tirto.id - Demi mengatasi kemacetan parah yang sehari-hari dialami para pelaju melintasi ibu kota, pemerintah provinsi Jakarta membentuk lembaga independen bernama Dewan Transportasi Kota Jakarta. Ia berfungsi sebagai mediator antara masyarakat dan pemerintah daerah. Dewan diberi beban memberi saran dan masukan kepada Gubernur DKI Jakarta mengenai persoalan transportasi.
Anggotanya terdiri dari akademisi, pengusaha angkutan, pengguna jasa transportasi, kepolisian, Dinas Perhubungan, dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang transportasi.
Pada 3 Mei 2017, dibentuklah kepengurusan baru Dewan Transportasi, untuk masa bakti hingga 2020. Bagaimana sikap Dewan mengenai kemacetan parah, dan semakin lazim, di Jakarta akibat proyek infrastruktur yang jalan bersamaan antara pemerintah pusat dan Pemprov? Berikut wawancara Aqwam Fiazmi Hanifan dari Tirto dengan Ketua Dewan Iskandar Abubakar.
Bagaimana Anda menilai kemacetan akibat penggarapan proyek infrastruktur di Jakarta?
Sebenarnya ada masalah. Traffic Management During Construction (TMDC) enggak bagus. Jadi ada metodenya menghitung berapa arus yang lewat selama ini, lalu jalur yang disediakan lalu lintas cukup atau enggak, tujuannya untuk mengalirkan arus yang melewati kawasan tersebut.
Kalau tidak cukup, harus ada langkah. Antara lain, satu permukaan jalan harus smooth banget, bila tidak, akan jadi masalah. Kecepatan akan turun, maka kapasitas kendaraan yang lewat pun turun.
Apa contohnya?
Coba lihat Sudirman - Thamrin. Kasus MRT, apa itu smooth? Harusnya dilapisi aspal beton supaya orang bisa jalan dengan kecepatan lebih tinggi. Itu contoh paling riil. Apalagi jalan ditempel asal-asalan.
Kedua, hitung kapasitasnya. Kalau kurang, harus ada langkah. Arus kendaraan dihitung kembali.
Menjadi masalah misalnya dari 3 jalur tinggal 1 jalur. Pasti macet. Mau diapain juga pasti macet.
Antisipasinya apa?
Paling bisa yang dilakukan, jalurnya jangan berkurang begitu banyak. Kalau tempat enggak ada, sewa tanah, kek, supaya tetap lancar. Sering kita habiskan waktu satu jam untuk satu simpang, misalnya. Itu tidak efisien. Saya kira TMDC harus diperhatikan.
Ruang konstruksi lebar banget padahal bisa dipersempit. Setiap penambahan lebar satu meter itu bisa menambah kapasitas 500 kendaraan per jam.
Kalau konstruksi bisa minimal, pakailah minimal. Jangan sudah pasang tiang pancang, tapi seng penutup masih tetap dibiarkan tertutup, padahal itu bisa dibuka. Kalau dibuka, ruang lalu lintas bisa lebih lebar.
Anda lihat ada kajian TMDC pada proyek-proyek infrastruktur di Jakarta saat ini?
Dibikin kajian tapi tidak dilaksanakan, ada persyaratan tapi tidak dilaksanakan.
Bentuk yang dihendaki Anda seperti apa?
Harus dihitung TMDC itu berapa besar arus kendaraannya yang lewat, berapa kapasitas yang harus disiapkan bila ada konstruksi. Apa riset ini dilakukan? Biasanya tidak. Kalau lebih dari itu, harus ambil langkah. Apalagi kita buang waktu dan energi.
Proyek tiang pancang, misalnya, kontraktor menutup [sebagian lajur kendaraan], padahal bisa dibuka.
Di luar negeri, hal seperti sudah direncanakan. Jalan alternatifnya di mana, pengalihan arusnya gimana? Dihitung juga jalan alternatif itu apakah cukup atau tidak. Maka ada istilah TMDC. Saya enggak melihat itu di Jakarta.
Proyek besar di Jakarta makan waktu 2-3 tahun. Menurut saya, TMDC belum seperti kita bayangkan di negara lain, seperti Kuala Lumpur, Singapura, atau Bangkok. Mereka atur dengan sangat baik dalam hal TMDC.
Apakah berupa perubahan rute dan arus lalu lintas, apakah buat jalur sementara untuk menyiasati kekurangan kapasitas. Atau jaringan utilitas apakah pakai tunnel bawah tanah atau tidak. Itu hal teknis.
Kedua, masyarakat di lokasi sekitar dapat keringanan pajak pembangunan karena dirugikan. Sehingga mereka dapat keringanan pajak karena terganggu oleh proyek tersebut.
Tapi apakah sesuai membandingkan keruwetan di Jakarta dengan Kuala Lumpur dan Singapura?
Mungkin paling dekat Bangkok. Mereka sukses bangun jalan bawah tanah, MRT, LRT, dan jalan tol. Mereka bisa, dan sangat aneh kalau kita enggak bisa. Penduduk enggak kalah banyak, karakteristik mirip. Contoh lain mungkin Taipei di Taiwan. Sepeda motor di sana sangat banyak, 70 persennya motor.
Di sisi lain, secara kemampuan teknis, kita mungkin cukup, tapi tidak punya pengalaman menggarap proyek infrastruktur sarana transportasi di lahan yang sempit, menggunakan teknologi bagus dengan tekanan tinggi. Kontraktor kita tidak siap untuk itu. Namun, pada beberapa proyek, kontraktor BUMN bekerja dengan pihak asing. Kita bisa belajar dari mereka menciptakan TMDC yang bagus.
Bukankah selama ini, jika ada proyek, Dishub dan Dirlantas Polda Metro Jaya misalnya melakukan penutupan jalan?
Tidak efektif. Penutupan tidak berdasarkan kajian. Mestinya, ketika pembatasan dilakukan, jalur alternatif juga disiapkan. Ini harus ada.
Saya tidak melihat rencana itu untuk atasi lalu lintas.
Apa pemerintah mesti menekan kontraktor lebih keras?
Pressure itu bagus, tapi harus dilihat apakah pendanaan bermasalah? Kalau ada masalah, harus ada komunikasi dengan instansi lain. Fungsi leadership pemerintah nasional diperlukan dalam hal ini.
Nah, ketika ditekan masyarakat, pemerintah juga jangan berkelit bahwa pembangunan ini untuk Jakarta supaya lebih baik. Itu betul. Tapi masyarakat juga punya hak kejelasan, kenapa macet bisa begini?
Sebagai lembaga yang ditunjuk oleh Pemprov Jakarta, apakah Dewan sudah sampaikan keluhan soal problem macet akibat proyek konstruksi kepada pemangku kebijakan?
Semua tahu masalah itu dan ini jadi perhatian semua pihak. Kami hanya berharap, setelah pembangunan dilakukan, jalan menjadi lebih lancar.
Saya tahu tidak semua ekses pembangunan bikin jalan jadi lancar. Ada sebab lain: pertumbuhan kendaraan yang dibiarkan berkuasa. Ini agak sulit kami cegah.
Dalam hal apa Dewan Transportasi Kota Jakarta dilibatkan menangani kemacetan?
Pertama, kami mendorong kebijakan angkutan massal. Kedua, membatas kendaraan pribadi.
Oktober nanti Jakarta ganti gubernur baru. Apa yang sudah dilakukan Dewan?
Saya sudah komunikasi dengan tim Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Kami perlu mendapatkan masukan apa yang jadi fokus mereka. Misalnya, bagi kami, agak sulit menerapkan salah satu program yang diusulkan Anies-Sandiaga yang bernama OK Trip itu: menjanjikan integrasi seluruh moda transportasi hanya dengan Rp5.000 ke semua rute. Ini akan sangat berat kalau mereka gunakan kereta api ringan (LRT) atau angkutan cepat terpadu (MRT). Biayanya tidak sepadan.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam