembangunan underpass yang digarap oleh Pemprov DKI. Diakui Dinas Bina Marga, hambatan itu berpotensi memperlambat waktu pengerjaan proyek karena tidak berkaitan secara teknis dengan pembangunan proyek.

“Kendala-kendala di lapangan cukup lumayan. Terutama kendala pada pembangunan underpass. Kendala terutama masih adanya crossing utilitas yang belum direlokasi," kata Heru Suwondo dari Dinas Bina Marga DKI Jakarta.

Crossing itu di antaranya pipa PAM, PLN, dan gas milik PGN. Lalu kapan urusan ini selesai? “Tergantung kapan pihak utilitas bisa segera relokasi. Kita berharap, pihak pemilik jaringan utilitas segera merelokasi sehingga kita bisa segera bekerja di areal tersebut,” katanya.

Guru Besar Transportasi Universitas Tarumanegara, Leksmono Suryo Putranto, menyebut faktor nonteknis memang seringkali berpengaruh besar terhadap perkembangan proyek. Imbasnya, macet parah akibat proyek bakal lama.

“Ini harus diantisipasi, apakah proyek ini akan berjalan lancar dan on-schedule tidak?” katanya. “Jika tidak, pemerintah dan kontraktor pun harus terbuka, karena kemacetan yang ditimbulkan amat merugikan publik.”

Terkait kemacetan dari imbas pembangunan LRT, ia berharap, jika tiang pancang sudah dipasang dan jalur-jalur rel sudah terkoneksi, alangkah baiknya seng penutup proyek dilepas.

“Saya tahu itu bisa dibuka. Ya bukalah. Kalau dibuka, ruang lalu lintas bisa lebih lebar,” pintanya.

Terkait keluhan penyempitan jalan akibat proyek infrastruktur ini, Sekretaris Korporat PT Adhi Karya, Ki Syahgolang Permata, mengatakan bahwa kondisi itu bakal terus dibiarkan sampai proyek seutuhnya rampung. Artinya, permintaan seperti yang dilontarkan oleh Leksmono sangat mungkin tidak ditanggapi. Kontraktor tidak akan membuka zona proyek secara bertahap sekalipun pengerjaan di titik itu sudah selesai.

“Semuanya menunggu seluruh jalur beroperasi,” ujar Permata.

Ini artinya kemacetan parah bakal terus dialami oleh para pengendara di sepanjang Cawang - Pancoran – Kuningan, dan mereka harus mengurut kesal dan memendam kesabaran sampai 2019—dengan catatan: itu pun bila proyek tersebut memenuhi target pemerintahan Jokowi.

Baca juga artikel terkait PROYEK INFRASTRUKTUR JAKARTA atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam