tirto.id - Pada 30 Juli 2017, saat memberi sambutan pada acara Pencanangan Hari Keselamatan Lalu Lintas 2017, di Bundaran Hotel Indonesia, jantung Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla menekankan pentingnya pengelolaan kemacetan saat pembangunan infrastruktur.
Menurutnya, pembangunan harus sebisa mungkin tidak menjadi sumber kemacetan baru dan mengganggu sistem transportasi yang telah ada. Kalla memang tak secara langsung menyindir kemacetan parah akibat pembangunan secara serentak di Jakarta.
Baca juga: Ambisi Jokowi dan Ahok Mengebut Infrastruktur di Jakarta
Ia ingin bahwa setiap proses pembangunan perlu kajian manajemen lalu lintas. Ia mencontohkan hal sederhana dengan melibatkan penentuan lokasi-lokasi prioritas.
“Hitung di mana duluan dikerjakan, di mana belakangan dikerjakan? Akhirnya tidak ada kemacetan walaupun jalan dipersempit. Kalau proyek belum jalan tapi jalan sudah ditutup, sudah penuh pasir, penuh lumpur, orang bisa terpeleset,” katanya.
Kalla memuji pengelolaan kemacetan yang tidak begitu parah dalam pembangunan proyek angkutan cepat terpadu (MRT) Jakarta Koridor I Lebak Bulus – Bundaran HI.
“Tentu Bappenas harus mempelajari ini,” ujarnya, berharap kementerian dan lembaga lain termasuk polisi pun harus menerapkan manajemen lalu lintas yang baik.
Apa yang diucapkan Kalla, dalam istilah konstruksi, lazim disebut Traffic Management During Construction (TMDC), biasanya berbentuk dokumen cetak biru. Dalam cetak biru ini digambarkan rancangan pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan, disinkronkan dengan pengaturan lalu lintas di sekitar areal proyek. Dasar cetak biru ini amatlah rumit karena diolah dari data kuantitas volume kendaraan yang lewat, geometri jalan, dan sebagainya.
Hasil penelitian Universitas Darmstad, Jerman, di delapan negara pada 2012 membuktikan bahwa TMDCmembuat pekerjaan konstruksi menjadi lebih efisien, cepat, dan murah. Hasil penelitian itu bisa Anda lihat di sini.
Itulah mengapa di beberapa negara seperti Malaysia dan Inggris, cetak biru manajemen lalu lintas menjadi dokumen wajib yang mesti disertakan saat hendak mengajukan pembangunan proyek infrastruktur jalan atau transportasi.
Di Indonesia, hal ini belum berjalan optimal.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta, Iskandar Abubakar, menyebut analisis dan kajian kemacetan, ekses dari pembangunan proyek di Jakarta, amatlah buruk.
“Misal di Pancoran, lajur yang disediakan itu cukup enggak untuk mengalirkan arus kendaraan di kawasan tersebut?” tanyanya.
“Kalau kurang, harus ada langkah pembatasan gerakan atau malah gerakan itu dihapuskan (ditutup). Namun, semua itu harus melalui hitung-hitungan yang tepat. Tapi apakah ini dilakukan? Tidak.”
Ia mencontohkan kesemrawutan di depan Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa dr. Saryanto milik TNI AU di seberang Halte Cawang. Lajur kendaraan yang semula tiga ruas jalan menyempit jadi tinggal satu lajur akibat pembangunan tiang pancang kereta api ringan (LRT) Jabodetabek.
Masalah muncul saat arus yang hanya satu lajur itu jadi terhambat akibat banyaknya kendaraan yang berbelok ke arah Tebet/Pengadegan lewat Jalan Cikoko Barat.
Antrean inilah seringkali menutup akses bagi pengendara yang hendak langsung lurus dari Cawang menuju Pancoran. Imbas dari Cikoko Barat ini bisa mencapai Halte Badan Narkoba Nasional—jaraknya 2 kilometer dari sumber kemacetan.
Pada jam-jam sibuk, Polda Metro Jaya biasa menyiagakan polisi lalu lintas di titik ini. Mereka ditugasi mengurai dan mencegah mobil yang hendak berbelok ke Cikoko Barat jika arus sudah mampat.
“Tapi polisi paling lama tahan di situ berapa lama, sih? Paling juga berdiri 1-2 jam, setelah itu dibiarin macet lagi,” gerutu Sukijan, seorang tukang asongan yang mangkal di depan terowongan Cikoko.
“Sebetulnya bisa saja jalan ini ditutup, yang mau belok ke Tebet bisa memutar di Pancoran. Tapi pasti bakal tetap macet lagi. Karena sampai ke sana lajurnya juga ada penyempitan,” ujar seorang perwira polisi yang mengatur kemacetan di Cikoko Barat.
Dewan Transportasi Kota Jakarta menilai penyempitan lajur "terlalu berlebihan" akibat pembangunan tiang pancang LRT di Jalan MT Haryono.
“Lajurnya jangan berkurang begitu banyak, masak dari tiga jadi satu?” kata Iskandar.
Ia menilai, ruang konstruksi pembangunan tiang pancang LRT terlalu lebar, padahal lebarnya bisa dipersempit. “Setiap penambahan lebar satu meter itu bisa menambah kapasitas 500 kendaraan per jam. Kalau konstruksi bisa minimal, ya pakailah minimal,” harapnya.
Kondisi ini diperparah oleh proyek lain di sekitar perempatan Pancoran. Lajur yang dipakai membangun LRT ditambah beban pembangunan tiang pancang flyover. Iskandar melihat situasi macet parah akibat dua proyek infrastruktur itu karena "tidak ada koordinasi antara kontraktor."
Baca juga: Di Jakarta, Orang Buang Umur Seminggu di Jalanan Tiap Tahun
Klaim PT Adhi Karya dan Dinas Bina Marga Jakarta
Namun, tudingan ini dibantah oleh Pemprov DKI dan PT Adhi Karya selaku kontraktor LRT. Mereka bersikukuh memiliki TMDC.
“Setiap proyek pasti ada TMDC. Pastinya TMDC disepakati bersama, kemudian diterapkan di lapangan,” ujar Heru Suwondo dari Dinas Bina Marga DKI Jakarta, beberapa hari lalu.
“TMDC sudah dibahas di awal proyek bersama Dishub DKI, Ditlantas Polda Metro, DBM DKI, penyedia Jasa dan instansi terkait lainnya. Bahkan di lapangan dipantau terus oleh Dishub dan Ditlantas,” klaimnya.
Jawaban serupa dilontarkan oleh sekretaris perusahaan PT Adhi Karya, Ki Syahgolang Permata.
“Kami secara rutin berkoordinasi lintas instansi, termasuk Pemprov DKI Jakarta mengundang pihak-pihak terkait dalam semua proyek yang sedang dikerjakan di DKI Jakarta untuk berkoordinasi mengatur proses pembangunan dan meminimalisir dampak yang timbul dan bisa merugikan warga,” jelasnya lewat aplikasi pesan WhatsApp.
Terkait proyek di Cawang hingga Pancoran, Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Pol Royke Lumowa sempat melontarkan kritik.
“Jadi yang harus diperbaiki adalah para pelaksana proyek harus benar-benar memperhatikan rekayasa lalu lintas selama pembangunan," ujarnya.
“Ini menjadi perhatian setiap daerah, karena kapasitas jalan tidak boleh berkurang secara dominan. Ini untuk menjaga kelancaran lalu lintas dan menekan tingkat kecelakaan,” tambahnya, awal Agustus lalu, seperti dikutip dari Antara.
Meski begitu, PT Adhi Karya dan Pemprov DKI menilai apa yang dilakukannya telah optimal. “Kami terus berkoordinasi dengan instansi terkait,” lagi-lagi Permata menegaskan.
Beberapa tindakan riil diakui mereka sudah diterapkan untuk meminimalisir kemacetan. Di antaranya, proses pengangkutan dan pemasangan U-Shaped LRT Jabodetabek selalu dilakukan malam hari agar tidak mengganggu lalu lintas.
Pembelaan sama dikatakan oleh Dinas Bina Marga Pemprov DKI. “Namun jika TMDC belum optimal, di lapangan dilakukan rekayasa kembali, sehingga diharapkan dan diupayakan traffic masih bisa mengalir, tentunya bersama Dishub dan kepolisian terus mengevaluasi kondisi lalin,” ujar Heru Suwondo.
Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia, Danang Parikesit, menjelaskan ada beberapa sebab kenapa TMDC yang diklaim telah dilakukan kontraktor dan Pemprov Jakarta itu gagal dijalankan secara optimal.
Pertama, menurutnya, megaproyek itu berjalan berbarengan yang tak pernah dilakoni sebelumnya.
Ia mengkritik mayoritas pekerjaan yang masih dilakukan secara konvensional dan manual, padahal perkembangan teknologi sudah mampu menyediakannya. “Misal, untuk menggali saja masih pakai tenaga orang. Padahal dengan mesin itu bisa lebih cepat dan efisien,” ujarnya.
Kedua, dokumen TMDC hanya dijadikan pelengkap. Mestinya TMDC juga jadi kriteria teknis penilaian poin khusus untuk acuan pemenangan tender dan mengukur keberhasilan suatu proyek. Menurut Danang, penilaian TMDC idealnya disertakan dalam Peraturan Presiden No. 54/2010 terkait Pengadaan Barang dan Jasa.
Apa yang terjadi di Jakarta sekarang, menurut akademisi Universitas Gadjah Mada ini, sudah cukup terlambat, amburadul, dan sulit diselesaikan. Namun, masalah kompleks macam ini bisa dijadikan pelajaran dan rujukan saat hendak melakukan megaproyek lain di masa depan.
“Bangkok yang tingkat kemacetan, kepadatan, dan kerumitannya lebih parah dari Jakarta saja bisa kok, kenapa kita tidak?” tuturnya.
Danang berkata, meniti jalan ke arah manajemen lalu lintas yang baik, di tengah belantara infrastruktur yang digenjot pemerintahan Jokowi, bisa dilakukan dengan meniru apa yang diterapkan Jepang saat membangun MRT.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam